Headline

PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.  

Fokus

Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.

Persoalan Aturan Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil Digugat ke MK

Devi Harahap
29/7/2025 19:39
Persoalan Aturan Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil Digugat ke MK
Ilustrasi.(dok.MI)

UNDANG Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh advokat Syamsul Jahidin. Ia menguji Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri. 

Menurut Syamsul, pada tatanan praktik, terdapat anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, Kepala BNPT. 

“Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun,” kata Syamsul di ruang sidang MK pada Selasa (29/7).  

Prinsip Netralitas?

Syamsul menilai, hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.

“Dengan adanya ketidakjelasan dari pelaksanaan norma pasal tersebut dan tidak adanya pembatasan yang pasti terkait dengan penjelasan dalam aturan hukum tersebut, hal ini memberikan celah bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa melepaskan status keanggotaannya secara definitif,” ungkapnya.

Perbedaan Kesempatan?

Selain itu, Syamsul mengatakan Pasal 28 ayat (3) UU Polri telah menciptakan ketidaksetaraan dalam hukum dan pemerintahan, sehingga melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum dan mengabaikan hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Norma tersebut, sambung Syamsul, secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat. 

“Penempatan polisi aktif di legislatif melanggar prinsip netralitas Polri serta prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif,” imbuhnya. 

Luar Institusi?

Syamsul juga menekankan apabila terdapat anggota Polri aktif yang menduduki jabatan di luar dari institusi Polri, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas, asas netralitas, dan asas pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini menurutnya, dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan mengganggu independensi fungsi lembaga tertentu.

“Bahwa penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan legislatif bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia serta prinsip Trias Politica. Apabila anggota Polri aktif menjabat sebagai anggota legislatif, maka terjadi percampuran fungsi eksekutif dan legislatif yang melanggar prinsip pemisahan kekuasaan, karena seseorang yang seharusnya melaksanakan hukum malah juga berperan dalam politik,” jelas Syamsul.

Undur Diri?

Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian setelah mengundurkan diri secara permanen dan tidak lagi berstatus sebagai anggota aktif Polri."

Selain itu, Pemohon juga memohon agar Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang dimaknai “Bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum mengundurkan diri atau pensiun tidak dapat secara sah menduduki jabatan sipil, termasuk jabatan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia”.

Tanggapan Mahkamah?

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasihati Pemohon agar menguraikan syarat-syarat kerugian atas berlakunya norma yang diujikan pada permohonannya. 

LAda tidak hak-hak yang tercederai oleh berlakunya norma ini, yang penting uraikan syarat kerugiannya dan ada tidak sebab-akibatnya dan baru disimpulkan. Setelahnya alasan permohonan, apa uraian yang meyakinkan kami memang ada persoalan dengan dasar pengujiannya berupa Pasal 1 ayat (3), karena ini berkaitan pula dengan petitumnya, tetapi ini sama dengan norma pokoknya,” terang Enny.

Elaborasi Kerugian?

Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman memberikan nasihat agar Pemohon mengelaborasi kerugian konstitusionalnya atas keberlakuan norma yang diujikan pada MK.

Kemudian Hakim Konstitusi Arief mengatakan agar Pemohon meringkas permohonan terutama pada bagian posita Pemohon. “Positanya tidak jelas sama sekali,” kata Hakim Konstitusi Arief. (Dev/P-3) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya