Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEJUMLAH tokoh tergabung dalam Aktivis '98 lintas generasi berkumpul dalam acara diskusi bertajuk “Sarasehan Aktivis Lintas Generasi Memperingati Reformasi 1998” untuk mengenang peristiwa jatuhnya pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto. Pertemuan itu diselenggarakan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan (Jaksel), pada Rabu (21/5) siang.
Beberapa nama aktivis yang hadir di antaranya Faisol Riza, Habiburokhman, Riza Patria, Masinton Pasaribu, Immanuel Ebenezer, Qodari, dan Rocky Gerung. Lalu, tampak pula Haris Rusly Moti, Feri Amsari, Robertus Robert, Melkiades Laka Lena, Syahganda Nainggolan, Hariman Siregar, Agus Jabo, Sulaiman Haikal, Andrianto Andri, dan masih banyak lagi.
Aktivis Malari, Hariman Siregar menyampaikan bahwa pertemuan mereka hari ini memiliki kesamaan tanggal dengan jatuhnya Soeharto dari Presiden ke-2.
“Jadi sebelum saya mau mulai, saya mau cerita dulu, bahwa hari ini 27 tahun lalu tanggal 21 Mei, hari Kamis saya ingat, itu Pak Harto pidato bahwa dia mundur dan angkat Pak Habibie, wakilnya, jadi presiden,” jelas Hariman.
Hariman juga menyebutkan bahwa mereka kembali berkumpul hari ini, tetapi yang menjadi Presiden adalah menantu Soeharto, yakni Prabowo Subianto. “Hari ini entah kenapa kita dikumpulkan lagi pada tanggal yang sama, 21 Mei. Dan di mana yang jadi presiden adalah menantu beliau sekarang. Jadi percaya enggak percaya, kita boleh berusaha, tapi takdir yang menentukan,” imbuhnya.
Sementara itu, Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus Sosiolog, Robertus Robert mengatakan bahwa demokrasi ekonomi pasca reformasi hanya bisa dilakukan apabila syarat-syarat demokrasi politik telah tercapai.
“Jadi dalam isu itu, sebenarnya sejarah itu membuka peluang yang cukup lebar, tetapi seperti kebanyakan yang juga terjadi dalam banyak ide dan kebijakan, ini bisa berlalu sebagai sejarah fakta dalam kronologi dan enggak menghasilkan apa-apa,” katanya.
Menurut Robertus, konteks demokrasi politik hari ini masih jauh dari tujuan dan mandat reformasi. Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan kelas pekerja apabila serius ingin mengubah kondisi ekonomi menjadi lebih demokratis,
“Kalau hari ini kita ngomong tentang demokrasi ekonomi, kita harus mulai dari politik ekonomi pekerja karena kita semua ada di situ,” tukasnya.
Alih-alih demokrasi ekonomi, Robertus menilai saat ini ekonomi justru dikelola secara oligarki yang terkonsentrasi pada kelompok kecil.
“Adanya ketimpangan ekonomi dan politik karena hanya elite yang menguasai, akibatnya dalam demokrasi kita dengan adanya oligarki semacam ini adalah politik tidak lagi bisa untuk mencapai kemaslahatan umum,” imbuhnya.
Lebih jauh, Robertus menilai menjelaskan ekonomi yang dikuasai oligarki dapat menjadi sangat merusak dan mengancam demokrasi serta kesejahteraan masyarakat secara luas.
“Oligarki yang menghalangi perumusan politik sebagai cara untuk mencapai kemaslahatan umum. Kalau politik gagal didefinisikan sebagai ikhtiar untuk mencapai kemaslahatan umum maka politik tidak bisa memberikan jalan keadilan ekonomi sekalipun kita sudah punya demokrasi,” tandasnya. (Dev/P-3)
Yang bisa bermain dalam kuota impor hanyalah mereka yang punya uang cash sangat besar.
Demokrasi Indonesia terperangkap dalam lingkaran setan. Hal itu lantaran mahalnya biaya politik sehingga menimbulkan korupsi dan oligarki.
Kasus korupsi Sekretaris Mahkamah Agung nonaktif Hasbi Hasan beberapa waktu lalu mengungkapkan adanya mafia hukum.
Kemunduran demokrasi tersebut terjadi karena kekuatan politik berkonvergensi menyatu antara oligarki, plutokrasi dan partokrasi.
MEMASUKI awal abad ke-21, para akademisi bidang ilmu politik mulai meragukan optimisme akan penguatan demokrasi yang tumbuh di akhir abad ke-20.
Setiap warga memiliki hak konstitusional untuk menggugat produk UU jika memenuhi syarat.
Bayu melaporkan bahwa struktur kepengurusan baru telah terdaftar secara resmi melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0000825.AH.01.08.TAHUN 2025.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan publik sering kali menjadi paradoks yang menyakitkan, alih-alih menyelesaikan masalah justru melahirkan konflik baru.
KETUA Umum Rampai Nusantara, Mardiansyah Semar, menegaskan bahwa hak politik Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi) sebagai warga negara dilindungi oleh undang-undang.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
PPP yang melirik figur di luar partai untuk jadi ketum juga imbas tidak berjalannya kaderisasi. Figur di luar partai yang berduit juga diperlukan untuk kebutuhan partai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved