Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Demokrasi Indonesia Mengarah ke Otoritarianisme

M Ilham Ramadhan Avisena
14/8/2025 19:03
Demokrasi Indonesia Mengarah ke Otoritarianisme
Foto Para aktivis HAM, akademisi, hingga pengamat politik yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), Kamis (14/8).(MI/M Ilham)

GEJALA kemunduran demokrasi di Indonesia dinilai semakin nyata dan mengkhawatirkan. Sejumlah tokoh, mulai dari aktivis HAM, akademisi, hingga pengamat politik, mengungkap tanda-tanda menguatnya pola kekuasaan ala Orde Baru yang berpotensi menyeret negara kembali ke arah otoritarianisme.

Jaksa Agung periode 1999-2000 sekaligus aktivis HAM Marzuki Darusman menyatakan praktik politik yang bersumber dari corak kekuasaan Orde Baru masih berlanjut. Menurutnya, sistem ini bersandar pada konsep negara keamanan nasional yang mengutamakan kontrol ketat atas masyarakat. 

"Ini praktik yang bersumber pada satu corak penyelenggaraan kekuasaan bersumber pada hakikat negara keamanan nasional," ujarnya, Jakarta, Kamis (14/8). 

Ia menilai, warisan tersebut telah menimbulkan kelumpuhan di dalam kesadaran bersejarah yang membuat masyarakat sulit membedakan antara masa lalu dan arah perubahan yang diinginkan. 

Marzuki menuturkan, semangat reformasi yang sempat membawa harapan besar kini semakin pudar. "Kita ingin mengubah dan mencapai konsensus baru, dari agresif darurat cemas jadi nasionalisme yang berperikemanusiaan dan progresif," tambahnya.

Tanpa Basis Ilmiah

Pandangan serupa disampaikan oleh pakar antropologi hukum, Sulistyowati Irianto. Ia mengkritik proses legislasi dan kebijakan publik yang dibuat tanpa basis ilmiah dan kajian mendalam. "Segala macam revisi hukum dan kebijakan dibuat tanpa landasan pemikiran intelektual, tidak didasarkan pada data," kata Sulistyowati.

Ia menegaskan, DPR yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat justru kehilangan fungsi karena dominasi koalisi besar. Produk hukum yang lahir lebih banyak didorong intuisi politik dan kepentingan populisme untuk mempertahankan status quo kekuasaan. 

Menurutnya, praktik tersebut berbahaya karena membuat masyarakat menjadi antisains dan mengikis nilai-nilai luhur seperti kejujuran, integritas, dan keadilan. Sulistyowati juga mengingatkan, mengesampingkan sains dan pengetahuan akan mendorong lahirnya kebijakan yang rapuh, serta membuka ruang bagi manipulasi sejarah. 

Ia menyebut penulisan ulang sejarah sering dijadikan alat untuk memperkuat legitimasi politik, bukan untuk memperkaya wawasan publik.

Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) Jaleswari Pramodhawardani menilai situasi saat ini memperlihatkan tiga gejala utama kemunduran demokrasi. Pertama, kecenderungan pemerintahan yang antidemokrasi, otoriter, dan personalistik. 

Kedua, melemahnya institusi demokrasi yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan. Ketiga, adanya upaya kontrol pikiran dan penulisan ulang sejarah ala Orde Baru.

Menurut Jaleswari, proyek-proyek pemerintah yang bersifat tertutup mengulang pola masa lalu dengan membangun ilusi nasionalisme. "Hari ini kita juga dihadapkan oleh semacam proyek pemerintah yang tertutup, dengan indikasi keberulangan praktik di zaman Orde Baru," ujarnya. 

Pola ini, lanjutnya, tidak hanya mengikis kebebasan berpikir, tetapi juga membatasi ruang bagi pandangan yang berbeda. Jaleswari menegaskan, penulisan ulang sejarah yang dilakukan secara selektif menjadi strategi untuk membentuk narasi tunggal yang memuliakan penguasa dan menyingkirkan catatan kritis. Dalam jangka panjang, hal ini membentuk generasi yang buta sejarah dan sulit menilai kebijakan secara objektif.

Titik Terendah Demokrasi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid bahkan menilai demokrasi Indonesia telah mencapai titik terendah. "Sayangnya demokrasi kita sudah tidak lagi ada. Laporan V-Dem pertama kalinya menempatkan Indonesia dalam kategori otokrasi elektoral," kata dia. 

Menurut Usman, kategori itu berarti pemilu masih ada, tetapi dijalankan dalam kerangka otoritarianisme. Ia juga menilai situasi Indonesia saat ini tengah mengarah pada fasisme yang mencakup regimentasi ideologis, pengkultusan individu, dan penulisan ulang sejarah untuk memuliakan rezim masa lalu.

Usman menyoroti upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebagai bentuk pengemasan ulang kediktatoran yang memutihkan catatan pelanggaran HAM dan praktik korupsi di masa lalu. Langkah itu, menurutnya, merupakan bagian dari paradigma negara integralistik yang menolak oposisi dan mengabaikan hak-hak warga negara.

Ia menambahkan, penulisan ulang sejarah dalam bentuk glorifikasi rezim masa lalu akan menciptakan kemutlakan kekuasaan yang berbahaya. "Totalitas semacam itu hanya akan melahirkan kemutlakan kekuasaan. Fasisme, autokrasi adalah musuh civil society," tutur Usman. 

Para aktivis HAM, akademisi, hingga pengamat politik itu mendesak pemerintah mencabut berbagai kebijakan yang membawa kemerosotan nasional seperti kebijakan penulisan ulang sejarah, penetapan hari kebudayaan nasional, dan pemberian gelar kehormatan untuk orang-orang yang dinilai secar jelas telah merusak sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan di masa silam. Kemudian pemerintah juga didesak menghentikan praktik-praktik otoriter melalui kebijakan atau upaya lainnya yang mematikan sendi demokrasi, termasuk yang melumpuhkan fungsi partai politik. Lalu pemerintah turut didesak menghentikan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi melalui berbagai instrumen hukum dan tindak kekerasan aparat terhadap masyarakat yang bersuara kritis. (Mir/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya