Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
PENYUSUNAN perundang-undangan kini tak ubahnya ibarat permainan sulap. Ketika pembuat undang-undang, baik pemerintah maupun DPR sudah berkehendak, maka tak butuh waktu lama untuk mengegolkannya. Bahkan, dilakukan dengan skema 'simsalabim'.
Segala aturan dan ketentuan proses legislasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) tidak lagi dihiraukan. Semua prinsip dalam proses legislasi seperti akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi diterabas.
DPR dan pemerintah selalu kompak untuk merevisi undang-undang dengan cepat, minim partisipasi bermakna dari publik, dan akhirnya tidak jarang menghasilkan sejumlah ketentuan baru yang memicu kontroversi. Proses legislasi dengan prinsip kejar tayang juga akan membuat kualitas legislasi kedodoran.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Pengesahan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan UU Kementerian Negara menjadi refleksi sebuah beleid yang dibahas kilat dengan tenggat yang sangat singkat. Jika revisi UU Kementerian Negara hanya membutuhkan waktu pembahasan sehari pada Senin (9/9), begitu pun dengan revisi UU Wantimpres yang juga dikebut dalam sehari pada keesokan harinya.
Kilatnya proses legislasi jelas membuat prosesnya dipertanyakan. Semestinya, dalam penyusunan sebuah aturan perundang-undangan, ada naskah akademik dan pelibatan publik yang luas sehingga publik memahami landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis di balik perumusan undang-undang.
Ditambah dengan absennya partisipasi publik dalam penyusunan dua beleid tersebut, kian lengkaplah aksi menerabas ketentuan dalam pembuatan undang-undang. Padahal, partisipasi publik sangat penting sebagai perwujudan demokrasi substantif, mencegah legislasi bermasalah, dan meminimalkan dampak buruk. Semestinya, revisi atau pengesahan undang-undang didasarkan pada kepentingan luas publik yang sangat mendesak, bukan sekadar kepentingan para elite.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa pengesahan revisi UU Kementerian Negara dan revisi UU Wantimpres yang tanpa melibatkan partisipasi publik mencerminkan politik legislasi yang dihasilkan tidak benar-benar mencerminkan kebutuhan, kepentingan, serta keinginan masyarakat.
Betapa sialnya nasib bangsa ini, ketika undang-undang yang memang dibutuhkan justru ditelantarkan nasibnya. Misalnya, undang-undang tentang perampasan aset, undang-undang tentang pelindungan pekerja rumah tangga, ataupun undang-undang tentang masyarakat hukum adat, yang tak menarik bagi DPR untuk mengegolkan. Padahal, usulan terbitnya undang-undang itu sudah bergulir bertahun-tahun.
Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa DPR dan pemerintah memang lebih mendahulukan kepentingan mereka jika dibandingkan dengan kebutuhan rakyatnya. UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres amat gamblang ditujukan untuk mengakomodasi bagi-bagi kepentingan jangka pendek elite kekuasaan.
Baca juga : Paket Insentif Pengganti Mudik
Perubahan UU Kementerian negara dibutuhkan pemerintahan mendatang untuk menggemukkan kabinet. Tujuan serupa juga melatarbelakangi revisi UU Wantimpres dengan menghapus batasan jumlah anggota Wantimpres.
Elite politik, baik itu di legislatif maupun eksekutif, seakan berkongsi untuk memperbanyak kursi kekuasaan, yang dampaknya tentu akan membebani keuangan negara. Anggaran bakal tersedot untuk urusan yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat.
DPR seakan lupa pada peran mereka sebagai lembaga perwakilan rakyat. Aspirasi rakyat seharusnya menjadi roh utama dalam setiap kerja mereka. Semestinya pantang bagi DPR mengabaikan apalagi menentang aspirasi pemilik sejati mandat.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved