Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
PEMBANGUNAN kesehatan masyarakat memerlukan kerangka kebijakan yang adil, komprehensif, dan responsif. Hal ini penting untuk mencapai derajat kesehatan yang tinggi melalui prinsip kesejahteraan, pemerataan, nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.
Indonesia telah memiliki UU No 17/2023 tentang Kesehatan, yang bertujuan menciptakan transformasi dalam bidang kesehatan. Namun, dalam implementasinya terdapat ketidakseimbangan antara tenaga medis (dokter dan dokter gigi) dan tenaga kesehatan (perawat dan profesi kesehatan lainnya). Meskipun kedua kelompok ini sama-sama berperan besar dalam sistem pelayanan kesehatan, perbedaan pengaturan regulasi, pengembangan profesional, hingga pengakuan peran menyebabkan kesenjangan yang berisiko memberikan dampak pada kualitas layanan kesehatan.
Salah satu aspek krusial dalam sistem kesehatan adalah sumber daya manusia. Data menunjukkan bahwa perawat merupakan kelompok tenaga kesehatan terbesar di Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dirilis melalui Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, jumlah perawat di Indonesia mencapai sekitar 582.000 orang, di mana 68,3% atau sekitar 397.086 orang adalah perawat vokasi lulusan diploma (D3). Sementara itu, hanya 184.914 orang yang merupakan lulusan Ners (sarjana profesi). Dominasi perawat vokasi menunjukkan adanya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas sumber daya keperawatan melalui pendidikan lanjutan dan program pengembangan kompetensi.
Apabila kita melihat realitas regulasi, perhatian terhadap tenaga keperawatan masih jauh dari ideal. Tenaga medis, memiliki regulasi yang lebih spesifik, misalnya seperti pendidikan spesialisasi untuk dokter diatur dengan rinci dan mendapat dukungan dari pemerintah melalui berbagai kebijakan.
Sementara itu, tenaga keperawatan dan profesi kesehatan lainnya hanya diatur secara umum dan digabungkan dalam satu kelompok yang dianggap homogen, tanpa mempertimbangkan keunikan peran dan tanggung jawab masing-masing profesi. Hal ini dapat menjadi masalah serius, terutama di daerah terpencil yang bergantung pada perawat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan.
Perbedaan pengaturan ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga berdampak pada persepsi profesionalisme dan motivasi kerja. Perawat dan tenaga kesehatan lainnya merasa peran mereka tidak dihargai setara dengan tenaga medis. Padahal, dalam praktiknya mereka juga berhadapan langsung dengan pasien setiap hari, termasuk dalam situasi kritis ataupun saat ada keterbatasan fasilitas.
Di daerah terpencil, misalnya, sering kali hanya perawat atau bidan yang bertugas menyediakan layanan kesehatan dasar, termasuk penanganan kasus gawat darurat, dan dokter mungkin tidak tersedia sama sekali. Sayangnya, meskipun perawat memiliki peran penting dalam sistem pelayanan kesehatan, kewenangan klinis mereka belum diatur secara spesifik dalam UU.
Hal ini berisiko menimbulkan ambiguitas dalam praktik di fasilitas layanan kesehatan. Tanpa panduan yang jelas, perawat menghadapi risiko hukum yang lebih besar ketika harus mengambil keputusan klinis dalam kondisi darurat. Situasi ini, tidak hanya membebani tenaga keperawatan, tetapi juga dapat merugikan pasien yang seharusnya mendapatkan layanan cepat dan tepat.
Selain itu, perbedaan akses terhadap pendidikan dan pengembangan profesional antara tenaga medis dan tenaga keperawatan semakin memperlebar kesenjangan. Pendidikan spesialis bagi dokter mendapat dukungan melalui regulasi dan insentif, sementara untuk perawat, pendidikan lanjutan seperti program Ners Spesialis sudah diakui dalam UU namun belum sepenuhnya diatur dengan baik.
Hal ini, dapat membuat perawat kurang termotivasi untuk meningkatkan kompetensinya, karena tidak ada jaminan pengakuan ataupun peningkatan kesejahteraan setelah menyelesaikan pendidikan spesialis. Pemerintah harus menyadari, bahwa kesetaraan kualifikasi pendidikan dapat berdampak pada kolaborasi antar-profesional kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Perawat yang memiliki pendidikan yang setara dengan dokter ataupun dokter spesialis memungkinkan mereka untuk saling berbagi pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman, sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih komprehensif dan berpusat pada pasien.
Jika kesenjangan ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya akan merugikan masyarakat luas. Tanpa tenaga keperawatan dan kolaborasi antarprofesional kesehatan yang berkualitas, maka mutu layanan kesehatan akan menurun. Di sisi lain, ketergantungan pada dokter sebagai satu-satunya profesi yang diatur secara spesifik justru menciptakan ketidakseimbangan dalam distribusi tenaga kesehatan.
Daerah-daerah terpencil akan semakin sulit mendapatkan layanan kesehatan yang memadai karena keterbatasan jumlah dokter sedangkan profesi kesehatan lainnya kurang diperhitungkan.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Pertama, harmonisasi regulasi berbasis profesi perlu dilakukan. Pemerintah harus menyusun kebijakan yang lebih adil dan inklusif, yang tidak hanya mengatur tenaga medis secara spesifik, tetapi juga memberikan perhatian setara terhadap tenaga keperawatan dan profesi kesehatan lainnya. Kewenangan klinis perawat harus diatur lebih detil agar dapat menjadi panduan dalam praktik di lapangan, sekaligus melindungi mereka dari risiko hukum yang tidak diinginkan.
Kedua, pengembangan pendidikan spesialis dan peningkatan kompetensi bagi perawat juga harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu mendukung program pendidikan berkelanjutan yang memungkinkan perawat vokasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hal ini diharapkan akan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, sekaligus mengurangi kesenjangan antara tenaga medis dan tenaga keperawatan. Pengakuan terhadap profesi Ners Spesialis juga harus diatur lebih jelas dalam regulasi agar perawat memiliki jalur karier yang jelas dan diakui.
Ketiga, model praktik kolaboratif harus dikembangkan untuk memperkuat kerja sama antar-profesi kesehatan. Sistem kesehatan yang efektif membutuhkan kolaborasi erat antara tenaga medis, perawat, bidan, dan profesi kesehatan lainnya. Dengan pengaturan yang lebih adil, setiap profesi akan memiliki peran yang jelas dan saling melengkapi, untuk memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. Praktik kolaboratif ini juga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem kesehatan secara keseluruhan.
Keempat, peningkatan insentif dan distribusi tenaga kesehatan perlu menjadi perhatian utama. Pemerintah harus memastikan bahwa tenaga keperawatan yang bekerja di daerah terpencil mendapatkan insentif yang layak, setara, dan memiliki fasilitas pendukung yang memadai. Dukungan ini, tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan tenaga keperawatan, tetapi juga mendorong mereka untuk tetap bertahan di daerah-daerah dengan akses kesehatan terbatas.
Kesenjangan antara tenaga medis dan tenaga keperawatan merupakan masalah serius yang harus segera diatasi. Regulasi yang ada saat ini masih cenderung lebih spesifik pada pengaturan tenaga medis, sementara tenaga keperawatan belum mendapatkan perhatian yang setara. Padahal, perawat memainkan peran kunci dalam sistem kesehatan, terutama di daerah-daerah terpencil yang sering kali tidak memiliki tenaga medis.
Untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih adil dan efektif, pemerintah perlu melakukan harmonisasi regulasi, mendukung pendidikan dan pengembangan profesional bagi tenaga keperawatan, serta membangun model praktik kolaboratif antar-profesi kesehatan.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan tenaga keperawatan akan mendapatkan pengakuan yang setara. Sehingga, kualitas layanan kesehatan dapat ditingkatkan dan masyarakat mendapatkan manfaat yang optimal.
Tidak ada pembangunan kesehatan yang berhasil tanpa keadilan bagi seluruh profesi tenaga kesehatan. Perawat, sebagai kelompok tenaga kesehatan terbesar di Indonesia, layak mendapatkan perhatian dan dukungan yang sama seperti tenaga medis. Saatnya kita mendukung peran mereka sebagai pilar penting dalam mewujudkan sistem kesehatan yang kuat, inklusif, dan berkeadilan.
Ajang Peduli Gizi 2025 kembali digelar sebagai bentuk apresiasi terhadap individu, institusi, dan pelaku industri yang dinilai telah memberikan kontribusi nyata.
GURU besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Fatma Lestari mengungkapkan pentingnya inovasi dalam memperkuat sistem keselamatan dan kesehatan kerja.
Tanoto Foundation dan Gates Foundation menandatangani MoU untuk memperkuat kolaborasi di bidang kesehatan, gizi, pendidikan, dan filantropi di Asia.
Contoh Zat Adiktif: Kenali bahaya & efek samping zat adiktif. Informasi lengkap, cegah kecanduan, hidup sehat & produktif!
Kenali ciri-ciri virus! Pelajari cara melindungi diri dari infeksi dan jaga kesehatan Anda. Informasi lengkap & terpercaya.
UNTUK pertama kalinya, sebuah kerabat dekat dari virus Nipah dan Hendra yang mematikan telah terdeteksi di Amerika Utara, khususnya di negara bagian Alabama, Amerika Serikat.
Rendahnya literasi kesehatan di masyarakat juga menjadi faktor penyebab. Banyak warga tidak memahami siapa saja yang memiliki kewenangan legal untuk memberikan layanan medis.
Kesiapan tenaga kesehatan perlu dilakukan lebih dulu sebelum implementasi teknologi kesehatan.
Durian ternyata mengandung nutrisi penting untuk ibu hamil seperti zat besi, folat, dan vitamin C yang baik untuk perkembangan janin.
Studi ini mengukur gejala seperti heartburn, nyeri dada, naiknya asam lambung, dan mual menggunakan kuesioner penilaian mandiri (GERD-Q, skor 0–18).
Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen Paboi dan YOI untuk memperluas akses edukasi kesehatan ortopedi serta memperkuat pelayanan medis bagi masyarakat di wilayah Indonesia Timur.
Secretome adalah sekumpulan zat bioaktif yang dilepaskan oleh stem cell, isinya ada protein, exosome, sampai RNA. Zat ini bisa bantu regenerasi jaringan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved