Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

MK Tolak Uji Formil UU Konservasi, Kemenhut Susun Aturan Turunan

Despian Nurhidayat
24/7/2025 09:56
MK Tolak Uji Formil UU Konservasi, Kemenhut Susun Aturan Turunan
Ilustrasi.(Susanto/MI)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak uji formil atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE). Menindaklanjuti itu,  Kementerian Kehutanan (Kemehut) berjanji segera menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah. 

Uji formil atas undang-undang tersebut diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (Pemohon I), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (Pemohon II), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) (pemohon III), dan Mikael Ane (Pemohon IV).

Para pihak tersebut mengajukan permohonan pengujian yang perkaranya terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dengan (Registrasi Nomor 132/PUU-XXII/2025). Para pemohon menilai bahwa proses pembentukan Undang-Undang tersebut tidak melibatkan pihak-pihak terkait dalam hal ini para Pemohon.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Satyawan Pudyatmoko menggarisbawahi jika Keputusan MK menolak mengabulkan uji formil UU 32/2024 menjadi jalan dalam menyusun aturan-aturan perundangan turunan. Aturan itu ditargetkan akan rampung satu tahun kedepan sesuai amanat keputusan itu.

Ia mengatakan latar belakang revisi Undang-Undang 5 tahun 1990 yang umurnya sudah lebih dari 34 tahun untuk penguatan, bukan perubahan pengelolaan konservasi di Indonesia.

"Ini adalah penguatan yang kita lakukan terhadap Undang-Undang 5 tahun 1990," ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Kamis (24/7).

Satyawan mengatakan  hal yang diperkuat dalam UU Konservasi untuk menghadapi semakin kompleksnya permasalahan konservasi di Indonesia. Selain itu, sambung dia, ada hal yang perlu diakomodasi seperti  konvensi-konvensi internasional, pembagian peran pemerintah daerah dan masyarakat, penegakan hukum berupa sanksi pidana yang terlalu ringan dan juga soal pendanaan konservasi.

"Memang ada beberapa penguatan yang ingin kita masukkan dalam rangka untuk menghadapi semakin kompleksnya permasalahan konservasi di Indonesia," jelasnya.

Majelis Hakim Konstitusi memutus perkara permohonan pengujian formil atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya pada 17 Juli 2025. Adapun amar putusannya menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, dengan beberapa pertimbangan hukum, sebagai berikut:

  • Proses pembentukan UU KSDAHE telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, melalui rangkaian rapat yang partisipatif, termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan konsultasi publik yang melibatkan akademisi, praktisi, LSM, pelaku usaha, dan instansi pemerintah. Beberapa lembaga yang diundang dalam RDPU antara lain Yayasan Konservasi Alam Nusantara, POKJA Konservasi, WGII, ISKINDO, serta perwakilan Masyarakat Hukum Adat dari Bali.
  • Dokumen terkait proses legislasi yang sebelumnya didalilkan tidak dapat diakses, dinilai telah tersedia dan dapat diakses secara terbuka melalui situs resmi DPR RI, khususnya pada bagian Prolegnas Periodik.
  •  Partisipasi publik yang tidak serta-merta harus diadopsi seluruhnya oleh pembentuk undang-undang. Mahkamah menegaskan bahwa Presiden selaku pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk menyusun DIM dengan mempertimbangkan berbagai aspek materi muatan UU.

UU 32/2024 dinilai majelis telah memenuhi asas kejelasan tujuan dan disusun secara proporsional. Tujuan undang-undang ini, antara lain,tegas Mahkamah, untuk meningkatkan konservasi sumber daya alam hayati serta memberikan ruang bagi peran serta masyarakat hukum adat, yang sebelumnya tidak diatur secara eksplisit dalam UU 5/1990.

Selain empat pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menilai terkait kekhawatiran para Pemohon mengenai rumusan norma yang dinilai tidak jelas dan membuka ruang interpretasi, bukan merupakan ranah pengujian formil, melainkan pengujian materiil. 

Oleh karena itu, dalil para Pemohon mengenai cacat formil pembentukan UU KSDAHE karena tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Oleh karena itu gugatan tersebut tidak beralasan menurut hukum.

Meskipun demikian, terkait substansi masyarakat hukum adat, hakim menyatakan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah tercantum secara eksplisit dalam Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU 32/2024, termasuk dalam bagian Penjelasan Umum undang-undang tersebut. 

Dijelaskan bahwa penggunaan istilah 'masyarakat' dalam UU 32/2024 mencakup pula 'masyarakat hukum adat', yang pengaturan secara lebih rinci akan diatur dalam RUU Masyarakat Hukum Adat yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas.

"Proses persidangan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi pembelajaran bagi Pemerintah, khususnya bagi Kementerian Kehutanan dalam menyusun Peraturan Perundang-undangan ke depan, seperti yang saat ini sedang berproses yaitu Revisi UU Nomor 41 Tahun 1999," ujarnya.

Dissenting Hakim Konstitusi

Dalam putusan, terdapat dissenting opinion (pendapat berbeda) yang disampaikan Hakim Konstitusi Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menilai memang terdapat fakta proses pembahasan UU 32/2024 dilakukan secara tertutup tanpa disertai alasan valid yang berdampak pada pengabaian asas keterbukaan dan keterlibatan publik dalam mewujudkan prinsip meaningful participation. (H-4)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya