Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Mengevaluasi Penyaluran Bansos

09/8/2025 05:00

BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu merupakan instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat. Bansos diluncurkan pemerintah untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin, warga tidak mampu, dan penduduk rentan risiko sosial.

Saat ini pemerintah mengucurkan berbagai jenis bansos yang disalurkan kepada masyarakat, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial beras (BSB) dan bantuan subsidi upah (BSU).

Namun, apa jadinya jika data penerima bantuan-bantuan tersebut tidak valid dan tepat? Bisa ditebak, bantuan itu akan nyasar ke pihak-pihak yang tidak semestinya menerima. Itu bukan cuma problem hari ini. Masalah pendataan penerima bansos ialah masalah klasik yang tak pernah terselesaikan. Distribusi bansos salah sasaran, itu sudah biasa.

Namun, temuan terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tetap saja membuat kita senewen. Dari analisis mereka terhadap sekitar 10 juta rekening, terkuaklah betapa makin parahnya salah sasaran bansos tersebut. Bayangkan, ternyata ada banyak penerima bansos berprofesi sebagai pegawai BUMN, pegawai kantoran, dan dokter.

PPATK mendeteksi sejumlah rekening penerima dengan status pekerjaan yang tidak wajar masuk daftar penerima bansos, yaitu sebanyak 27.932 orang berstatus pegawai BUMN, 7.479 dokter, dan lebih dari 6.000 orang berprofesi sebagai eksekutif atau manajerial. Bahkan, puluhan penerima bansos memiliki saldo di atas Rp50 juta.

Di luar hasil temuan PPATK, penyaluran BSU kiranya juga serampangan. Belakangan ditemukan di Purwakarta, Jawa Barat, sebanyak 35 anggota DPRD Purwakarta tercatat menjadi penerima BSU. Konon, itu terjadi karena secara nominal gaji pokok anggota dewan di bawah upah minimum provinsi (UMP), yang menjadi salah satu syarat sasaran BSU.

Apa pun alasannya, distribusi bantuan yang salah sasaran itu sungguh jauh dari rasa keadilan publik. Itu disebabkan di saat yang sama banyak keluarga yang benar-benar miskin justru tidak menerima bantuan dari pemerintah. Pengelolaan data yang amburadul menjadi faktor.

Temuan PPATK soal penerima bansos dan kejadian di Purwakarta mestinya bisa membuat pemerintah tergerak untuk segera menuntaskan masalah klasik terkait dengan akurasi dan reliabilitas data tersebut. Masalah itu tak boleh terus berulang bak keledai yang jatuh di lubang yang sama berkali-kali.

Entah di mana masalahnya, padahal pemerintah sudah lama memiliki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang kini diganti dengan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang digembar-gemborkan sebagai fondasi utama penyaluran berbagai program bansos.

Mengapa disebut gembar-gembor karena nyatanya baik DTKS maupun DTSEN tak sekeren yang digambarkan. Masyarakat, katanya, bisa memperbarui data mereka agar bisa terus mendapatkan bansos dari pemerintah. Mereka juga bisa datang ke kantor desa atau kelurahan untuk memperbaruinya. Namun, faktanya, kesalahan data masih saja terjadi yang berakibat fatal pada penyaluran bansos yang salah sasaran.

Di era serbadigital ini, pemerintah sudah semestinya mampu untuk menangani masalah-masalah akurasi dan reliabilitas data tersebut. Dengan semua temuan kejanggalan, termasuk yang belakangan ditemukan PPATK, pemerintah hendaknya segera mengevaluasi dan mengaudit secara menyeluruh data penerima bantuan. Lakukan pendataan ulang yang disertai verifikasi secara ketat dan berlapis.

Perlu dipikirkan juga model penyaluran bantuan yang lebih inovatif dan, terutama, lebih selektif dengan hanya menyasar orang-orang yang betul-betul tidak bisa produktif, seperti kelompok lanjut usia, penyandang disabilitas, dan atau mereka yang miskin ekstrem. Tanpa ada gebrakan dalam sistem pendataan dan penyaluran bansos, negara ini akan terus bergelut dengan masalah lama.

 

 



Berita Lainnya