Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
BARU-BARU ini, publik disuguhi kabar tidak sedap. Seorang dokter sementara melayani dan mengobati pasien, tiba-tiba keluarga pasien yang tak sabar meluapkan emosi. Kata-kata kasar dilontarkan, tangan terayun, bahkan dokter dipaksa melepaskan masker, lalu diguncang tubuhnya. Situasi pun kacau, pelayanan terganggu.
Beberapa waktu lalu, publik juga dikejutkan oleh kabar memilukan: seorang dokter muda yang tengah menjalani koas dianiaya hanya karena masalah jadwal jaga. Tahun lalu, dua dokter magang di Lampung Barat dipukuli pasien dan keluarganya karena dianggap tidak memberikan pelayanan memuaskan.
Pada periode yang sama, seorang dokter paru di Papua meregang nyawa, dibunuh di rumahnya sendiri. Dalam kasus lain, ada dokter yang dikejar, ditempeleng, ditendang, dilukai dengan benda tajam, bahkan dibunuh. Ini bukan adegan drama televisi. Ini realitas di negeri kita. Perlakuan tidak manusiawi terhadap tenaga medis seolah sudah menjadi pemandangan biasa. Deretan kasus ini seolah menegaskan satu hal: profesi yang seharusnya terhormat justru kian sering menjadi sasaran amarah.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada 2022 melaporkan peningkatan 30% kasus kekerasan terhadap tenaga medis. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat delapan kasus kekerasan fisik serius dalam setahun: pengeroyokan, penyiraman bensin, hingga pembacokan. Di luar itu, masih banyak kasus yang tidak pernah dilaporkan, terutama kekerasan verbal berupa penghinaan, pelecehan, hingga humiliasi. Kondisi ini menyebabkan banyak tenaga kesehatan mengalami stres, cemas, bahkan terpikir meninggalkan profesinya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, antara 8% hingga 38% tenaga kesehatan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik dalam pekerjaannya. Kekerasan verbal jumlahnya lebih tinggi lagi. Dampaknya sangat serius: gangguan mental, trauma jangka panjang, kelelahan ekstrem (burnout), hingga kesalahan medis yang bisa mengancam nyawa pasien.
Di wilayah konflik, risikonya melonjak tajam. Laporan Safeguarding Health in Conflict 2023 mencatat 2.562 insiden kekerasan terhadap tenaga kesehatan di seluruh dunia, angka tertinggi sejak pencatatan dimulai. Bentuknya beragam, dari penyerangan fisik, penahanan, penembakan, hingga serangan terhadap rumah sakit. Indonesia memang bukan negara yang sedang berperang, tetapi kondisi rumah sakit kita kerap menyerupai 'medan perang' bagi dokter dan perawat yang menjadi sasaran emosi.
MENGAPA TENAGA KESEHATAN RENTAN?
Mengapa tenaga medis dan kesehatan begitu rentan menjadi sasaran? Pertama, dokter, perawat, dan tenaga medis berada di frontline pelayanan publik. Mereka berhadapan langsung dengan pasien dan keluarga dalam kondisi kritis, penuh emosi, dan sering kali tidak rasional. Ketika hasil pengobatan tidak sesuai harapan atau pasien mengalami perburukan, tenaga kesehatan menjadi 'wajah pertama' yang ditemui sehingga mudah dijadikan kambing hitam.
Padahal, di balik semua isu kesehatan yang ada, belum tentu semuanya disebabkan oleh faktor dokter dan tenaga kesehatan. Bisa saja isu yang ada terkait dengan manajemen atau asuransi. Saat bersamaan, profesi medis sering dipersepsikan sebagai profesi penuh pengabdian dan kesabaran. Harus sabar dalam segala hal, apa pun kondisinya.
Sisi kemanusiaan ini justru dipelintir menjadi kelemahan. Muncul anggapan keliru bahwa dokter dan perawat bisa dimaki, diintimidasi, bahkan diperlakukan kasar tanpa perlawanan. Bandingkan dengan aparat keamanan, jarang sekali ada yang berani menyentuh polisi atau tentara.
Kedua, dalam sistem layanan kesehatan, terutama di rumah sakit swasta atau praktik pribadi, muncul pandangan bahwa dokter ualah penyedia jasa yang bisa diperlakukan seperti pekerja biasa. Pasien merasa 'karena saya sudah membayar, dokter wajib memberikan hasil yang sempurna'. Logika transaksional ini membuat sebagian orang mengabaikan dimensi kemanusiaan dan profesi luhur tenaga medis. Mereka lupa bahwa saat dokter dan tenaga kesehatan bekerja di rumah sakit pemerintah atau puskesmas, otomatis mereka ialah bagian dari pelayanan publik negara.
Bahkan, di rumah sakit swasta atau praktik pribadi, peran mereka tetap tunduk pada regulasi dan standar mutu negara. Artinya, setiap kali seorang dokter berdiri di balik meja praktik atau berlari di lorong rumah sakit, ia tidak hanya sekadar menjalankan profesi. Ia sedang menjalankan tugas negara: melindungi hak warga atas kesehatan sebagaimana dijamin konstitusi.
Karena itu, ketika tenaga kesehatan dihina atau disakiti saat bertugas, itu bukan sekadar persoalan pribadi antara pelaku dan korban. Itu merupakan serangan terhadap fungsi negara. Analogi sederhana: seperti menampar polisi yang sedang mengatur lalu lintas atau memukul jaksa di tengah sidang.
Ketiga, lemahnya perlindungan hukum bagi dokter dan tenaga kesehatan. Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi. Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 menegaskan bahwa tenaga medis berhak mendapatkan perlindungan hukum, keselamatan kerja, dan perlakuan yang bermartabat. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 bahkan memperkuat kewajiban pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pimpinan fasilitas kesehatan untuk memberi perlindungan hukum, konsultasi, dan pendampingan dalam sengketa.
Pasal 731 secara eksplisit melarang tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan terhadap tenaga kesehatan. Sayangnya, regulasi yang ada masih tumpul. Klausul undang-undang hanya memberi hak bagi dokter untuk menghentikan pelayanan jika terjadi kekerasan tanpa ada sanksi pidana khusus yang tegas bagi pelaku. Akibatnya, banyak kasus kekerasan berakhir dengan sanksi ringan atau bahkan tanpa tindak lanjut hukum.
Lebih ironis, banyak rumah sakit membiarkan tenaga medis menghadapi masalah hukum sendirian, padahal, insiden terjadi ketika mereka sedang menjalankan tugas institusi. Seharusnya pemerintah dan pimpinan fasilitas kesehatan aktif memberi perlindungan hukum, fisik, atau psikologis. Tanpa dukungan nyata, regulasi hanyalah 'macan kertas': keras di teks, ompong di praktik.
Keempat, selain lemahnya perlindungan hukum, ada faktor lain yang turut menyuburkan kekerasan: turunnya penghargaan masyarakat terhadap profesi medis. Dulu, dokter dan perawat ialah simbol prestise dan dedikasi. Mereka disegani dan ditempatkan di barisan terhormat dalam acara resmi. Kini, jumlah tenaga kesehatan memang meningkat, tetapi apresiasi justru menurun. Profesi ini dianggap biasa, bahkan sering diremehkan.
Rendahnya penghormatan diperparah oleh kebijakan pemerintah yang belum mampu menjamin kesejahteraan. Banyak tenaga kesehatan di daerah terpencil harus bertahan dengan penghasilan minim, bahkan mencari pekerjaan sampingan di luar profesinya. Kondisi ini melemahkan fokus kerja sekaligus menurunkan wibawa profesi di mata publik.
Pada akhirnya, penghargaan masyarakat terhadap profesi sangat dipengaruhi oleh bagaimana negara memperlakukannya. Jika dokter dipandang sebagai profesi yang tidak sejahtera dan tidak terlindungi, wajar bila masyarakat pun menganggap mereka bisa diperlakukan seenaknya.
Hal itu berbeda dengan negara-negara maju yang mana dokter dan tenaga kesehatan sangat dihargai dan diberi perlindungan serius. Inggris memiliki Assaults on Emergency Workers Act dengan ancaman hukuman dua tahun penjara bagi pelaku kekerasan terhadap tenaga darurat, termasuk tenaga medis.
Singapura punya Protection from Harassment Act yang memperberat hukuman bila korban ialah petugas publik. Di Australia, negara bagian Victoria menetapkan hukuman minimum wajib bagi pelaku kekerasan yang melukai tenaga darurat. India lebih keras lagi: menghina dokter bisa berujung penjara dua tahun, sedangkan mengancam atau melukai mereka bisa dihukum tiga hingga tujuh tahun.
Negara-negara itu sadar: serangan terhadap tenaga medis bukan masalah pribadi, melainkan masalah publik. Layanan kesehatan ialah urat nadi negara. Melukai tenaga kesehatan sama saja dengan memutus aliran darah yang menghidupi bangsa. Indonesia seharusnya bisa belajar dari sini.
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PROFESI
Salah satu langkah krusial untuk mengoreksi keadaan ini ialah perlunya membuat undang-undang atau peraturan perlindungan tenaga kesehatan yang khusus dan tegas. Undang-undang mestinya memuat pasal-pasal krusial yang secara nyata memberikan perlindungan kepada dokter dan tenaga kesehatan. Di antaranya ialah merumuskan delik pidana khusus untuk kekerasan terhadap tenaga kesehatan saat bertugas dengan hukuman lebih berat daripada kekerasan biasa.
Pada saat yang sama, perlu menetapkan protokol keamanan di rumah sakit, mulai penjagaan, tombol darurat (panic button), hingga prosedur penghentian layanan bila situasi berbahaya. Ini mesti dibarengi dengan adanya komitmen menerapkan kebijakan zero tolerance dengan papan peringatan di setiap fasilitas: 'menghina, mengancam, atau menyerang tenaga kesehatan ialah tindak pidana'.
Selain itu, tidak kalah penting ialah membangun sistem pelaporan cepat yang disertai pendampingan hukum bagi korban dan memastikan laporan ditangani secara serius, bukan sekadar 'diselesaikan damai'.
Selain itu, masyarakat perlu diedukasi. Banyak konflik lahir dari ketidaktahuan pasien tentang hak dan kewajiban mereka, serta prosedur layanan kesehatan. Pasien bukan hanya memiliki hak pelayanan kesehatan, melainkan juga memiliki kewajiban untuk menghormati tenaga medis dan tenaga kesehatan saat menjalankan tugasnya. Mereka tidak seenaknya dapat dimaki atau dihumilasi.
Pemerintah harus menggalakkan kampanye penghormatan terhadap tenaga medis, baik melalui media sosial, televisi, maupun program apresiasi di tingkat lokal. Penghargaan bagi tenaga kesehatan berprestasi bisa menjadi langkah sederhana, tetapi penting untuk menumbuhkan kembali rasa hormat publik.
Kekerasan terhadap tenaga kesehatan ialah alarm keras bagi bangsa ini. Kita tidak mungkin mengharapkan layanan kesehatan berjalan baik jika orang-orang yang mengabdi bekerja dalam ketakutan. Dokter dan perawat bukan robot; mereka manusia dengan rasa sakit, trauma, dan keterbatasan. Melindungi mereka berarti melindungi hak kesehatan kita sendiri.
Jika negara gagal melindungi dokter dan perawat, yang direndahkan bukan hanya profesi mereka, melainkan juga martabat bangsa. Sudah saatnya regulasi berhenti menjadi macan kertas dan berubah menjadi perisai nyata yang memberi rasa aman. Itu karena pada akhirnya ketika tenaga kesehatan terlindungi, masyarakatlah yang akan menuai manfaatnya--pelayanan yang lebih manusiawi, berkualitas, dan berkesinambungan.
Direktur RSUDAM, Imam Ghozali, memastikan seluruh civitas hospitalia akan menandatangani pakta integritas sebagai komitmen bersama menciptakan pelayanan bersih dan bebas pungli.
Prasetyo menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto sangat memberi perhatian terhadap kesejahteraan dokter.
Asmirandah mengatakan bahwa informasi kesehatan yang berseliweran di media sosial tidak selalu benar, jadi lebih baik bertanya langsung kepada tenaga kesehatan profesional.
Kehadiran Ayu sebagai pembicara di KBAS 2025 menjadi bukti bahwa kualitas dan kompetensi dokter estetika Indonesia mampu bersaing serta diakui secara global.
AIPKI bersama para pimpinan fakultas kedokteran dari seluruh Indonesia sepakat mendukung penuh harapan Presiden untuk menambah tenaga dokter dan tenaga Kesehatan.
Melalui skema beasiswa pelatihan dan penempatan kerja ke Eropa, para perawat terpilih dipersiapkan tidak hanya secara teknis, tetapi juga dibekali kemampuan bahasa Belanda.
Sebanyak 46 perawat muda Indonesia secara resmi dilepas menuju Wina, Austria, dalam program International Nurse Development Program Scholarship (INDPS) Cycle 2.
Program beasiswa pelatihan kerja di Eropa ini memfasilitasi alumni profesi keperawatan dari Poltekkes seluruh Indonesia untuk berkarier di Austria, Swiss, Jerman, dan Belanda.
Bupati juga menyampaikan terima kasih secara khusus kepada perawat RSUD Doloksanggul atas pelayanan yang telah diberikan.
DS diduga melakukan pelecehan terhadap seorang pasien berumur 16 tahun yang mengalami disabilitas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved