Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
KRITIK masyarakat yang disampaikan melalui pengibaran bendera One Piece sejatinya merupakan bagian dari partisipasi politik. Karenanya, pembungkaman terhadap kritik melalui pelarangan, apalagi ancaman pidana, dapat merusak kesehatan demokrasi di Indonesia. Hal itu disampaikan Guru Besar Ilmu Komunikasi Politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto. Menurutnya, itu adalah salah satu ekspresi simbolik masyarakat terhadap situasi saat ini.
"Ini semua adalah bagian atau cara ekspresi simbolik. Yang paling penting itu adalah respons dari mereka yang menerima kritik. Kalau responsnya berlebihan dan kecenderungan akan melakukan koorporatisme politik atau pembonsaian, ini agak riskan kalau kritik dibungkam," kata dia saat dihubungi, Selasa (5/8).
Pelarangan hingga ancaman pidana atas pengibaran bendera One Piece dinilai sebagai respons yang berlebihan dan tak perlu. Alih-alih fenomena itu mereda, masyarakat justru kian tersulut dan berpotensi menimbulkan gerakan yang lebih besar.
Kekhawatiran perihal makar dari pengibaran bendera itu juga dipandang terlalu dini atau prematur. Respons berlebihan itu di saat yang sama turut mencederai partisipasi politik masyarakat dalam berdemokrasi.
"Dalam indeks itu bukan hanya keberfungsian pemerintah. Indeks demokrasi itu ditentukan oleh banyak faktor, antara lain adalah electoral process and pluralism, civic culture, civic liberty, termasuk di antaranya partisipasi politik," ungkap Gun Gun.
"Partisipasi politik itu ada konvensional, datangnya orang ke TPS dan nonkonvensional seperti kritik terhadap pemerintah. Jadi itu bagian dari partisipasi, biarkan negara demokrasi sehat dengan keberadaan kritik dari warga masyarakat," tambahnya.
Kritik masyarakat, termasuk melalui pengibaran bendera One Piece, sepatutnya dianggap sebagai bentuk kontrol publik terhadap pemerintah. Apalagi saat ini para pemangku kepentingan boleh dibilang condong satu suara dengan pemerintah.
"Partai tentu dengan kepentingannya masing-masing, pemerintah dengan fungsi dan otoritas yang disematkan kepada mereka, kontrol dilakukan oleh elemen masyarakat. Fungsi kekuatan penyeimbang di parlemen tidak bisa optimal karena power sharing," tutur Gun Gun.
Karena itu pemerintah, maupun parlemen semestinya tak menyikapi fenomena tersebut secara berlebihan. Praktik penyampaian kritik simbolik juga sejatinya banyak dilakukan di negara-negara yang menganut demokrasi.
"Makanya hal-hal seperti ini anggap saja sebagai bagian dinamika masyarakat. Toh, beberapa pengibaran bendera itu di kanal-kanal media sosial itu masih organik. Jadi kalau dipantik dengan tindakan hukum karena dianggap misalnya pidana, merusak marwah, melanggar aturan atau UU, kalau pendekatannya legal formalistik, itu yang justru berpotensi memantik," tukas Gun Gun.
"Sekarang ini menurut saya ya diperhatikan saja, dicermati. Kalau kritiknya konstruktif, anggap saja itu bagian dari hal penting dalam konteks check and balances. Tapi kalau ternyata mengarah pada hal destruktif, mengonsolidasikan kekuatan makar, ada free rider, baru lah pemerintah ambil tindakan tegas. Jangan terlalu awal memberikan penyimpulan dan jangan terlalu awal melakukan tindakan hukum yang tidak perlu," pungkasnya.(M-2)
Gun Gun mengatakan selain dinilai berdasarkan persepsi publik, pemerintahan juga harus kritisi berdasarkan konteks keberfungsian pemerintah yang bisa dilakukan melalui kajian para ahli.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved