Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
UNDANG-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang advokat, Syamsul Jahidin. Ia menguji Pasal 40 UU Polri mengenai transparansi pembiayaan Komisi Kepolisian Nasional yang dibebankan pada APBN.
Menurut Syamsul, ketentuan tersebut tidak memuat secara eksplisit sumber pembiayaan dan mekanisme anggaran bagi institusi Polri secara keseluruhan. Ia menyebut tidak adanya pengaturan mengenai transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran Polri berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka ruang multitafsir.
“UU Polri tidak memberikan kejelasan mengenai sumber dan mekanisme pembiayaan Polri. Hal ini bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Syamsul di ruang sidang MK pada Selasa (29/7).
Lebih lanjut, Syamsul menegaskan bahwa besarnya anggaran Polri yang mencapai Rp126 Triliun pada 2025 seharusnya disertai dengan mekanisme pengawasan yang transparan.
“Tidak jelasnya diatur mekanisme anggaran dalam UU Polri yang merupakan kekosongan hukum yang berpotensi melemahkan fungsi pengawasan keuangan negara oleh publik termasuk didalamnya Pemohon. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1),” jelasnya.
Syamsul juga mengemukakan bahwa kekosongan norma dalam Pasal 40 UU Polri berpotensi membuka ruang bagi Polri untuk memperoleh dana dari luar APBN, seperti dari pihak swasta atau kelompok tertentu.
“Hal ini berbahaya karena dapat menimbulkan konflik kepentingan, mengancam netralitas Polri, dan membuka celah penyimpangan serta potensi korupsi,” ucapnya.
Ia juga menyinggung bahwa selama ini tidak tersedia laporan keuangan Polri yang dapat diakses publik. Menurutnya, hal ini menambah kuat dugaan bahwa institusi Polri menjadi satu-satunya lembaga negara yang tidak diawasi secara sistematis terkait penggunaan keuangannya.
Dalam permohonannya, pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 40 UU Polri bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan pentingnya penguraian syarat kerugian konstitusional dalam permohonan uji materi ketentuan Pasal 28 ayat (3) tersebut.
Enny menambahkan, apabila tidak ada hak yang dirugikan, maka Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat dijadikan dasar, karena pasal tersebut merupakan prinsip negara hukum, bukan hak konstitusional perseorangan.
“Saudara harus menguraikan dengan jelas dan spesifik mengenai kerugian konstitusional yang dialami. Apakah benar dirugikan? Harus ada bukti, dan hubungan sebab akibatnya juga harus dijelaskan,” katanya. (Dev/M-3)
Anam mengatakan, dalam kegiatan evaluasi, penyidik Polda Metro Jaya menjelaskan rangkaian penyelidikan dari awal hingga hari ini.
Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, menyebut ada tiga lokasi penting yang menjadi kunci untuk mengungkap misteri di balik kematian diplomat Kemenlu
Ketiga lokasi itu telah ditelusuri penyidik Polda Metro Jaya. Maka itu, ia mendorong polisi segera merilis kasus kematian Diplomat Arya Daru ke publik.
Kompolnas pun ikut turun tangan untuk menyelidiki kasus kematian diplomat Kemenlu Arya Daru Pangayuan, berikut temuan Kompolnas
Kompolnas belum bisa memerinci lebih jauh isi kresek tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved