Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
MENGHADIRKAN beragam bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah di ajang pilkada merupakan cara terbaik untuk menghormati rakyat. Dengan cara seperti itu, pilkada selaiknya pesta demokrasi benar-benar semarak dan bernyawa, bukan sekadar ritual lima tahunan yang hampa tanpa makna.
Pilkada Serentak 2024 sempat dibayang-bayangi kekhawatiran terjadinya paceklik calon pemimpin daerah. Penyebabnya ialah syarat yang terlalu berat (threshold) bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon bupati, calon wali kota, dan calon gubernur.
Namun, kesulitan itu akhirnya teratasi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) selaku lembaga tunggal penafsir konstitusi membuat terobosan luar biasa melalui Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Lembaga yang kini tidak lagi diketuai Anwar Usman itu membuat keran demokrasi terbuka kembali.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Partai politik yang awalnya tidak bisa mengusung siapa pun sebagai calon kepala daerah lantaran tidak memiliki rekan partai untuk memenuhi ambang batas, akhirnya bisa mengajukan calon, bahkan mengusung calon sendiri.
Keran demokrasi itu memang nyaris saja tertutup karena ada tangan-tangan tidak terlihat (invisible hand) yang ingin membegalnya di tengah jalan. Hanya dalam hitungan hari, Badan Legislasi (Baleg) DPR hendak merevisi UU Pilkada dengan menyampingkan putusan MK.
Namun, rakyat yang sudah muak dengan sandiwara politik serempak bergerak. Mereka turun ke jalan, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah seperti Bandung, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan sejumlah kota di luar Pulau Jawa seperti di Makassar.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Gelombang aspirasi rakyat yang semakin membesar tidak lagi bisa dibendung. DPR akhirnya menyerah. Mereka tidak memaksakan untuk merevisi UU Pilkada yang berpotensi besar menjadikan negeri ini dikuasai oleh kartel politik.
Dalam rapat konsultasi bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Minggu (25/8) lalu, para wakil rakyat di Senayan memutuskan untuk menggunakan nurani mereka. Terbitlah peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) baru yang telah mengakomodasi sejumlah putusan MK, termasuk soal batas usia pencalonan.
Partai politik yang semula tersandera dengan urusan threshold mulai leluasa menyiapkan figur-figur terbaik, baik kader maupun nonkader, untuk menjadi calon pemimpin baru di daerah. Dinamika pencalonan menjelang dan saat pendaftaran calon yang dimulai kemarin (Selasa, 27/8) pun meningkat.
Baca juga : Paket Insentif Pengganti Mudik
Di Jakarta, misalnya, PDIP yang kembali memiliki energi untuk mengusung calon gubernur dan calon wakil gubernur sendiri, hingga kemarin masih tampak sangat intens mengutak-atik pasangan calon yang bakal mereka ajukan. Begitu pula di Banten, ketika Partai Golkar balik badan mengusung Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi untuk Pemilihan Gubernur Banten.
Partai beringin mencabut dukungan untuk Andra Soni-Dimyati Natakusumah sebagai bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur. Padahal, Golkar sudah menyerahkan formulir B1-KWK kepada Andra-Dimyati sebagai salah satu syarat pencalonan ke KPU Provinsi Banten. Di sisi lain, Airin-Ade sebelumnya sudah dideklarasikan PDIP sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur.
Apa yang dilakukan PDIP di Jakarta, juga perubahan sikap Golkar di Banten, tentu harus diapresisasi. Publik bisa melihat mereka tengah menjalankan fungsi sebagai partai politik yang sesungguhnya, yakni menjadi sarana kaderisasi dan seleksi pemimpin yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Bukan tidak mungkin langkah itu juga bakal diikuti oleh partai politik lain. Mesti kita tegaskan, kontestasi pilkada tidak melulu dimaknai kalkulasi menang-kalah, tetapi bagaimana partai politik responsif mendengarkan kehendak rakyat yang merindukan hadirnya beragam bakal calon pemimpin daerah. Inilah demokrasi yang sejati, demokrasi yang memungkinkan rakyat memperoleh banyak pilihan. Bukan demokrasi seolah-olah, demokrasi yang tidak memungkinkan rakyat selaku pemegang kedaulatan mendapatkan pemimpin daerah yang kompetitif dan berkualitas.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved