Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
APA yang membuat DPR RI menahan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang? Mengapa RUU yang sudah diusulkan sejak lebih dari 20 tahun lalu itu terus ditarik ulur?
Beragam pertanyaan itu terus menggelayut di benak publik dan kalangan aktivis advokasi pekerja tanpa ada jawaban pasti. Tidak mengherankan, misalnya, jika beberapa waktu lalu menjelang peringatan hari ulang tahun ke-79 kemerdekaan Repubilk Indonesia, sekelompok warga menggelar aksi di depan Gedung DPR, Jakarta. Mereka antara lain membentangkan spanduk bertuliskan surat dengan wajah Ketua DPR Puan Maharani dan dipajang di gerbang masuk gedung parlemen.
Surat raksasa untuk Puan itu berisi desakan agar pimpinan lembaga wakil rakyat itu segera mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang. Mereka juga telah berulang kali menggelar aksi damai menuntut hal serupa. Namun, masyarakat kerap hanya mendapatkan angin surga.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Publik patut menduga keengganan wakil rakyat mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang karena anggapan RUU itu bukan prioritas. RUU itu memang tidak memberikan dampak langsung secara elektoral bagi partai politik. Maka, spekulasi muncul bahwa RUU tersebut dianggap tidak penting dan mendesak.
Padahal, RUU itu telah dinantikan oleh setidaknya 5 juta pekerja rumah tangga di negeri ini. Sebagian besar mereka ialah kaum perempuan, dengan kontribusi yang tidak kecil, tetapi memiliki risiko diperlakukan secara tidak manusiawi yang amat tinggi.
Kontribusi PRT yang tinggi itu selama ini tidak didukung pengakuan dan perlindungan yang memadai dalam bentuk regulasi kebijakan negara. Di tengah kemandekan pembahasan RUU PPRT, korban kasus kekerasan terhadap PRT terus berjatuhan. Semakin lama RUU itu ditahan, kian bertumpuk pula korban kekerasan terhadap PRT. Banyak dari mereka diperlakukan laiknya budak di era modern.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Tren kekerasan terhadap PRT meningkat tiap tahun. Berdasarkan catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), dalam kurun waktu 2021 hingga Februari 2024 saja terjadi setidaknya 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT. Tentu, itu kasus yang tercatat. Boleh jadi, data tersebut baru fenomena gunung es karena masih banyak PRT korban kekerasan memilih tidak melaporkan kejadian yang menimpa mereka.
Maka, tidak ada jalan lain, RUU yang telah keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR selama 20 tahun itu mesti segera disahkan. Apalagi, RUU itu sudah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Saat itu, Ketua DPR Puan Maharani bahkan menyebutnya sebagai langkah sangat maju.
Dalam video yang diunggah di laman pribadinya, Puan menyebut bahwa 'hari ini jadi satu langkah maju untuk 19 tahun perjuangan!' Akan tetapi, pembahasan RUU itu justru mandek tanpa penjelasan apa pun kepada publik. Puan memang pernah mengaku akan memutuskan berdasarkan kehati-hatian sehingga undang-undang yang lahir di DPR mengedepankan kualitas ketimbang kuantitas.
Baca juga : Paket Insentif Pengganti Mudik
Akan tetapi, pimpinan DPR lupa bahwa kehati-hatian berbeda dengan kemandekan. Niat mencegah keterburu-buruan berbeda dengan menyandera. Betapa tidak, setelah disahkan pada Maret 2023 menjadi RUU inisiatif DPR, pemerintah telah mengirimkan surat presiden (surpres) serta daftar inventarisasi masalah (DIM). Ada 367 DIM yang diajukan pemerintah dan ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Dalam Negeri.
Namun, hingga detik ini, goresan tanda tangan dan tumpukan DIM itu teronggok di meja pimpinan dewan. Palu pimpinan dewan teramat enggan untuk diayunkan demi mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
Semua itu hanya akan menjadi tumpukan kertas tanpa makna sepanjang pimpinan tidak menindaklanjutinya. Padahal, RUU PPRT bisa menjadi legasi bagi DPR periode ini. Di bawah kepemimpinan Puan, DPR bisa menuntaskan sebuah produk legislasi yang tertunda-tunda selama 20 tahun. Sayangnya, justru pimpinan dewan seakan menjadi palang pintu pengesahan RUU PPRT.
Pancasila sudah mengamanatkan bahwa negeri ini harus mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Para PRT kini menagih wakil rakyat menunaikan amanat Pancasila itu. Bila para wakil rakyat, apalagi pimpinan mereka, mengaku Pancasilais sejati, tunjukkan dengan segera mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved