Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Dugaan Korupsi Importasi Gula: Kegagalan Auditor Membuktikan Kerugian Keuangan Negara

Hamdani Associate Professor Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas Padang dan pakar audit penghitungan kerugian keuangan negara
10/7/2025 05:00
Dugaan Korupsi Importasi Gula: Kegagalan Auditor Membuktikan Kerugian Keuangan Negara
(Dok. Pribadi)

'KEADILAN akan mencari jalannya sendiri' ternyata masih harus dinanti oleh Menteri Perdagangan (Mendag) RI periode Agustus 2015-Juli 2016, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong). Surat Tuntutan Pidana N. Reg Perk: PDS-06/M.1.10/Ft.1/02/2025 tanggal 4 Juli 2025 yang menuntut Tom Lembong tujuh tahun penjara atas tindak pidana korupsi (tipikor) importasi gula dinilai publik sangat kontroversi.

Kendati jaksa menyatakan Tom Lembong sama sekali tidak menikmati hasil korupsi atas kerugian keuangan negara Rp 578,11 miliar, tuntutan tersebut menunjukkan jaksa mengabaikan fakta persidangan yang mengungkapkan tidak terjadi perbuatan dengan sengaja yang merugikan keuangan negara sebagaimana dakwaannya.

Sidang yang dimulai 6 Maret 2025 sudah digelar selama empat bulan, sampai pembacaan surat tuntutan jaksa pada 4 Juli 2025. Pembacaan keputusan hakim yang direncanakan 16-17 Juli 2025 memaksa Tom Lembong menjalani sidang dengan waktu maksimal. Panjangnya jalan mencari keadilan mengakibatkan Tom Lembong terpaksa mendekam dalam jeruji besi hampir sembilan bulan untuk pidana korupsi yang belum terbukti sebagai kesalahannya.

Pasalnya, Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 sd 2016 Nomor: PE.03/R/S-51/D5/01/2025 tanggal 20 Januari 2025 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi dasar surat tuntutan jaksa dinilai memiliki cacat formil dan material. Hasil audit itu tidak dapat sepenuhnya membuktikan dua unsur pokok pidana korupsi, yakni kerugian keuangan negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 dalam perkara pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor mengubah pidana korupsi dari delik formil menjadi delik materiel. Konsekuensi dari putusan MK tersebut pembuktian kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti berdasarkan audit investigasi PKKN dan yang dapat dihukum orang yang secara materiil melakukan perbuatan pidana korupsi dan secara materiil merugikan keuangan negara.

Ketentuan itu mensyaratkan korupsi terjadi diukur bukan dari perbuatan dan tindakan seseorang, tetapi akibat yang ditimbulkan dari perbuatan dan tindakan tersebut berupa kerugian keuangan negara. Padahal, kebijakan dan perbuatan yang dilakukan Tom Lembong tidak memiliki kausalitas dengan terjadinya kerugian tersebut pada saat pemberian izin impor karena dilakukan dalam sistem administrasi pemerintahan yang bersifat kelembagaan.

Tom Lembong juga tidak dapat dikenakan Pasal 55 ayat (1) KUHP karena seseorang masuk kategori bersama-sama apabila ada kualitas kontribusi yang cukup signifikan atau substansial dalam perbuatan pidana dan adanya kerja sama dengan kesadaran dan erat.

 

CACAT FORMIL AUDIT PKKN BPKP

Sesuai dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, hasil audit PKKN harus mengandung kebenaran formil dan materiel untuk membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Untuk itu, audit PKKN BPKP harus mengacu pada Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), Standar Audit Internal Pemerintah Indonesia (SAIPI), dan Peraturan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Nomor 1 Tahun 2024 tentang Audit Investigatif.

Auditor BPKP dalam melaksanakan audit PKKN harus menaati ketentuan di atas dan menjaga independensi, objektivitas, dan kecermatan yang profesional.

Independensi ialah kondisi bebas dari situasi yang dapat mengancam kemampuan auditor untuk dapat melaksanakan tugasnya secara objektif. Untuk mencapai tingkat independensi, auditor harus memiliki akses langsung dan tak terbatas kepada bukti audit.

Kenyataannya, ketika melakukan audit atas importasi gula pada 2015 dan 2016, auditor membatasi diri untuk mengumpulkan bukti audit pada periode dan tindakan yang dilakukan oleh Tom Lembong kendati peristiwa yang sama dalam 2 tahun tersebut juga terjadi di luar periode Tom Lembong.

 

OBJEKTIF

Objektivitas adalah suatu sikap mental tidak memihak yang memungkinkan auditor melaksanakan tugas sedemikian rupa mensyaratkan auditor untuk tidak mendasarkan penilaiannya terkait dengan aktivitas audit kepada penilaian pihak lain.

Kenyataannya, auditor BPKP mengandalkan sepenuhnya kepada pendapat ahli menyangkut kerugian keuangan negara berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) yang diterima dari penyidik. Hasil audit mengutip pendapat Siswo Sujanto yang menyatakan atas bea masuk GKM yang seharusnya impor adalah GKP. Maka itu, tindakan di atas telah mengakibatkan kerugian negara tanpa memperhatikan apakah ada regulasi yang melarang dan ilegal mengimpor GKM.

Audit PKKN harus memastikan informasi mengenai predikasi yang dikandung dengan lengkapnya unsur 5W plus 2H antara lain what (apa-jenis penyimpangan dan dampaknya); when (kapan waktu kegiatan yang diduga terjadi penyimpangan); who (siapa pihak-pihak yang terkait); how (bagaimana-modus penyimpangan).

Faktanya, hasil audit BPKP belum melengkapi unsur fraud tersebut dengan pelaku yang terkait dan bagaimana modus penyimpangannya. Tidak adanya kejelasan peran masig-masing pihak yang terkait dengan proses pemberian persetujuan impor gula tersebut mengakibatkan Tom Lembong dijadikan kambing hitam sebagai pelaku tunggal kejahatan dari unsur penyelenggara negara.

Dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, audit adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. SAIPI yang menjadi norma audit PKKN BPKP menyatakan dalam melaksanakan audit, setiap auditor harus menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam setiap penugasan bidang investigasi.

Kenyataannya, angka PKKN sebesar Rp578,11 miliar pada hasil audit PKKN BPKP termasuk sebesar Rp62,70 miliar tidak berasal pada periode Tom Lembong. Dalam penghitungan kekurangan bea masuk, auditor tidak cermat ketika menggunakan asumsi untuk menentukan harga penyerahan GKP untuk menghitung bea masuk, sehingga nilai kelebihan pembayaran bea masuk dan PPN impor antara GKP dengan GKM bersifat asumtif.

Auditor juga mengabaikan fakta hasil audit BPK RI pada 2015, 2016, dan 2017, yakni gula kristal putih (GKP) yang diimpor hanya sebanyak 84.675 ton jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi GKP sebanyak 2.154.325 ton sehingga sesungguhnya tidak ada larangan dalam regulasi melakukan impor GKM menjadi GKP. Selain itu, dari impor GKM menjadi GKP pada 2015 dan 2016, sebanyak 1.262.700 ton kerugian keuangan negara dihitung sebagai perbuatan Tom Lembong sebanyak 1.010.126 ton, padahal persetujuan impor dalam periode Tom Lembong sebanyak 758.726 ton GKM saja.

LHP BPK Nomor: 47/LHP/XV/03/2018 Tanggal 2 Maret 2018 memuat hasil audit pengelolaan impor periode 2015 sd semester I 2017. BPK melakukan audit terhadap sebanyak 2.154.325 ton impor GKM menjadi GKP pada periode tersebut. BPK menyatakan tidak terjadi korupsi atas impor dimaksud berupa kekurangan pembayaran bea masuk dan PPN impor sebagaimana dinyatakan dalam audit PKKN BPKP.

Peraturan Deputi Kepala BPKP Nomor 1 Tahun 2024 menekankan audit PKKN dapat dilaksanakan apabila objek yang sama belum diperiksa oleh BPK. Faktanya, auditor BPKP tidak melakukan koordinasi dengan auditor BPK untuk melakukan konfirmasi dan klarifikasi kenapa auditor BPK yang melakukan audit untuk objek yang sama sebelumnya tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam importasi gula tersebut.

 

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TIDAK NYATA DAN PASTI

Konsepsi PKKN yang menghasilkan kerugian keuangan negara sebesar Rp578,11 miliar dinilai absurd dan tidak logis. Angka tersebut diperoleh dari kerugian keuangan negara atas kekurangan pembayaran bea masuk (BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) sebesar Rp383.39 miliar dan kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan GKP untuk penugasan stabilisasi harga sebesar Rp194.72 miliar. Kalau jaksa tetap bertahan dengan angka tersebut, ternyata dapat dibuktikan kerugian keuangan negara tidak nyata dan tidak pasti sejumlah tersebut, audit PKKN dapat dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan Putusan MK Nomor 25 Tahun 2016.

Kerugian keuangan negara sebesar Rp383.387.229.803,46 terdiri atas kekurangan pembayaran bea masuk sebesar Rp362.279.517.784,57, kekurangan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) impor sebesar Rp55.668.049.041,20 dan kelebihan pembayaran pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 impor sebesar Rp34.560.337.022,31. Audit PKKN BPKP yang menghitung kerugian keuangan negara dari kekurangan pembayaran bea masuk dan PPN impor cacat secara material karena mengandung kelemahan metodologi dan konsepsi PKKN.

Kekurangan bea masuk tidak serta-merta dapat dikatakan menguntungkan importir karena bea masuk bukan merupakan keuntungan, melainkan komponen biaya yang menentukan harga jual. Kalau misalnya harga impor GKM per kilo Rp10.000 dikenai bea masuk Rp 2.000 dengan biaya pengolahan Rp1.000 dan keuntungan Rp500, produsen akan menetapkan harga jual sebelum PPN Rp13.500 (10.000+2.000+1.000+500). Apabila bea masuk Rp1.000, harga jual dihitung sebesar Rp12.500 (10.000+1.000+1.000+500), sehingga bea masuk tidak memengaruhi keuntungan importir sebagai produsen. Analisis ini membuktikan kekurangan pembayaran bea masuk tidak dapat dikatakan menguntungkan importir yang memproduksi GKM menjadi GKP.

Sementara itu, dari sisi pendapatan negara, unsur kerugian keuangan negara dari kekurangan pembayaran bea masuk tidak ada sama sekali. Importir telah membayar bea masuk sesuai tarif yang berlaku atas impor GKM menjadi GKP. Impor dilakukan secara legal dan membayar bea masuk sesuai ketentuan sehingga tidak tepat membebani importir harus membayar bea masuk sesuai tarif untuk GKP yang tidak pernah diimpornya.

UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menyatakan PPN impor merupakan PPN masukan yang dapat dikreditkan. Pendapatan negara sesungguhnya bukan dari PPN masukan, tetapi selisih antara PPN keluaran dengan PPN masukan. SPT masa PPN melaporkan PPN impor sebagai PPN masukan bukan merupakan keuntungan bagi importir, melainkan sebagai pengurang yang menentukan besaran PPN terutang setiap bulan/masa pajak.

Kekurangan pembayaran PPN impor tidak mengakibatkan kerugian keuangan negara. Pasalnya, importir telah membayar PPN sesuai dengan barang yang diimpor dengan besaran PPN berdasarkan nilai impor sebagai dasar pengenaan pajak. Selain itu, pendapatan negara berupa PPN dari produsen gula ditentukan dari PPN terutang, yakni PPN keluaran atas penjualan produsen kepada distributor dikurangi PPN impor. Pendapat auditor yang menyatakan kekurangan pembayaran PPN impor memenuhi kriteria kerugian keuangan negara secara metodologi dan konsepsi keliru.

Kerugian keuangan negara dalam hasil audit PKKN tersebut lebih bersifat analitis, dalam artian menggunakan asumsi dan potensi untuk menentukan adanya kerugian keuangan negara. Jaksa dan auditor BPKP memaksakan standar dan kriteria yang harus diimpor ialah GKP sehingga ketika yang diimpor ialah GKM penghitungan kerugian keuangan negara diasumsikan sebagai selisih bea masuk dan PPN impor antara GKP dengan GKM. Audit PKKN yang dihasilkan dari analitis, asumsi, dan potensi tersebut yang tidak mencerminkan kerugian keuangan nyata dan pasti (actual loss) bertentangan dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut dapat dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Jaksa keliru menafsirkan impor GKM merupakan perbuatan melawan hukum karena yang harus diimpor ialah GKP. Padahal, Pasal 4 Permendag Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula menyatakan impor GKP hanya dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan ketersediaan den kestabilan harga GKP. Ketentuan ini tidak merupakan pembatasan impor GKM karena impor GKP bukan merupakan satu-satunya kebijakan dalam rangka mengendalikan ketersediaan den kestabilan harga.

Penghitung kemahalan harga yang dibayarkan PT PPI dalam pengadaan GKP sebesar Rp194.718.181.818,19 diperoleh dari selisih nilai pembelian GKP oleh PT PPI sebesar Rp1.832.049.545.455,55 dengan nilai pembelian GKP oleh PT PPI berdasarkan harga patokan petani (HPP) sebesar Rp1.637.331.363.636,36. Menggunakan harga pembanding dari HPP masih terlalu sumir karena HPP merupakan harga terendah GKP pada tingkat petani yang harus dibayar produsen GKP yang tentunya berbeda dengan harga beli GKP oleh PT PPI kepada produsen GKP. PT PPI tidak dapat membeli GKP kepada produsen senilai HPP karena HPP merupakan harga pada tingkat petani kepada produsen yang dapat saja dibayar produsen dengan harga diatas HPP.

Data yang diperoleh Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan, menunjukkan fakta sebaliknya. Sepanjang 2015 dan 2016, perusahaan BUMN, yakni PTPN VII, IX, X, XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) membeli gula petani (harga lelang) jauh lebih mahal dari harga dasar. Harga beli rata-rata gula petani pada Mei dan Juni 2016, bahkan mencapai Rp13.608 dan Rp14.026 per kg, atau 50% dan 54% di atas harga dasar. Harga ini jauh lebih mahal dari harga beli PT PPI dari perusahaan gula rafinasi yang 'hanya' Rp9.000 per kg.

 

PELUANG TOM LEMBONG MELAKUKAN GUGATAN PTUN

Beratnya tuntutan yang diajukan jaksa membuat peluang hakim tidak memutuskan vonis bebas masih terbuka. Alternatif lain Tom Lembong harus segera megajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap hasil audit BPKP sebelum mejelis hakim menjatuhkan vonis.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar PTUN Tahun 2016 yang menyatakan keputusan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) merupakan salah satu objek PTUN. Tom Lembong yang ditetapkan sebagai terdakwa oleh jaksa dan apabila terpidana oleh hakim berdasarkan hasil audit BPKP sebagai APIP dapat mengajukan gugatan hasil audit BPKP sebagai keputusan administrasi pemerntahan yang telah merugikannya.

Pasalnya, jaksa sepenuhnya mendasarkan surat tuntutan dari hasil audit PKKN BPKP dengan mengakui kerugian keuangan negara sebagai perbuatan dan tanggungjawab Tom Lembong sebesar Rp578,11 miliar sama seperti surat dakwaan. Dari sisi tuntutan jaksa, Tom Lembong tidak mendapat keadilan atas sikap dan perbuatannya yang jauh dari perilaku koruptif.

Apabila putusan hakim mengabulkan seluruh atau sebagian tuntutan jaksa, Tom Lembong dapat mengajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Namun, apabila putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Tom Lembong dapat diperoleh sebelum putusan banding, hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dapat mempertimbangkan vonis bebas.

Dewi keadilan yang menentukan nasib Tom Lembong Lembong berada di tangan hakim yang mengayunkan pedang keadilan. Hukum juga harus bersifat objektif tanpa keberpihakan dan keputusan yang keluar harus berdasarkan fakta tanpa terpengaruhi oleh faktor-faktor dari luar sebagaimana makna filosofis dari mata yang tertutup pada patung Dewi Keadilan. Keadilan itu bukan terletak dalam huruf undang-undang, melainkan dalam hati nurani hakim yang melaksanakannya.

 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya