Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Masyarakat Diminta Kenali Politik Wajah Ganda

Budi Ernanto
20/7/2025 18:44
Masyarakat Diminta Kenali Politik Wajah Ganda
Moestar Putrajaya.(DOK PRIBADI)

DINAMIKA politik elektoral menghadapkan masyarakat pada berbagai fenomena komunikasi yang tidak selalu mudah dicerna. Salah satu fenomena yang semakin menonjol adalah apa yang disebut sebagai politik wajah ganda, sebuah strategi komunikasi yang tampak menghujat seorang calon pemimpin, tetapi justru memberi efek positif terhadap citra tokoh tersebut.

Fenomena tersebut bukan barang baru dalam jagat politik Indonesia. Akademisi sekaligus Ketua Yayasan Universitas Jayabaya, Moestar Putrajaya, saat dimintai pendapat terkait fenomena ini mengatakan strategi semacam ini telah menjadi bagian dari teknik komunikasi politik yang digunakan untuk mengelola persepsi publik secara halus namun sistematis.

Moestar mengatakan pada praktiknya, strategi ini bekerja dengan menciptakan narasi penghinaan berlebihan kepada seorang calon atau politisi. 

Tapi bila diamati mendalam, hujatan itu justru tidak menghancurkan karakter, melainkan membuka ruang simpati. Tokoh yang diserang tampak sebagai korban, dan dianggap pantas untuk dibela.

“Kadang-kadang, hujatan hanya topeng. Di baliknya ada skenario  mendorong simpati publik. Tokoh yang digambarkan sebagai korban serangan justru bisa mendapatkan pencitraan positif, dan ini sering kali disusun secara sengaja oleh tim komunikasi politiknya,” lanjut Moestar.

Dalam psikologi, lanjut Moestar strategi ini dikenal sebagai reverse psychology, yakni membuat seseorang melakukan sesuatu dengan mendorong mereka ke arah yang berlawanan. 

Dalam konteks politik, bentuknya bisa berupa penghinaan yang justru mendorong simpati publik. Hasil akhirnya adalah calon tersebut mendapat perhatian dan dukungan lebih besar, bukan karena program atau visinya, melainkan karena persepsi bahwa ia sedang ‘dizalimi’.

Di era digital saat ini, strategi semacam itu sangat mudah diluncurkan melalui media sosial. Akun-akun anonim, buzzer, hingga simpatisan politik berpura-pura menjadi lawan dan melontarkan narasi keras yang terlihat menyerang. Namun narasi tersebut tidak sepenuhnya bertujuan membunuh karakter, melainkan memancing rasa iba masyarakat.

Dalam beberapa kasus, gaya menyerang yang berlebihan bahkan sengaja ditampilkan untuk menciptakan kesan bahwa calon tersebut punya banyak musuh. 

Dan seperti yang umum dalam budaya politik kita, seseorang yang tampak dikeroyok sering kali justru mendapatkan simpati publik. Ini adalah bagian dari drama politik yang disusun sebagai panggung opini, bukan pertarungan gagasan.

“Ini bukan soal debat visi-misi. Ini soal permainan persepsi. Kritik palsu bisa menjadi alat pencitraan. Hujatan bisa berfungsi sebagai propaganda. Inilah realitas politik wajah ganda,” kata Moestar.

Menurutnya, jika politik hanya dipandang sebagai perebutan kekuasaan semata, maka strategi semacam ini bisa dianggap sah-sah saja. Namun jika politik diyakini sebagai ruang edukasi, tempat publik belajar tentang gagasan, nilai, dan arah pembangunan, maka strategi manipulatif seperti ini justru merusak nalar demokrasi.

“Kita harus membangun demokrasi yang sehat, bukan demokrasi yang dikendalikan oleh kebohongan yang dibungkus emosi. Masyarakat perlu menyadari bahwa tidak semua yang menghujat benar-benar membenci, dan tidak semua yang memuji benar-benar mendukung,” tegas Moestar.

Dalam era yang dibanjiri informasi seperti sekarang, kebohongan yang diulang-ulang bisa terasa seperti kebenaran, apalagi jika disampaikan dengan penuh emosi. Karena itu, kemampuan masyarakat untuk membaca niat di balik kata-kata menjadi kunci penting dalam menjaga kualitas demokrasi.

“Demokrasi hari ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang kecakapan rakyat dalam menilai motif di balik narasi. Siapa yang terlihat jahat belum tentu musuh, dan yang tampak baik belum tentu kawan,” tutup Moestar. (I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto
Berita Lainnya