Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 kali ini memberikan pelajaran amat penting bahwa upaya memaksakan dan menyeragamkan pilihan rakyat bakal berujung sia-sia. Bahkan, sekuat apa pun usaha itu hingga membentuk 'kartel' politik, penolakan rakyat justru kian mengeras. Akhirnya, alih-alih sukses bersepakat membentuk hegemoni politik, kartel itu rontok sebelum berlaga.
Semua tiba-tiba berantakan setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan atas perkara nomor 60/PUU-XXII/2024, pekan lalu. Lewat putusan itu, hakim konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah bagi parpol dan gabungan parpol di rentang 6,5% hingga 10% dari suara sah. Maka, partai atau gabungan partai politik peserta pemilu yang tidak punya kursi di parlemen pun bisa mengajukan calon kepala daerah asal memenuhi ambang batas yang diturunkan itu.
Para elite pembentuk kartel politik pun mencoba mengakali aturan itu melalui upaya revisi Undang-Undang Pilkada. Akan tetapi, kehendak menjegal putusan MK tersebut membentur tembok tebal perlawanan rakyat. Residu atas niat mengakali putusan itu bahkan masih muncul hingga kini, dalam bentuk menentang calon-calon yang disokong kartel politik.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Maka, mulailah satu per satu putar haluan. Ada yang menganulir dukungan calon kepala daerah yang diusung, seperti yang terjadi di Banten. Ada yang tiba-tiba mundur dari bakal calon, seperti di Surakarta dan Tengerang Selatan. Ada pula yang memilih bersimpang jalan dengan mundur pelan-pelan.
Demokrasi, yang secara harfiah diartikan sebagai kekuasaan ada di tangan rakyat, diciptakan salah satunya untuk menghadirkan checks and balances, saling kontrol dan menjaga keseimbangan atas cabang-cabang kekuasaan, digunakan sepenuh-penuhnya oleh berbagai elemen rakyat untuk menjaga keseimbangan itu. Di situ, lembaga negara harus saling kontrol kekuasaan satu dengan yang lain agar tak melampaui batas kekuasaan yang seharusnya, atau bahkan sebaliknya saling menjatuhkan.
Rakyat yang bergerak berpandangan bahwa bangunan kartel politik tidak semestinya ada dalam Pilkada Serentak 2024 ini. Sungguh melawan akal sehat jika partai-partai yang duduk di parlemen ramai-ramai mengusung hanya satu calon kepala daerah. Rakyat melihat itu pemaksaan. Rakyat jengah mendiamkan itu karena aspirasi mereka hendak diamputasi. Sungguh tak masuk di nalar, jika ada sebuah daerah hanya punya satu putra terbaiknya untuk memimpin.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Pilkada serentak yang akan digelar 545 daerah, yakni 37 provinsi serta 415 kabupaten dan 93 kota, mesti menyuguhkan calon-calon terbaik dari daerah, bukan calon tunggal yang diplot oleh kartel politik. Bak membuka buku menu di rumah makan, rakyat mesti disodorkan nama-nama terbaik yang mengerti betul masalah dan solusi di daerah mereka.
Dari situ, pendidikan politik masyarakat akan terus menuju kesempurnaan. Tak apa jika prosesnya mesti berjalan pelan, yang penting rakyat akan semakin terdidik untuk menjalankan demokrasi yang bermartabat. Semakin terdidiknya masyarakat dalam berdemokrasi, salah satunya dapat dilihat dari tingkat partisipasi memilih saat hari pemungutan suara pada 27 November 2024 nanti.
Jika hanya ada calon tunggal dalam pilkada, pemilih yang enggak sreg dengan calon itu sangat mungkin tak akan datang ke TPS. Angka golput akan tinggi dan tingkat legitimasi keterpilihan kepala daerah pun akan rendah.
Baca juga : Paket Insentif Pengganti Mudik
Karena itu, kita perlu mengapresiasi keberanian para hakim konstitusi mengeluarkan putusan MK itu. Kita harus bersyukur karena masih ada hakim bermartabat dalam menghadapi majalnya pemikiran elite politik saat ini. Rakyat yang nyaris kehilangan rasa percaya pada proses demokrasi dapat dihapus oleh putusan MK itu.
Pilkada Serentak 2024 harus menjadi ruang dan sarana bagi rakyat untuk berdaulat. Pilkada tak boleh digelar hanya untuk rutinitas politik, apalagi jika dibalut demokrasi semu, demokrasi seolah-olah.
Kita tunggu di hari terakhir pendaftaran calon kepala daerah hari ini, apakah menu-menu yang disiapkan partai politik dapat menggugah rasa para pemilih. Atau justru malah sebaliknya, masih ada partai yang nekat berbeda dengan kehendak rakyat.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved