Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
KESEHATAN mental sering menjadi bahan seminar, tetapi jarang menjadi agenda nyata di ruang-ruang rapat sekolah. Di tengah laju perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi, para guru dan siswa, juga masyarakat, dipaksa beradaptasi dengan tekanan yang semakin kompleks.
Lingkungan yang kurang mendukung, relasi sosial yang rapuh, pola hidup yang tidak sehat, serta tuntutan psikologis yang berlebihan membuat kesehatan mental rentan terganggu. Ini bukan sekadar masalah personal, tetapi juga cermin dari sistem pendidikan yang belum sepenuhnya memahami bahwa kesehatan mental adalah fondasi kualitas belajar dan kehidupan sosial.
TANTANGAN PENDIDIKAN YANG MENEKAN DARI DUA ARAH
Sistem pendidikan kita kerap menuntut banyak hal dari siswa: tugas akademik yang menumpuk, kompetisi berlebihan, serta paparan media sosial tanpa literasi digital yang memadai. Akibatnya, muncul rasa cemas, depresi, bahkan trauma. Ironisnya, sekolah sering kali tidak menyediakan layanan konseling yang memadai. Kurangnya tenaga profesional dan minimnya program preventif membuat masalah ini baru terlihat saat sudah parah.
Guru pun menghadapi tekanan besar. Kebijakan pendidikan yang sering berubah menuntut mereka selalu adaptif, sementara administrasi yang menumpuk menggerus waktu untuk mendampingi siswa. Peran ganda di rumah—sebagai orangtua, pasangan, atau anak—menambah beban emosional. Peran guru yang seharusnya berfokus pada pembelajaran sering tereduksi menjadi sekadar memenuhi target administratif. Kondisi ini, dalam jangka panjang, merusak kesehatan mental guru dan mengikis kualitas hubungan guru–siswa.
Tekanan yang dialami siswa dan guru saling memengaruhi. Siswa yang tertekan sulit belajar efektif, guru yang lelah secara mental sulit memberi dukungan penuh. Lingkaran ini harus diputus jika pendidikan ingin berjalan optimal.
MERAWAT KESEHATAN MENTAL: ANTARA KESADARAN DAN KEBIJAKAN
Menjaga kesehatan mental memang tanggung jawab individu—dengan istirahat cukup, pola makan sehat, olahraga, relaksasi, dan membangun hubungan positif. Namun, membebankan seluruh beban pada individu tanpa memperbaiki sistem ibarat memaksa orang berenang di laut bergelombang tanpa pelampung.
WHO (2022) menekankan pentingnya intervensi di tingkat individu, sosial, dan struktural. Artinya, harus ada kebijakan pendidikan yang berpihak pada kesejahteraan psikologis. Mengelola stres bukan sekadar melakukan yoga atau mendengarkan musik; ia memerlukan jadwal belajar yang manusiawi, target kerja realistis, dan ruang aman untuk berdialog.
Sayangnya, di banyak sekolah, guru yang stres dianggap kurang tahan banting, siswa yang depresi dianggap lemah. Paradigma ini mengabaikan akar persoalan yang bersumber dari budaya sekolah dan kebijakan yang tidak peka terhadap aspek psikologis.
Hubungan sosial di sekolah sering menjadi sumber tekanan yang tak disadari. Perselisihan antarsiswa atau konflik antara guru dan atasan kerap dibiarkan tanpa mediasi sehat. Budaya hierarkis membuat penyelesaian konflik lebih banyak mengandalkan otoritas daripada dialog sehingga pihak yang lemah memilih diam meski secara emosional terluka.
Tekanan semakin berat ketika lingkungan sosial di luar sekolah, khususnya dunia maya, ikut memberi dampak. Interaksi tanpa batas di media sosial sering menjadi ajang perundungan, gosip, atau perbandingan hidup yang tidak realistis sehingga memicu rasa minder, cemas, bahkan isolasi sosial, terutama tanpa literasi digital yang baik.
Masalah yang muncul di ranah digital kerap terbawa ke sekolah, memperburuk konflik, dan menambah beban mental, menegaskan bahwa kesehatan mental dipengaruhi bukan hanya oleh interaksi di sekolah, tetapi juga oleh ekosistem sosial yang melingkupinya.
Hubungan yang buruk mengikis rasa percaya diri, memicu kecemasan, dan memengaruhi prestasi akademik maupun kinerja mengajar. Fokus berlebihan pada prestasi akademik tanpa memperkuat keterampilan sosial-emosional berpotensi menciptakan sekolah yang kaku—menghasilkan siswa berprestasi di atas kertas, tetapi rapuh menghadapi tantangan hidup.
MENETAPKAN TUJUAN: MENGUBAH MOTIVASI MENJADI KEBIJAKAN
Tujuan yang jelas dapat menurunkan rasa cemas dan meningkatkan produktivitas (Snyder dkk, 2002). Namun, tujuan ini harus selaras antara individu dan institusi. Siswa boleh punya impian pribadi, guru boleh menetapkan target profesional, tetapi jika sistem terus memaksakan target yang tidak realistis, tujuan tersebut justru menjadi sumber stres baru.
Keberhasilan merawat kesehatan mental di sekolah bergantung pada harmonisasi antara motivasi individu, dukungan sosial, dan kebijakan pendidikan yang manusiawi. Tanpa itu, saran mengelola stres hanya terdengar manis di permukaan, tapi sulit diwujudkan.
PELAJARAN DARI SMA SUKMA BANGSA BIREUEN
SMA Sukma Bangsa Bireuen mencoba membalik paradigma ini. Program senam bersama mingguan, refleksi guru, dan kelas Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS) bukan sekadar tambahan agenda, tetapi juga strategi membangun budaya sehat, fisik dan mental.
Senam bersama lebih dari sekadar olahraga. Ia menjadi ruang sosial untuk melepas penat, berbagi tawa, dan merasakan kebersamaan di luar tekanan akademik. Momen seperti ini memiliki efek terapeutik—memutus rutinitas monoton dan memberi sinyal bahwa sekolah peduli kepada kebahagiaan warganya.
Sesi refleksi guru menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman, kegelisahan, bahkan kebingungan tanpa takut dihakimi. Keterbukaan ini memperkuat jejaring emosional antarpendidik, yang berimbas positif pada interaksi dengan siswa.
MKBS menegaskan bahwa kesehatan mental bukan sekadar ‘mencegah stres’, tetapi juga mengelola konflik secara produktif. Konflik adalah hal alami, tetapi tanpa keterampilan mengelolanya, ia bisa berkembang menjadi sumber stres kronis. MKBS membekali teknik mendengar aktif, menyampaikan keberatan tanpa memicu pertengkaran, dan membangun solusi bersama.
Namun, semua ini hanya berdampak jangka panjang jika dilaksanakan konsisten, didukung penuh manajemen, dan terintegrasi ke kebijakan sekolah. Tanpa itu, kegiatan ini berisiko menjadi seremonial yang kehilangan daya ubahnya.
PENUTUP: DARI KESADARAN MENUJU PERUBAHAN
Kesehatan mental tidak boleh hanya menjadi topik seminar tahunan. Ia harus menjadi bagian dari strategi pendidikan. Guru dan siswa berhak atas lingkungan belajar yang sehat secara emosional, bukan sekadar tempat mengejar target akademik. Jika hal itu diabaikan, kita berisiko melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tetapi rapuh secara emosional.
Merawat kesehatan mental berarti merawat masa depan—tanggung jawab kolektif yang memerlukan keberanian untuk mengubah budaya, kebijakan, dan cara pandang pendidikan. Tanpa langkah nyata dari semua pihak, wacana kesehatan mental akan tetap menjadi cerita setengah hati: dibicarakan, tapi tak pernah benar-benar diwujudkan.
Guru membagikan enam kebiasaan penting yang bisa diterapkan orang tua dan siswa di bulan pertama sekolah.
DPRD DKI Jakarta mengusulkan pembinaan dan pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun madrasah masuk ke dalam pembahasan Ranperda tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
DI bawah guyuran hujan lebat, Pemerintah Kabupaten Yahukimo bersama Forkopimda tetap menggelar upacara Taptu dengan khidmat pada Sabtu (16/08) sore, sebagai rangkaian HUT ke-80 RI
program cek kesehatan gratis (CKG) bagi siswa yang digelar serentak pada Senin (4/8), dinilai sebagai langkah positif untuk memperkuat fondasi kesehatan nasional,
Siswa harus dipersiapkan sukses pada abad ke-21 sebagai inovator dan pemecah masalah yang kreatif sejak usia dini.
FORUM Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) merekomendasikan perlunya langkah tegas negara melalui revisi regulasi hingga pembentukan UU Anti-Intoleransi.
Program Studi Pendidikan Tata Busana & Desain Mode, Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), berkolaborasi dengan Asia Fashion Show Indonesia 2025.
UNIVERSITAS Teknologi Bandung (UTB) menegaskan komitmen untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan mendorong dosen melanjutkan pendidikan dan kuliah ke luar negeri.
Professional development menjadi program unggulan dengan memberikan beragam workshop yang dibutuhkan guru.
Pada usia 5 tahun, koneksi yang dibentuk oleh pengalaman sehari-hari dalam bermain, eksplorasi, belajar, akan secara harfiah membangun arsitektur otak mereka.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved