Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Politik Jalan Tengah

Lukas Benevides, Department of Political Economy and Moral Science University of Arizona, Akademi Bela Negara NasDem
15/8/2025 17:58
Politik Jalan Tengah
Lukas Benevides.(DOK PRIBADI)

POSISI Partai NasDem pasca Pilpres 2024 mengundang perbincangan. Tidak sedikit yang mencibir lantaran dianggap partai pragmatis: Tidak bergabung dengan pemerintahan, tetapi juga tidak beroposisi alias cari aman. Label semacam ini bisa benar, tetapi juga bisa lebih keliru. Benar jika lensa kita adalah demokrasi liberal barat. Salah jika kita konsekuen dengan kondisi demokrasi Tanah Air.

Mari kita bedah alasan mengapa memilih mengambil jalan tengah alih-alih bergabung dengan koalisi atau beroposisi masuk akal untuk partai manapun di Indonesia. Kita timbang cost and benefit politik jalan tengah dari sudut ekonomi politik.

Demokrasi Liberal

Gunjingan banyak orang bahwa NasDem adalah partai pragmatis, lagi medioker, sebenarnya dilandasi dua alasan mendasar. Secara intuitif, buah bibir semacam ini bisa berasal dari kelompok yang tidak menyukai pemerintah dan menginginkan NasDem beroposisi, tetapi juga bisa berasal dari kelompok yang tidak menyukai NasDem mendukung pemerintahan Prabowo. 

Secara teoritis, tuduhan semacam ini sebenarnya berasal dari asumsi dasar para ilmuwan politik bahwa demokrasi liberal adalah demokrasi sesungguhnya (Warbartun & Aspinall, 2019). Demokrasi liberal mensyaratkan oposisi, tidak hanya disensus (Dahl, 1971, 1984). Maka, pilihannya hanya dua: bergabung dengan pemerintahan atau beroposisi. 

Demokrasi liberal memang ideal sebagai sebuah teori dan dapat diaplikasikan di negara-negara maju seperti Eropa Barat, AS, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Namun di negara-negara ini pun performa demokrasi mulai menurun. Kebangkitan populisme di Eropa Barat dan Trump di AS adalah sinyal paling kuat (Van Herpen, 2021; Levitsky & Ziblatt, 2018; 2023). 

Jauh-jauh hari, ilmuwan demokrasi Robert Dahl sudah mengusulkan dua kerangka dasar demokrasi, ideal dan aktual, mengingat demokrasi liberal tidak mudah untuk diaktualisasikan. Demokrasi aktual hanya mensyaratkan beberapa hal: keputusan pemerintah dikontrol oleh pejabat yang dipilih warga, pemilihan reguler yang fair, warga boleh mengkritik pemerintah, dapat mengakses informasi yang benar, dapat membentuk asosiasi, dan semua warga dewasa memiliki hak memilih (Dahl, 1998). Dari segi ini politik jalan tengah tidak melangkahi prinsip demokrasi.

Menanjaknya tren populisme dan otoritarianisme justru menunjukkan demokrasi liberal tidak lebih dari bahan diskusi hangat para profesor dan mahasiswa di dalam kelas. Amerika, yang diakui sebagai negara dengan peradaban demokrasi paling lama dan besar dalam sejarah dunia (Tocqueville, 2010) dan mayoritas warga kelas menengah yang dipandang sebagai tulang punggung demokrasi, beberapa tahun terakhir justru mengalami kemerosotan drastis.

Lantas, apakah masyarakat Amerika yang salah atau nilai demokrasi yang sudah begitu abstrak, tidak menyentuh konteks hidup masyarakat? 
Mungkin sudah saatnya kalangan ilmuwan dan filsuf politik kembali mempertimbangkan nilai dan sistem demokrasi: apakah masih relevan? Apakah masih merepresentasikan ideal hidup banyak orang? Atau sudah menjadi barang usang dan asing yang alih-alih menawarkan solusi malah mendatangkan masalah?

Demokrasi Indonesia Sekarat

Anjuran Robert Dahl untuk membedakan sisi ideal dan aktual demokrasi sebenarnya membuka ruang bagi aplikasi demokrasi secara kontekstual sekaligus mempertahankan prinsip-prinsip yang universal. Membaca demokrasi Indonesia seharusnya melalui kerangka berpikir ini.

Indonesia sejak pendiriannya mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi, tetapi tidak pernah menyebutkan secara eksplisit menganut demokrasi liberal Barat. Indonesia menyadari memiliki nilai-nilai ke-Asia-an yang berbeda dari demokrasi liberal Barat. Pendek kata, jika demokrasi Barat memprioritaskan hak daripada kewajiban, kebebasan individu daripada kepentingan kolektif, konsensus dan kerja sama daripada disensus dan beroposisi, Asian values justru sebaliknya (Stolenberg, 2000; Milner, 1999; Robison, 1996). Karena itu, demokrasi di Asia harus menganut nilai-nilai Asia.

Posisi ini tentu saja dikritik banyak ilmuwan. Beberapa kritikan paling tajam justru datang dari dua ilmuwan Asia yang diakui di panggung global. Amartya Sen, misalnya, mengatakan bahwa Asia itu begitu beragam. Tidak mungkin untuk menyatukan kawasan yang sangat majemuk di bawah satu payung nilai. Maka, ia yakin deklarasi Asian values lebih sebagai agenda politik daripada kultural (Sen, 1997). Asian values tidak lain adalah senjata pemimpin otoritarian untuk membungkam warga dan lawan politik.

Kritikan lain berasal dari Francis Fukuyama. Selain menolak Asian values sebagai etos tunggal masyarakat Asia, ia menunjukkan Asian values tidak berbeda dari prinsip-prinsip dasar demokrasi liberal. Asian values sebenarnya mengakar pada Konfusianisme, yang beberapa ajarannya sama dengan demokrasi liberal: prinsip kompetisi meritokratik, menjunjung tinggi pendidikan, dan toleransi (Fukuyama, 1995). 

Kritik Sen dan Fukuyama tidak salah. Namun mereka juga tidak bisa menafikan kondisi aktual demokrasi Asia yang membutuhkan waktu panjang untuk berdemokrasi. Meskipun Asian values tidak dapat dipertahankan, budaya orang Indonesia memang mengutamakan konsensus daripada disensus, kecuali di ruang akademik (Anderson, 1972; Magnis Suseno, 1984). Tidak beroposisi, menghindari disensus tak berujung tidak salah secara demokratis kontekstual.

Ada yang lebih dalam dari beberapa alasan di atas. Indonesia mengaku diri sebagai negara demokrasi, tetapi indeks demokrasi Indonesia selama era Jokowi hingga Prabowo semakin menurun. Faktor kuat penyebabnya adalah upaya kriminalisasi lawan politik sebagaimana yang terjadi pada Anies, Hasto, dan Tom Lembong (Power, 2018; Pepinsky, 2024; Scott, 2024). Sama seperti Soeharto, Jokowi memandang lawan politik sebagai musuh yang harus dibasmi. Bukan tidak mungkin Prabowo mewariskan kebiasaan ini lantaran didukung Jokowi dan kroni Soeharto dulu. Maka, mengambil posisi tidak beroposisi adalah jalan bijak untuk menghindari kriminalisasi politik. 

Selain kriminalisasi rival politik, yang lebih kejam adalah mematikan jaringan bisnis lawan politik. Ongkos politik di Indonesia sangat mahal. Untuk membangun partai dan berkontestasi dibutuhkan triliunan rupiah. Maka tidak heran, partai-partai politik membangun jaringan bisnis sebagai sumber pendanaan. Belum lagi, di balik setiap partai, ada banyak orang yang menggantungkan nasib hidup mereka. Memahami konteks politik ekonomi demokrasi Indonesia yang sudah sekarat ini tentu akan membuka mata kita untuk tidak menghakimi keputusan jalan tengah secara simplistik, pragmatisme semata. Ada banyak hal yang dipertaruhkan di balik setiap keputusan politik elite partai. 

Terakhir, mengambil jalan tengah adalah keputusan yang sadar prinsip moral daripada partai yang beroposisi selama Pemilu tetapi meminta jatah kursi kementerian pasca-pemilu dengan dalil apa pun. Berpolitik di Indonesia memang tidak semulia ajaran para filsuf, tetapi juga tidak semurahan mengemis kursi kementerian dan BUMN tanpa peduli kelompok mana yang berdarah-darah selama Pemilu. (I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya