Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Selama RUU PPRT Disandera DPR, Praktik Perbudakan Modern akan Langgeng di Indonesia

Devi Harahap
19/7/2024 18:15
Selama RUU PPRT Disandera DPR, Praktik Perbudakan Modern akan Langgeng di Indonesia
Kelompok sipil yang mendesak pengesahan RUU PPRT menggelar aksi(MI/Moh Irfan)

PEMERINTAH silih berganti namun selama hampir 20 tahun sejak awal diajukan ke DPR RI pada 2004, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) hingga hari ini terus keluar masuk dari daftar prolegnas, disandera, dan tidak kunjung disahkan.

Menjelang tiga bulan pergantian pemerintahan yang baru pada Oktober 2024 dan sisa waktu masa sidang DPR RI selama dua bulan mendatang, Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) mendorong adanya kebijakan perlindungan bagi perempuan dalam kondisi rentan kekerasan dan diskriminasi, yakni Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Olivia Chadidjah Salampessy menjelaskan ada sekitar 10 juta pekerja rumah tangga (PRT) yang terus menunggu dan berharap lahirnya payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.

Baca juga : Tersisa Waktu 6 Bulan, Nasib RUU PPRT Masih Terus Digantung Ketua DPR

“Kami optimis RUU PPRT akan disahkan tahun ini, karena kita lihat bersama banyak undang-undang yang dalam waktu singkat sudah bisa disahkan. Kami juga terus mengirim surat kepada Ketua DPR RI meminta waktu untuk membicarakan RUU ini. Kami juga telah melakukan advokasi dalam tiga bentuk, baik itu secara substansi, kampanye maupun lobi,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta pada Jum’at (19/7).

Olivia menuturkan pihaknya secara rutin melakukan berbagai pertemuan san lobi dengan berbagai fraksi-fraksi di DPR. Dijelaskan bahwa sebagian besar fraksi yang ada memberikan dukungan untuk segera menetapkan dan mengesahkan aturan RUU PPRT, namun hal itu terkendala lantaran belum adanya penegasan pengesahan dari ketua DPR RI, Puan Maharani.

“Semua fraksi memberikan dukungan, tetapi ada juga yang menyampaikan bahwa ada prioritas terkait pengesahan rancangan undang-undang yang memang harus dikejar untuk disahkan dalam waktu yang singkat jug, dan dari setiap pertemuan dengan fraksi, kami selalu berharap dapat segera disahkan karena ini sudah menjadi usul inisiatif, sehingga langkah pembahasan tingkat pertama harus dilakukan dan pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM),” tuturnya.

Baca juga : Soal RUU P-KS, Aliansi Perempuan Masih Berharap pada DPR

Selain itu, Komnas Perempuan juga telah melakukan berbagai upaya sosialisasi kepada para pemberi kerja terkait adanya ketakutan-ketakutan atas substansi RUU PPRT. Hal ini dilaksanakan bersama jaringan masyarakat sipil, tak hanya untuk menginformasikan kepada pemberi kerja tapi juga anggota DPR RI.

“Keraguan dan ketakutan itu boleh dibilang sudah tidak ada, kami berupaya semaksimal mungkin untuk melihat substansi sampai kenapa RUU ini masih sulit untuk bisa disahkan. Kamu juga memberi penjelasan lewat berbagai forum dan media sosial agar masyarakat dan anggota-anggota legislatif lainnya dapat memahami substansi RUU ini,” katanya

Data Komnas Perempuan 2019-2023 mencatat setidaknya terdapat 2.641 kasus PRT yang diadukan oleh Komnas Perempuan. Sementara itu tahun 2020, KPAI menemukan 15% anak dalam bentuk pekerjaan terburuk atau merupakan pekerja/PRT anak yang mengalami eksploitasi ekonomi dan seksual serta bentuk-bentuk penyiksaan yang berakhir tanpa proses hukum.

Baca juga : Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Harus Diantisipasi dengan Langkah Tepat dan Segera

“Kasus penyiksaan yang dialami oleh PRT ini sebagai fenomena gunung es karena hanya sedikit yang tergambar di permukaan, namun kasus yang sesungguhnya jauh lebih besar, tapi ironisnya kasus tersebut tidak dilaporkan karena berbagai hambatan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Mariyati Sholihah menjelaskan 15 persen anak Indonesia masih berkelindan dan menjadi pekerja PPRT. Masalah pekerja anak di ranah domestik ini harus diselesaikan untuk mencapai zero case pekerja anak di Indonesia yang menjadi mandat presiden Joko Widodo.

“Sebagaimana kita tahu isu anak dalam konteks PRT ini masih berkelindan, kami mencatat 15% ditemukan kasus anak yang dijadikan PRT by name and address, kami menemukan dengan anak-anak tersebut di berbagai tempat seluruh nusantara. Seharusnya sejak 2022 sesuai ratifikasi ILO, kita sudah pada tahap yang lebih progresif untuk menghilangkan pekerja anak tapi masih banyak anak yang masuk dalam pekerja terpuruk sebagai PRT,” katanya.

Baca juga : Hari Buruh: Momentum Peningkatan Komitmen Tuntaskan Pembahasan RUU PPRT

Menurut Ai Maryati, jika kondisi pekerja anak sebagai PRT tidak diperhatikan dan tidak adanya aturan yang jelas karena tidak disahkannya RUU PPRT, maka hal ini akan mengancam kualitas bonus demografi di masa depan hingga membuat SDM tidak produktif lantaran anak tidak mendapatkan hak tumbuh kembang yang baik.

“Anak pekerja yang menjadi PRT ini mengalami kondisi yang menghilangkan hak-haknya, seperti putus pendidikan, tidak mendapat eksploitasi ekonomi karena dibayar sangat murah bahkan ada yang tidak digaji hingga mendapat penyiksaan, dan kekerasan secara seksual. Ini akan berimplikasi pada tumbuh kembang anak yang tidak optimal dan mengancam bonus demografi,” imbuhnya.

Tinggal Dua Bulan

Sementara itu, Ketua Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan meski waktu hanya tersisa dua bulan, namun pihaknya optimis RUU bisa disahkan, sebab dalam kerja-kerja hak asasi, harus ditekankan prinsip optimisme.

“Menurut saya pada Agustus dan September bisa disahkan, saya optimis untuk bisa disahkan, kita tidak boleh pesimis sama sekali tapi kita harus optimis. Apalagi kita sedang memperjuangkan 10 juta warga negara Indonesia kelompok rentan yang menunggu kehadiran undang-undang ini, jadi masih ada masa sidang sehingga kita mesti mengoptimalisasi sumber daya yang kita miliki di LNHAM untuk mendesak ini secara bersama-sama,” katanya.

Anis menjelaskan bahwa dukungan politik terhadap RUU ini sejak awal memang tidak cukup untuk disetujui, karena ini membutuhkan pengesahan oleh ketua DPR sebagai RUU inisiatif. Dijelaskan bahwa sebagian besar PRT didominasi oleh perempuan, sehingga sudah sepatutnya ketua DPR RI yang merupakan seorang perempuan memiliki hati nurani untuk saling melindungi, terlebih lagi perempuan kelompok rentan.

“Kebetulan ketua DPR adalah perempuan, ini menjadi momentum bagi Ibu Puan untuk mengesahkan RUU PORT sebagai dedikasinya sebagai perempuan untuk perempuan, apalagi kita pernah punya sejarah untuk pertama kali ketua DPR perempuan pernah mengesahkan RUU TPKS dengan pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah hanya dalam waktu 2 minggu, ini bisa berlaku untuk UU PPRT,” katanya. (Dev/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya