Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Negara dari Pinggiran

Hamim Pou, Ketua DPP Bidang Hubungan Eksekutif Partai NasDem 2024-2029, Pengamat Kebijakan Daerah dan Nasional
15/8/2025 17:45
Negara dari Pinggiran
Hamim Pou.(DOK PRIBADI)

SETIAP kali Agustus tiba, jalanan di desa-desa, kota kecamatan, dan lorong RT di berbagai pelosok Indonesia berubah wajah. Bendera merah putih berkibar di pagar-pagar rumah, umbul-umbul berwarna cerah menari di sepanjang jalan, anak-anak menempelkan bendera kecil di sepeda motor mereka, dan bentor hingga truk angkot pun ikut memeriahkan dengan pita-pita dan bendera. Di sudut negeri yang jauh dari sorotan Jakarta, semangat kemerdekaan justru terasa paling hidup. Di sanalah, sesungguhnya, wajah Indonesia paling otentik bisa kita saksikan: semangat gotong royong, partisipasi warga, dan cinta tanah air yang tumbuh dari bawah.

Ketika Jakarta sibuk dalam orbit konflik elite, rapat-rapat yang berputar dalam lingkaran birokrasi, dan regulasi sektoral yang tak kunjung ramping, justru di tempat-tempat yang luput dari sorotan—di lorong RT, desa kecil, dan kabupaten yang tak muncul dalam trending topic—lahir kekuatan sejati bangsa ini. Inovasi, keberanian, dan pelayanan yang mengubah hidup rakyat muncul bukan dari panggung kekuasaan, tapi dari pinggiran. Dan justru dari pinggiran-lah, Indonesia bisa diselamatkan.

Gagasan ini bukan romantisme. Secara filosofis, ia berakar pada prinsip subsidiaritas yang dirumuskan Thomas Aquinas dan dikuatkan oleh Paus Pius XI: keputusan publik harus diambil di level terdekat dengan warga, selama mampu ditangani di sana. Dalam ranah ilmu ekonomi politik, Wallace Oates menjelaskan lewat Decentralization Theorem bahwa kebijakan publik akan lebih efisien bila didelegasikan ke pemerintah yang paling memahami preferensi lokal.

Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi, menegaskan konsep polycentric governance—yakni banyak pusat keputusan yang tidak saling menindas, tetapi bersaing dan berkolaborasi demi hasil terbaik.

Gagasan ini hidup di lapangan. Banyuwangi membangun Smart Kampung, menyatukan layanan dasar dengan data digital di level desa. Surabaya sudah menggunakan e-budgeting dan e-procurement sejak 2012, yang terbukti menurunkan biaya proyek dan menutup celah korupsi. Di Bone Bolango, kami membangun Mal Pelayanan Publik pertama di Provinsi Gorontalo—menyatukan 146 jenis layanan dalam satu konter digital.

Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bone Bolango pun memperlihatkan capaian menggembirakan. IPM 2024 mencapai 72,45, meningkat 0,85 poin atau 1,19% dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam periode 2020–2024, pertumbuhan IPM rata-rata mencapai 0,95% per tahun, dengan kontribusi utama dari peningkatan standar hidup layak (pengeluaran riil per kapita naik 4,50%) dan rata-rata lama sekolah yang meningkat 0,21 tahun. Meski belum masuk jajaran kabupaten dengan IPM tertinggi nasional, capaian ini menunjukkan bahwa inovasi pelayanan publik dari daerah mampu menggerakkan kualitas hidup warga secara nyata.

Di luar negeri, Barcelona melibatkan warga secara langsung lewat Decidim—platform pemungutan suara daring untuk menentukan proyek-proyek pemerintah kota. Di Kerala, India, sebanyak 35% anggaran pembangunan dialokasikan langsung ke desa, menciptakan capaian pendidikan dan kesehatan yang melebihi rerata nasional. 

Semua ini membuktikan satu hal: desentralisasi bukan hanya mungkin, tapi mutlak perlu untuk mempercepat pemerataan dan demokratisasi pembangunan.

Namun, ketika daerah mulai membuktikan kemampuannya, pusat justru menambah beban. Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik 2024 mengalami keterlambatan karena syarat salur yang terus berubah. 

UU Cipta Kerja mencabut kewenangan kepala daerah dalam perizinan kehutanan. Di banyak daerah, petani hutan yang selama ini menggarap lahan sosial kehilangan akses karena regulasi baru dibuat tanpa mendengar suara lokal. Daerah diminta inovatif, tapi ditarik rem tangan oleh aturan pusat yang serba sektoral, tumpang tindih, dan sering kali tidak memahami konteks lokal.

Akar persoalannya adalah ketimpangan dalam tiga dimensi: fiskal, hukum, dan politik. Dari sisi fiskal, sebagian besar APBD masih bergantung pada transfer pusat yang penuh syarat. Otonomi fiskal hanya ilusi bila kemampuan daerah terbatas karena sumber daya dikunci di pusat. Dari sisi hukum, kepala daerah menghadapi ratusan regulasi sektoral, kadang saling bertentangan. Secara politik, insentif pejabat pusat untuk berbagi kewenangan sangat kecil, sementara rakyat di daerah terus menuntut hasil nyata.

Maka, negara harus segera membalik arah: bukan memperkuat kontrol vertikal, tetapi membangun kepercayaan horizontal. Ada empat langkah konkret yang bisa diambil.

Pertama, reformasi fiskal dengan pendekatan block grant berbasis kinerja—bukan berbasis proposal semata. Afrika Selatan menjadi contoh baik dengan Performance-Based Grants. Kedua, memberi ruang regulatory sandbox bagi daerah-daerah dengan capaian unggul, agar bisa melakukan eksperimen kebijakan secara legal. Ketiga, membangun federated data platform antar-pemerintah, bukan sekadar laporan PDF antarkementerian, tapi data terbuka yang saling integratif berbasis API. Keempat, investasi serius pada SDM daerah, lewat program semacam District Leadership Fellowship yang mendidik aparatur muda menjadi pemimpin lokal berbasis nilai dan inovasi.

Negara dari pinggiran bukan perlawanan terhadap pusat. Ia adalah ajakan untuk mendengar. Bukan untuk memberontak, tetapi untuk membangun bersama. Republik ini akan lebih kokoh bila pemerintah pusat tidak memposisikan diri sebagai pengatur tunggal, melainkan sebagai mitra sejajar bagi daerah-daerah yang ingin bergerak lebih cepat.

Ketika lonceng 17 Agustus 2025 berdentang, mari kita rayakan kemerdekaan bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai kontrak pembaruan: membangun keadilan dari lorong RT, menjaga bumi yang lestari, dan menenun solidaritas kebangsaan dari bawah ke atas. Otonomi yang matang—ditopang transparansi, akuntabilitas, dan gotong royong—adalah cara paling konkret untuk memenuhi kontrak itu.

Sebab Indonesia yang kuat di pusat hanya mungkin jika ia terlebih dulu merdeka di pinggiran. (I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya