LEMBAGA pemasyarakatan (LP) berpotensi menjadi salah satu zona merah penyebaran virus korona baru (covid-19) karena tingginya risiko penularan. Apalagi, selama ini hampir semua LP di Indonesia sudah mengalami kelebihan narapidana.
Tanpa antisipasi atas kondisi kelebihan narapidana, tempat warga binaan itu bisa saja menjadi kuburan massal. Salah satu contoh, di Rutan Cipinang yang seharusnya hanya dihuni 1.000 orang, saat ini penghuninya sudah mencapai 4.000 orang. Satu kamar yang mestinya diisi 3 orang, sekarang dihuni 11 orang.
Akibatnya, instruksi pemerintah untuk tidak membuat kerumunan tidak bisa dilakukan. Hampir mustahil menerapkan jarak sosial di penjara yang sudah kelebihan penghuni. Satu saja napi positif covid-19, penularan akan cepat dan masif.
Persoalan penjara sangat serius karena menyangkut nyawa manusia. Tidaklah mungkin mereka menjalani hukuman di rumah dengan alasan covid-19. Penghuni LP tidak bisa mengikuti tren warga merdeka yang bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah.
Penyelamatan narapidana hanyalah dengan memaksimalkan pencegahan. Kementerian Hukum dan HAM telah membuat terobosan. Kunjungan keluarga warga binaan diganti dengan fasilitas video call. Kamar isolasi covid-19 sudah disiapkan. Kementerian Hukum dan HAM juga sudah mengeluarkan keputusan untuk tidak menerima narapidana baru.
Dalam menghadapi ancaman covid-19 harus ada kebijakan komprehensif. Misalnya, pemerintah membebaskan napi yang sudah menjalani hukuman untuk jangka waktu tertentu atau napi pemakai narkoba direhabilitasi. Tujuan kebijakan itu ialah mengurangi jumlah narapidana di LP agar tidak kelebihan penghuni.
Namun, kebijakan Kementerian Hukum dan HAM itu berada di hilir. Perlu ada pembenahan dari hulu sampai hilir, tidak bisa sepotong-sepotong.
LP atau rutan merupakan hilir dari proses penegakan hukum. Tingkat penyidikan, penuntutan, dan pengadilan semestinya juga selaras menerapkan kebijakan yang sama. Jika hanya di hilir dilakukan penundaan menerima napi baru, akan terjadi penumpukan perkara di hulu.
Tentu tidak mungkin proses penegakan hukum berhenti sementara. Meskipun virus korona mewabah, penegakan hukum harus tetap berjalan.
Begitu pula proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan tidak mungkin ditangguhkan karena semua dibatasi waktu, baik penahanan tersangka maupun terdakwa. Jika melebihi waktu penahanan, tersangka dan terdakwa harus dibebaskan dari tahanan.
Untuk itulah, penerapan protokol pencegahan penyebaran covid-19 harus diterapkan ketat di setiap tahapan penegakan hukum. Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap bekerja sekalipun covid-19 mewabah. Paling penting ialah mematuhi protokol kesehatan.
Persidangan di peradilan juga sama. Mahkamah Agung dalam edarannya menegaskan bahwa persidangan perkara pidana, pidana militer, dan jinayat tetap dilangsungkan bagi kasus yang terdakwanya sedang ditahan dan masa penahanannya tidak bisa diperpanjang lagi.
Untuk persidangan perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara, para pencari keadilan dianjurkan memanfaatkan e-litigasi. MA memaksa penggunaan e-court untuk upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali terhadap perkara yang menggunakan e-litigasi pada tingkat pertama.
Selama di hulu proses hukum masih tetap bekerja, amatlah berisiko kebijakan penundaan menerima terpidana baru di penjara. Karena itu, seluruh lembaga hukum hendaknya duduk bersama mencari solusi. Proses hukum boleh saja tetap berjalan di tengah wabah covid-19, tapi keselamatan nyawa manusia di atas segalanya.