Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
PENELITI Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal mengatakan ide mengenai pemisahan desain waktu penyelenggaraan pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) agar dilaksanakan pada tahun yang berbeda, dinilai tepat untuk dijalankan.
“Kami di Perludem memberikan ide agar dibuat dua klasifikasi Pemilu yaitu Pemilu Nasional terdiri dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR dan DPD. Sementara untuk Pemilu Daerah terdiri dari Kepala Daerah, DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dengan durasi pemisahan waktu yang cukup ideal sekitar 2 tahun,” jelasnya kepada Media Indonesia, hari ini.
Haykal menjelaskan bahwa desain pemisahan tersebut akan berdampak pada pola kampanye yang lebih efektif dan diharapkan dapat menurunkan praktik politik uang. Dikatakan dengan pemisahan tersebut, terdapat jeda waktu sekitar 18-24 bulan bagi pemilih untuk menilai dan mengevaluasi kinerja partai politik.
“Ini akan berpengaruh pada pola kampanye dan praktik politik uang karena untuk saat pemilu dipisahkan, tentu ada ruang bagi pemilih untuk memberikan evaluasinya terhadap partai politik yang dipilihnya di dalam politik nasional, untuk dipertimbangkan apakah akan memilihnya kembali di pemilu daerah,” imbuhnya.
Kemudian, penerapan pemilu serentak juga akan membuat praktik politik uang lebih melandai karena tidak dibanjiri peserta pemilu pada satu momen yang sama. Selain itu, adanya jeda waktu bagi pemilih untuk mengevaluasi kinerja pemimpin pusat, partai politik secara langsung akan terdorong untuk tidak mendekati pemilih menggunakan cara-cara instan.
“Jadi kontrak politik itu tidak dibangun secara instan sebelum pemilihan atau masa kampanye, tetapi kontrak politik itu dibangun melalui kinerja yang baik dan juga pelaksanaan pelaksanaan aspirasi yang disampaikan kepada masyarakat selama jeda waktu yang ada. Sehingga, hal itu dapat menurunkan praktik politik uang,” ujarnya.
Haykal juga menyoroti sulitnya bagi pemilih untuk mengenali dan memilih calon-calon yang berkontestasi. Di tingkat pemilihan presiden (pilpres), masyarakat memang lebih mudah mengenali calon-calonnya.
Kendati demikian, ketika dihadapkan pada pemilihan legislatif (pileg), tak sedikit masyarakat yang sulit mengenali calon-calonnya. Akibatnya, ada gejala split voting atau kecenderungan pilihan yang terpisah atau terbagi antara partai politik dan presiden di pemilu.
“Format keserentakan 5 kotak atau pemilu borongan yang dilakukan pada 2019 dan 2024 ini sudah terbukti tidak efektif dan tidak dapat menciptakan penyederhanaan partai. Justru meningkatkan kebingungan bagi pemilih di TPS, serta memperberat tugas penyelenggara Pemilu terutama ad hoc lantaran surat suara begitu banyak,” imbuh Haykal.
Sementara itu, Wakil Manajer Pendidikan dari Pemilih Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Guslan Batalipu menuturkan pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah akan membuat beban anggaran bertambah, namun prinsip pemilu yang demokratis tidak hanya bisa dipandang dari sisi efisiensi anggaran.
“Jadi, boros tidaknya pelaksanaan pemilu jangan dilihat dari tingginya biaya pemilu regular, melainkan dari sisi dampak yang ditimbulkan seperti Pemilihan Suara Ulang (PSU), dimana tahun ini cukup paradoksal, alih-alih efisiensi justru banyak pemborosan. Semua pemangku kepentingan harus holistik melihat problem ini,” kata Guslan.
Alih-alih dianggap lebih efisien, Guslan memaparkan sistem pemilu serentak pada tahun 2024 justru menunjukkan pengeluaran biaya tetap tinggi, sebagai contoh gelaran Pemilu 2024, anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 76,6 triliun. Dua kali lipat lebih besar dari anggaran yang dikeluarkan untuk Pemilu 2019, sebesar Rp 33,73 triliun.
“Evaluasi menunjukan, pemilu serentak justru tidak terwujud secara substansi akibat tahapan yang terlalu berhimpitan. Meniadakan keserentakan sekilas terlihat solutif, namun jangan menyampingkan aspek regulasi yang akan mempengaruhi aspek kesiapan penyelenggara pemilu,” katanya. (Dev/P-1)
GURU Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta menanggapi berbagai tanggapan terhadap putusan MK tentang pemisahan Pemilu.
PEMISAHAN pemilu tingkat nasional dan lokal yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai keliru. Itu harusnya dilakukan pembuat undang-undang atau DPR
Titi Anggraini mengatakan partai politik seharusnya patuh pada konstitusi. Hal itu ia sampaikan terkait putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
AHY menyebut keputusan MK itu akan berdampak pada seluruh partai politik, termasuk Partai Demokrat.
Titi meminta kepada DPR untuk tidak membenturkan antara Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 dengan putusan konstitusionalitas pemilu serentak nasional dan daerah.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI akan segera memperbaharui dinamika perubahan data pemilih pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.
pemilu nasional dan lokal dipisah, , siapa yang bakal memimpin daerah setelah masa jabatan kepala daerah Pilkada 2024 berakhir?
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan umum (pemilu) di Indonesia harus diselenggarakan secara terpisah antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
Keputusan MK terkait PHPU kepala daerah pasca-PSU semestinya bisa memberikan kepastian hukum dan terwujudnya ketertiban di daerah.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengusulkan agar ke depannya anggaran penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
DIREKTUR DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati menilai Bawaslu tidak serius dalam menangani proses penanganan politik uang saat PSU Pilkada Barito Utara
Kejadian di Barito Utara menunjukkan adanya permasalahan mendasar terkait pencegahan dan penegakan hukum atas pelanggaran politik uang saat pilkada.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved