Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Dalil Keberatan atas Putusan Vonis Pidana Korupsi Importasi Gula dan Peluang Bebasnya Tom Lembong

Hamdani Associate professor Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas Padang, pakar audit penghitungan kerugian keuangan negara
28/7/2025 05:00
Dalil Keberatan atas Putusan Vonis Pidana Korupsi Importasi Gula dan Peluang Bebasnya Tom Lembong
(MI/Seno)

'KEADILAN mati di palu hakim', semoga idiom tersebut tidak menimpa Menteri Perdagangan (Mendag) RI periode Agustus 2015-Juli 2016, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong). Keputusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 18 Juli 2025 yang menvonis Tom Lembong 4,5 tahun penjara atas tipikor importasi gula dinilai publik penuh kontradiksi.

Hakim pada putusannya tidak dapat memperoleh bukti adanya niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) dari terdakwa, malahan menegaskan terpidana sama sekali tidak menikmati hasil korupsi atas kerugian keuangan negara dimaksud. Hakim menganulir sebagian besar Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) BPKP Nomor: PE.03/R/S-51/D5/01/2025 dari sebesar Rp578,11 miliar menjadi Rp 194,72 miliar.

Pertimbangan hakim menggugurkan hasil audit tersebut, yang terbukti mengandung kesalahan dan kekeliruan penghitungan karena salah hitung dan penggunaan asumsi serta taksiran. Putusan tersebut dengan sendirinya menghilangkan sifat melawan hukum dakwaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) terkait dengan importasi gula.

Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 bahwa tidak terpenuhinya unsur merugikan keuangan negara menjadi dasar hilangnya delik pidana korupsi seharusnya cukup menjadi dasar hakim menjatuh putusan bebas (vrijspraak).

Namun, sayangnya hakim masih menisbatkan Tom Lembong sebagai koruptor atas dasar kerugian keuangan Negara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai BUMN sebesar Rp194,72 miliar dari pembelian gula kristal putih (GKP). Putusan hakim itu dinilai kontroversi karena fakta hukum tersebut tidak memiliki kausalitas dengan perbuatan Tom Lembong.

Tuntutan jaksa mencakup dua pokok perkara, yakni peristiwa pidana atas perbuatan pemberian persetujuan impor dan peristiwa pidana dari kerugian pembelian GKP oleh PT PPI selaku BUMN. Pada putusannya, hakim telah menggugurkan tuntutan jaksa untuk menghukum Tom Lembong atas perbuatan importasi gula, tetapi tetap menyatakannya terbukti secara sah dan meyakinkan merugikan PT PPI sebagai BUMN.

 

HILANGNYA DELIK PIDANA IMPORTASI GULA

Majelis hakim dalam pertimbangannya menyimpulkan hasil audit PKKN BPKP atas korupsi importasi gula tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hakim berpendapat kerugian negara tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai kerugian keuangan negara. Majelis hakim berpendapat kerugian keuangan negara berupa kekurangan bea masuk dan pajak dalam rangka impor tersebut tidak nyata dan pasti, tidak benar-benar terjadi, dan tidak dapat dihitung secara jelas dan terukur.

Konsekuensi dari putusan itu, persidangan terhadap sembilan orang tersangka importir yang tengah berlangsung tidak perlu lagi membuktikan perbuatan melawan hukum yang terkait dengan kegiatan importasi gula karena telah dinyatakan hakim tidak terbukti merugikan keuangan negara. Para importir sebagai terdakwa berpeluang bebas murni kalau dapat membuktikan hanya menjalankan praktik bisnis yang wajar dan tidak merugikan PT PPI.

Untuk dakwaan Pasal 2 (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, apabila hakim dan jaksa menyatakan tidak ada keuntungan secara materiel dan moril yang diterima Tom Lembong, kesalahan hasil audit PKKN seluruh atau sebagian cukup menjadi dasar hakim menganulir seluruh kerugian keuangan negara dimaksud. Pasalnya, persidangan tipikor untuk dakwaan tersebut bukan bertujuan menguji hasil audit PKKN yang benar, melainkan membuktikan apakah hasil PKKN tersebut benar terjadi, nyata, dan pasti senilai yang dihitung.

Kesalahan hasil audit PKKN BPKP dapat menjadi pertimbangan hakim menolak seluruh hasil penghitungannya sehingga Tom Lembong beserta 10 orang terdakwa lain langsung menghirup udara bebas. Ironisnya, hakim masih menerima tuntutan jaksa yang mendalilkan kerugian pembelian GKP oleh PT PPI dari 9 produsen sebesar Rp194, 72 miliar untuk menjerat Tom Lembong karena dinilai turut serta melakukan kejahatan sesuai dengan Pasal 55 KUHP.

Pertimbangan tersebut menjadi anomali dalam penegakan hukum karena dari empat penugasan importasi gula kristal mentah (GKM) yang diberikan oleh Tom Lembong kenapa hanya penugasan kepada PT PPI yang memvonis Tom Lembong 4,5 tahun penjara. Sementara itu, penugasan kepada Inkoppol Polri, Inkopkar TNI-AD dan SKKP TNI-Polri tidak memenuhi delik pidana korupsi karena kerugian keuangan negara tidak terbukti. Tabel 1 menyajikan penugasan yang diberikan Tom Lembong empat konsorsium masing-masing dengan mitra usahanya.

 

Putusan hakim menghilangkan sifat perbuatan pidana korupsi pada kegiatan importasi gula karena tidak terbukti kerugian keuangan negaranya, tetapi dalam waktu yang sama importir gula yang melakukan transaksi penjualan GKP kepada PT PPI dijerat pidana korupsi. Anehnya, Tom Lembong terseret dijadikan terpidana karena dinilai hakim turut serta merugikan PT PPI.

 

MENGGUGAT PERTIMBANGAN HAKIM ADANYA KERUGIAN PT PPI

Pertimbangan hakim menerima tuntutan jaksa, yang mendakwa Tom Lembong terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum karena kerugian yang dialami PT PPI memiliki kesalahan yang mendasar. Kekeliruan tersebut menyebabkan putusan hakim dapat dilakukan banding untuk membuktikan kebijakan pemberian impor sebagai tanggung jawab Kemendag berbeda dengan pembelian GKP sebagai penyebab kerugian PT PPI.

Memori banding penasihat hukum dapat diajukan karena keberatan terhadap putusan hakim Pengadilan Tipikor mencakup dua keberatan, yakni kerugian PT PPI tidak memiliki kausalitas dengan terpidana dan kerugian tidak kriteria nyata dan pasti. Apabila hakim pengadilan tinggi dapat menerima salah satu keberatan tersebut, dapat membebaskan pidananya.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan atas Perkara Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tersebut ternyata mengandung kontradiksi. Pertama, tindakan tersebut di luar tugas, wewenang, dan tanggung jawab Tom Lembong dan tidak memiliki kausalitas dengan kebijakan dan tindakan yang dilakukannya.

Tugas menteri hanya terkait dengan kebijakan impor gula, sedangkan urusan tansaksi pembelian PT PPI kepada produsen GKP merupakan aksi korporasi dan tidak menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Tom Lembong juga tidak dapat dikenai Pasal 55 ayat (1) KUHP karena seseorang masuk kategori bersama-sama apabila ada kualitas kontribusi yang cukup signifikan atau substansial dalam perbuatan pidana dan adanya kerja sama dengan kesadaran yang erat.

Kedua, Tom Lembong memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab secara atributif diatur pada Perpres Nomor 48 Tahun 2015 Tentang Kementerian Perdagangan yang tidak secara langsung menjalankannya, tetapi membagi habis tugas dan wewenang tersebut kepada para pejabat eselon I sebagai unsur pimpinan.

Dengan demikian, menteri tidak dapat dituntut bertanggung jawab secara personal karena pelaksanaan tugas dilakukan dalam struktur birokrasi, yang menggariskan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab. Hakim melakukan kekeliruan apabila seorang menteri atas pelaksanaan tugas dan fungsi dalam struktur birokrasinya divonis sebagai pelaku tunggal kejahatan tanpa dapat dibuktikan adanya niat jahat dan perbuatan jahat serta keuntungan materiel dan moril dari korupsi yang didakwakan kepadanya.

Ketiga, pengujian terhadap hasil audit PKKN BPKP yang menyatakan kerugian keuangan negara karena kerugian PT PPI secara metodologi dan konsepsi menunjukkan kesalahan yang mendasar. PT KTM yang mendapat izin impor dari kerja sama dengan PT PPI dengan realisasi sebanyak 111 ribu ton dan menjual kepada PT PPI berupa GKP hanya untuk 12.095 ton ternyata untuk sebanyak 98.905 ton tidak merugikan keuangan megara.

Kalau saja PT KTM tidak menjual GKP kepada PT PPI, PT KTM sama sekali terbebas dari delik pidana. Konstruksi hukum seperti ini selain menunjuk ketidakkonsisten juga kebingungan hakim menentukan suatu perbuatan pidana untuk kasus yang sama.

Hakim menerima tuntutan jaksa yang menyatakan adanya kerugian PT PPI, padahal praktik yang dilakukan oleh PT PPI sama dengan yang dilakukan oleh Inkopkar dan Inkoppol. Logika hukumnya Tom Lembong dapat terbebas dari terjerat hukum kalau saja tidak memberikan persetujuan impor kepada konsorsium PT PPI dan semua persetujuan impor hanya diberikan kepada Inkopkar dan Inkoppol sungguh sudah di luar nalar.

Keputusan pembelian GKP oleh PT PPI bukan merupakan keputusan Tom Lembong, melainkan menjadi wewenang dan tanggung jawab direksi. Alasan PT PPI tidak dapat meraup keuntungan karena tidak melaksanakan sendiri inportasi gula tidak menjadi tangung jawab Tom Lembong. Kenyataaannya, PT PPI tidak melakukan kegiatan importasi sendiri karena alasan keterbatasan kemampuan finansial.

Keempat, fakta historis selama kurun waktu 2016 sampai 2023, PT PPI tidak pernah memperoleh keuntungan sebesar Rp194,72 miliar untuk satu produk yang dijualnya. Tabel 2 menunjukkan perkembangan laba sebelum pajak yang diraup PT PPI atas penjualan berbagai produk dan pendapatan lainnya.

Data tersebut memperkuat argumentasi PT PPI secara historis tidak pernah mendapat keuntungan untuk semua diversifikasi bisnis melebihi Rp145 miliar per tahun sehingga kerugian keuangan negara yang diderita PT PPI akibat keuntungan Rp194,72 miliar selain tidak mungkin juga bersifat potensi dan asumsi belaka. Fakta ini menunjukan putusan hakim yang menerima tuntutan jaksa kerugian keuangan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar tidak memiliki dasar hukum mengikat dan bertentangan dengan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004.

  

Data tabel 2 menunjukkan keterbatasan kemampuan finansial PT PPI untuk melakukan importasi gula senilai pembelian secara tunai tidak dapat dilaksanakan. Posisi kas menunjukan paling tinggi sebesar Rp260 miliar dan utang yang tertinggi sebesar Rp1.722 miliar menyulitkan PT PPI melakukan tambahan pinjaman untuk keperluan importasi gula.

Kelima, penghitungan kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan GKP sebesar Rp194.718.181.818,19 diperoleh dari selisih nilai pembelian GKP oleh PT PPI sebesar Rp1.832.049.545.455,55 dengan nilai pembelian GKP oleh PT PPI berdasarkan harga patokan petani (HPP) sebesar Rp1.637.331.363.636,36.

Menggunakan harga pembanding dari HPP masih terlalu sumir dan bersifat potensi serta asumsi karena HPP merupakan harga terendah GKP pada tingkat petani yang harus dibayar produsen GKP yang tentunya berbeda dengan harga beli GKP oleh PT PPI kepada produsen GKP. PT PPI tidak dapat membeli GKP kepada produsen senilai HPP karena HPP merupakan harga pada tingkat petani kepada produsen yang dapat saja dibayar produsen dengan harga diatas HPP.

 

LONCENG KEMATIAN PERDATA BAGI BEKAS MENTERI

Kehadiran UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimaksudkan melindungi pejabat negara sebagai pejabat administrasi negara dari potensi dikriminalisasi atas pelaksanaan tugas, wewenanng, dan tanggung jawabnya.

Ketentuan itu menegaskan kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara.

Apabila putusan itu bergulir sampai ke Mahkamah Agung tetap mengenakan vonis penjara kepada Tom Lembong, alamat lonceng kematian perdata pada bekas menteri. Sebanyak 34 menteri Kabinet Kerja Jokowi- Jusuf Kalla dan Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma’ruf Amin serta pada gilirannya 48 menteri Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran sudah harus berhitung atas kebijakan dan keputusan yang diambil selama menjabat yang berpotensi dipidanakan.

Keputusan itu apabila telah inkrah akan menjadi yuriprudensi, seorang menteri dapat dipidana sebagai pelaku tunggal kejahatan pada kementerian yang dipimpinnya walaupun tidak mendapat keuntungan materiel atau moril sama sekali. Sejak Orde Baru sampai sekarang, belum pernah seorang menteri terpidana semata-mata karena kebijakan dan keputusan yang diambilnya, melainkan terbukti secara sah dan meyakinkan adanya aliran dana langsung atau tidak langsung kepada sang menteri.

Pemberantasan korupsi tanpa kepastian hukum membuka celah untuk penyidikan serupa terhadap mantan menteri lainnya. Pemidanaan Tom Lembong penuh kejanggalan, menimbulkan kekhawatiran melemahnya independensi peradilan. Tanpa bukti hukum yang memadai dengan delik yang dipaksakan serta waktu penyidikan terkesan mencari momentum politik, kasus ini berpotensi menjelma sebagai politically motivated prosecution, yaitu pemidanaan yang didasarkan pada motif politik daripada penegakan hukum.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya