Kebijakan Iklim di Indonesia Bermuka Dua, karena Pengusaha Jadi Penguasa

Naviandri
16/12/2023 20:54
Kebijakan Iklim di Indonesia Bermuka Dua, karena Pengusaha Jadi Penguasa
Tim dari Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (PPI-ITB) menerangkan hasil penelitiannya tentang perubahan iklim di Indonesia(MI/NAVIANDRI)

KONSORSIUM Strengthening National Climate Policy Implementation (SNAPFI) merilis hasil penelitian tentang perubahan iklim di Indonesia rentang waktu 2020-2023.

Konsorsium SNAPFI, merupakan tim proyek penelitian kolaboratif antara Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (PPI-ITB) dengan Deutsches Institut für Wirtschaftsforschung (Institut Jerman untuk Penelitian Ekonomi/DIW) Berlin yang dimulai pada 2019 lalu.

Studi SNAPFI ini berfokus pada model tata kelola iklim di sektor energi
Indonesia. Penelitian sendiri bertujuan untuk mendukung implementasi
National Determined Contributions (NDC) di setiap negara dengan
memberikan saran kebijakan yang terkait dengan isu-isu perubahan iklim.

Di Indonesia, studi penelitian berfokus pada tata kelola perubahan
iklim di sektor energi dan strategi untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca, serta pendanaan iklim dan strategi adaptasi untuk mengatasi
perubahan iklim.

Anggota Tim Penelitian SNAPFI PPI-ITB, Niken Prilandita di Bandung menyampaikan, bahwa kebijakan iklim memiliki panggung depan dan
belakang karena adanya dualisme, yakni adanya pengusaha yang menjadi penguasa.

Studi tahun pertama (2020), analisis terhadap pemangku kepentingan
menunjukkan bahwa KLHK dan Bappenas adalah dua aktor utama dalam
manajemen perubahan iklim di Indonesia. ESDM juga menjadi pemain
penting, mengingat sektor energi sebagai kontributor terbesar kedua
untuk tujuan NDC.

"Di sektor energi tersebut, DEN menjadi instansi pusat dalam mengawasi
dan mengkoordinasi departemen terkait dalam implementasi NDC. Analisis
pemangku kepentingan juga menunjukkan bahwa tata kelola iklim di sektor
energi memiliki banyak pemangkar yang terlibat dari berbagai sektor dan
perspektif," ujarnya.

Lalu, lanjut Niken, pada Studi tahun ketiga (2022), ditemukan bahwa
keterlibatan sektor swasta dalam pengembangan EBT diperlukan. Terutama
di negara-negara berkembang, pendanaan publik tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan iklim dan kurangnya kapasitas pemerintah lokal dalam pembangunan EBT. Pendanaan untuk EBT di Indonesia masih terbatas meskipun EBT dimaksudkan untuk menjadi kontributor pertama dalam pengurangan emisi GRK.

Sementara itu, Kepala PPI ITB Djoko Santoso Abi Suroso menyampaikan,
riset mengenai geothermal sebagai salah satu EBT di Indonesia juga sudah cukup banyak dilakukan. Namun, yang menjadi perhatian khusus adalah kurangnya sosialisasi geothermal di lingkup masyarakat.

"Sebelum UU panas bumi pada 2014, pemanfaatan panas bumi di area
konservasi itu dilarang, namun saat ini sudah ada pembaharuan karena
luasan wilayah untuk geothermal tidak terlalu besar. Namun
permasalahannya adalah kurangnya sosialisasi dan menyebabkan ketakutan
kepada masyarakat lokal akibat dampaknya," tambahnya. (SG)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sugeng
Berita Lainnya

Bisnis

Wisata
Kuliner