Ekonom dan Ulama Ingatkan Boikot Salah Sasaran Berpotensi Merusak Ekonomi

Sugeng Sumariyadi
18/7/2025 20:25
Ekonom dan Ulama Ingatkan Boikot Salah Sasaran Berpotensi Merusak Ekonomi
Restoran MC Donald, salah satu usaha yang menjadi sasaran boikot.(ISTIMEWA)

SEIRING masih berlangsungnya agresi militer Israel ke Gaza, aksi boikot terhadap sejumlah merek global terus menggema di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Di ruang-ruang digital, daftar produk yang dianggap terafiliasi dengan Israel beredar luas. Bahkan sering kali tanpa data dan rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pakar ekonomi dan ulama pun mengingatkan pentingnya bersikap bijak dan cermat dalam menyikapi ajakan boikot agar semangat solidaritas tidak berubah menjadi aksi yang kontraproduktif.

Ekonom Gigih Prihantono menjelaskan, aksi boikot yang tidak berbasis data akurat dapat berdampak serius pada perekonomian nasional. Mulai dari penurunan omzet pelaku usaha, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga memburuknya persepsi investasi.

Ia menyebut fenomena ini bisa dikategorikan sebagai kampanye hitam yang bukan hanya menyasar entitas usaha yang sesungguhnya tidak memiliki keterlibatan langsung dalam konflik Palestina-Israel. Dampaknya tidak hanya terhadap perusahaan, tetapi juga ekonomi domestik.

"Betul bisa berimbas kepada ketenagakerjaan karena yang rugi kita sendiri sebenarnya kalau black campaign ini terus meluas," ujar Ekonom dari Universitas Airlangga itu, di Bandung, Jumat (18/7).

Salah satu rujukan kredibel yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat adalah laporan resmi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) yang dirilis pada akhir Juni 2025.

Laporan tersebut mengungkap peran sejumlah korporasi yang berkontribusi langsung dan signifikan dalam mendukung pelanggaran HAM berat di Palestina.

Bentuk keterlibatan dunia usaha mencakup dukungan teknologi, logistik, pendanaan dan investasi yang memperkuat sistem apartheid, pendudukan illegal Israel, hingga genosida. Meski banyak perusahaan yang disebut, tidak semua sektor usaha masuk dalam daftar tersebut.

Beberapa merek di sektor makanan dan minuman yang selama ini kerap menjadi sasaran utama boikot di Indonesia seperti Starbucks, KFC, dan McDonald’s justru tidak disebutkan dalam laporan itu.

Fakta ini memperlihatkan adanya ketimpangan persepsi publik dan data objektif yang kemudian melahirkan gerakan boikot yang rawan salah sasaran.


Tidak ada dasar syariat yang kuat


Kekeliruan sasaran dalam gerakan boikot juga menjadi perhatian para ulama pesantren. Forum Bahtsul Masa’il tradisi musyawarah para ulama Nahdlatul Ulama (NU) secara khusus membahas fenomena ini dalam pertemuan yang digelar beberapa waktu lalu di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon.

Forum ini memberikan rekomendasi dan fatwa terkait persoalan yang berkembang di masyarakat.

Para kiai dan santri dari berbagai pesantren di Jawa dan Madura menelaah gerakan boikot terhadap McDonald’s Indonesia. Mereka  menemukan bahwa tidak ada keterkaitan langsung antara perusahaan tersebut dengan entitas yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan di Palestina.

“Dalam fiqih muamalah, hukum dasar kegiatan perdagangan adalah boleh. Maka, gerakan boikot harus memenuhi dua syarat, ada keterkaitan yang jelas dan tidak menimbulkan kerugian besar umat,” ujar KH Aris Ni’matullah, Musoheh (pengesah) Bahtsul Masail se-Jawa dan Madura.

Forum tersebut memutuskan bahwa boikot terhadap McDonald’s Indonesia tidak memiliki dasar syariat yang memadai. Selain itu, para ulama di forum tersebut juga mendorong pemerintah agar memberikan edukasi kepada publik serta meluruskan informasi yang beredar secara masif dan sering kali tidak akurat.

“Pemboikotan terhadap produk tertentu menyangkut urusan publik. Maka, kebijakan semacam itu semestinya menjadi otoritas pemerintah,” tegas Kiai Imat.


Risiko Sosial dan Ekonomi


Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mencatat hingga Maret 2025 terdapat 73.992 kasus PHK di berbagai sektor di Indonesia.

Menurut Gigih Prihantono, selama gerakan boikot masih berlangsung dalam skala kecil, dampaknya belum terasa signifikan. Namun, aksi ini bisa berdampak serius jika terus meluas dan menyasar pihak-pihak yang sebenarnya tidak memiliki keterlibatan langsung dalam konflik Palestina-Israel.

Dia mendorong pemerintah melakukan intervensi untuk meluruskan informasi dan memberikan edukasi yang objektif.

"Pemerintah harus ikut turun. Harus dipisahkan juga antara konflik Israel-Palestina ini dengan perusahaan-perusahaan yang tidak berafiliasi secara riil," ujarnya.

Gigih membandingkan fenomena boikot saat ini dengan gerakan ‘cinta rupiah’ yang pernah muncul di tengah krisis moneter. Peran aktif pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi sosial negara, mencegah salah arah solidaritas, dan memastikan gerakan masyarakat tetap bermuara pada dampak positif.

Adapun solidaritas terhadap Palestina adalah sikap mulia. Namun, dalam menyalurkannya, masyarakat perlu mengedepankan ketelitian, verifikasi, dan pertimbangan maslahat yang lebih luas.

Sikap kritis, bijak, dan berbasis data bukan hanya akan memperkuat posisi moral Indonesia di mata dunia, tetapi juga mencegah gerakan ini ditunggangi kepentingan lain yang justru menyakiti pihak-pihak tak bersalah di dalam negeri.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sugeng
Berita Lainnya

Bisnis

Wisata
Kuliner