Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Pendidikan, Ruh Kemerdekaan dan Kunci Pembangunan

Prof. Dr. Imam Subchi, MA (Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum dan Dosen FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
18/8/2025 10:41
Pendidikan, Ruh Kemerdekaan dan Kunci Pembangunan
Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum Prof. Dr. Imam Subchi, M.A.(dok.istimewa)

GENAP 80 tahun Republik Indonesia berdiri. Sebuah bangsa yang terbentuk berkat peluh dan semangat juang para pendahulu. Dalam kisah hidupnya, memang tidak melulu bicara kegembiraan. Ada duka dan lara yang sesekali menyelinap. 

Ini merupakan keniscayaan bagi bangsa yang sedang begelut dengan usaha kemapanannya. Tidak mudah menjadi suatu bangsa yang mandiri. Pelbagai krisis multidimensional kerap datang dan pergi. 

Ada yang bisa ditanggulangi dengan segera, ada pula yang bak penyakit kronis yang membutuhkan penanganan intensif berjangka waktu panjang. Sangat dini untuk menyebut republik ini sudah merdeka 100% seperti yang diteriakkan oleh Tan Malaka dalam risalahnya, namun bukan tidak mungkin negara ini menjadi salah satu kekuatan yang dikagumi negara lain di seluruh penjuru dunia.

Setidaknya, ada dua agenda yang urung diselesaikan oleh pemangku kebijakan negeri ini. Dua ini tentu masih kurang, jika menengok pada masalah lain yang tidak kalah urgen dibicarakan. Bidang stabilitas sosial dan pendidikan adalah dua di antara yang banyak itu. 

Mari kita berpikir logis, bahwa dua bidang itu sesungguhnya adalah dua sokoguru untuk membedah aneka ketimpangan yang masih membekap negeri ini.

AKAR RUMPUT

Pemberitaan demi pemberitaan yang tersiar belakangan ini, agaknya cukup menyentak relung kesadaran kita. Betapa tidak, wilayah Pati yang sebelumnya terkenal karena keramahan penduduknya, dengan sungging senyum yang indah dan bersahaja, belakangan menjadi garang dan gahar bicara tentang pemakzulan kepala daerah. 

Dalam struktur budaya Jawa, ini adalah anomali yang jarang ditemukan dalam sejarah. Perubahan sikap warga Pati menimbulkan kegoncangan tersendiri. Rakyat kebanyakan yang hanya dianggap sebagai mayoritas diam, hanya karena satu atau dua pemantik, dapat merubah diri menjadi barisan laskar yang siap meruntuhkan kewibawaan penguasa. 

Ini bukan pemandangan yang elok bagi negeri demokratis. Bukan pula sesuatu yang pantas dipersalahkan. Adalah suatu kearifan untuk membaca kasus ini secara lebih komprehensif. Kekuatan rakyat yang dihadapkan dengan kepentingan penguasa, memang selalu menjadi pembicaraan yang hangat dalam sejarah dan budaya Jawa. 

Ingatan kita tentu masih segar, dengan lakon pewayangan Petruk dadi Ratu, di mana sesekali rakyat jelata mempunyai kans untuk menjadi penguasa. Petruk, tokoh punakawan, yang sehari-hari hanya dikenal sebagai abdi para ksatria, karena kekecewaannya pada para penguasa, dapat berubah menjadi seorang raja.

WAKILI KERESAHAN

Ya, rakyat biasa adalah rakyat biasa, namun apabila mereka mereka tersakiti, bukan tidak mungkin mereka akan bertindak sewenang-wenang. Raja Petruk mempunyai kekuatan tak tertandingi, ia mendapat wahyu keprabon yang mampu mengalahkan kekuatan-kekuatan para ksatria yang biasanya tampil memukau dengan ajian dan pusakanya. Sejatinya, Petruk mewakili keresahan rakyat yang urung tersampaikan, karena takut dan khawatir jika menegur penguasa.

Kezaliman penguasa yang kelewat batas, justru memangggil keberanian itu, menjadi sesuatu dorongan besar akan perubahan sosial. Semua kalangan tentu perlu memaknai kemerdekaan Indonesia dengan bijak. Kita jadikan kasus Pati sebagai bahan muhasabah, agar para pihak senantiasa menahan diri. Pemimpin harus bisa menguasai diri dalam memegang amanahnya, agar tidak sembarangan dalam berujar, bertindak atau memutuskan sesuatu. 

Rakyat pun demikian, hendaknya menggunakan kebebasan berekspresi dalam tahap yang wajar. Saluran komunikasi harus terjaga dengan baik, agar harmoni mendasari hubungannya.

KECAPAKAN PENDIDIKAN

Lain halnya dengan bidang pendidikan, ini juga menjadi masalah yang krusial. Kemerdekaan hakiki, bukan hanya tentang pembangunan berskala luas, yang melibatkan beton dan aksesibilitas ekonomi. Ini juga menyangkut bagaimana membangun karakter dan mental sebagai bangsa yang berperadaban luhur. 

Ada kebanggaan, haibah dan kemandirian di dalamnya. Masalah ini hendaknya selesai di tempa di ruang pendidikan. Kahlil Gibran (1883-1931), sastrawan Libanon, sempat berujar bahwa anak-anak adalah anak panah, yang sewaktu-waktu akan terlepas dari busurnya. Ungkapan ini masih perlu dimaknai lebih lanjut. 

Bagaimana kita siap melepaskan anak panah, tatkala mata panah itu masih tumpul, tanpa memiliki ketajaman yang berarti. Tumpul ini harusnya terlebih dahulu diasah oleh kecakapan pendidikan, kelembutan ajaran budi dan keberanian bersuara, di mana ketiganya hanya dapat diperoleh di ruang sekolah dan kuliah.

Akses pendidikan harus ditata dengan seksama. Segenap pembaruan, termasuk aksesibilitas digital untuk pembelajaran, sudah harus dinikmati di ruang kelas. Ini merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar, mengingat era digital semakin melingkupi kehidupan kita. Peremajaan ini memang membutuhkan modal yang tidak sedikit, namun kita perlu menaruh kepercayaan di langkah itu. Pendidikan berbasis kemajuan teknologi informasi adalah perangkat belajar yang solutif di masa kini.

PERAN PENGAJAR

“Segalanya tentu tidak bisa diserahkan ke mesin” – begitu menurut penggerutu pendidikan. Ada beberapa ruang yang tidak bisa ditawarkan teknologi, seperti bagaimana cara membentuk karakter bijaksana. Di sini peran pengajaran agama bagi siswa dan mahasiswa. Di tataran perguruan tinggi, pemaknaan agama hendaknya menyesuaikan dengan pola pokir mahasiswa. 

Langgam kurikulum hendaknya sudah disistematisasikan dengan proporsional, agar berdampak untuk memugar kebesaran hatinya, sehingga kelak saat mereka menjadi ilmuwan, mempunyai rasa emosional dan empati yang tinggi pada kemanusiaan.

Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya di acara pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2025 dan Peluncuran Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Presiden, pada awal Mei tahun ini, menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci pembangunan nasional. Dengan pembaruan pendidikan, tokoh terdidik seperti Soekarno dan Sutan Sjahrir lahir dan menjadi pelita bagi masyarakatnya. 

Sampai kapan pun, elan vital ini menjadi laboratorium pencetak insan unggul yang membawa negeri ini ke arah berperadaban.
Kemerdekaan sejati memang masih jauh di ujung jalan. Kita tidak bisa menyinari jalan itu dengan nyala api yang besar. 

Setidaknya, dengan reformasi di bidang sosial dan pendidikan, langkah ini ibarat menyalakan lilin kecil di jalan tersebut, dengan pancaran yang hening namun mengisyaratkan keberlanjutan. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya