Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
KEBIJAKAN pemerintah terkait dengan makanan siap saji yang bakal dikenai cukai memantik dua pendapat. Pada satu sisi, kebijakan itu dinilai menjadi terobosan sebagai upaya mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) untuk mengurangi penyakit tidak menular di masyarakat.
Disebut terobosan karena sebetulnya wacana pengenaan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sudah lama bergulir. Namun, aturan untuk itu tak kunjung terbit karena terbentur sejumlah halangan, termasuk pandemi covid-19. Kini, regulasi yang baru menerobos kebuntuan itu bahkan sekaligus memuat pengendalian konsumsi garam dan lemak, tidak hanya gula.
Aturan perihal cukai untuk makanan dan minuman cepat saji tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam bagian penjelasan Pasal 194 PP itu disebutkan, yang dimaksud dengan pangan olahan ialah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Dijelaskan pula, pangan olahan siap saji ialah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha, seperti pangan yang disajikan di jasa boga, hotel, restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, kaki lima, gerai makanan keliling, dan penjaja makanan keliling atau usaha sejenis.
Pengetatan peredaran pangan olahan dan pangan siap saji menjadi penting mengingat angka kasus penyakit tidak menular seperti diabetes, jantung koroner, kanker, hingga obesitas terus merangkak naik. Selain itu, dampaknya terhadap tingkat kematian juga sangat tinggi. Makanan dan minuman dengan kandungan GGL tinggi diklaim menjadi salah satu penyebab penyakit tidak menular tersebut.
Menurut data WHO pada 2023, penyakit tidak menular menyebabkan 74% kematian di dunia. Secara global, setiap tahun ada 41 juta orang meninggal karena penyakit tidak menular. Begitu pun di Tanah Air, penyakit tidak menular bertanggung jawab atas 73% kematian. Data itu mengonfirmasi bahwa pengendalian konsumsi makanan yang mengandung GGL secara berlebih memang harus dilakukan.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Akan tetapi, di sisi yang lain, muncul pula kecemasan ketika aturan tersebut nanti benar-benar diimplementasikan, akan ada sektor lain yang terdampak. Itu terutama berkaitan dengan keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang makanan atau minuman olahan cepat saji.
Kekhawatiran tersebut beralasan karena dari penjelasan PP No 28/2024 itu jelas terbaca bahwa penganan yang dijual di kantin, kaki lima, gerai makanan keliling, dan penjaja makanan keliling juga menjadi objek dari aturan cukai tersebut. Itu artinya, pedagang-pedagang kecil seperti warung makanan kecil dan penjaja gorengan akan ikut terimbas.
Masyarakat khawatir apabila regulasi ini diimplementasi tanpa terlebih dahulu menimbang dampak baik dan buruknya, justru akan menambah susah masyarakat kecil. Jika dalam praktiknya nanti pengenaan cukai makanan itu disamaratakan terhadap pelaku usaha besar dan usaha kecil, boleh jadi tujuan baik dari aturan ini akan menjadi sia-sia.
Baca juga : Paket Insentif Pengganti Mudik
Karena itu, harus ada kajian serius untuk mencari jalan tengah dengan menimbang untung dan rugi dari kebijakan tersebut. Pihak bea cukai sudah benar dengan mengatakan bahwa pengenaan cukai pada makanan cepat saji belum akan diterapkan dalam waktu dekat. Mereka akan menunggu pembahasan dan persetujuan DPR sebelum memasukkan makanan cepat saji ke dalam barang kena cukai (BKC).
Itu artinya, masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk mendalami lagi kebijakan tersebut. Pemerintah harus memastikan ada sinkronisasi antara tujuan aturan tersebut dari sisi kesehatan dan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat. Kajian komprehensif, tidak bisa tidak, harus dilakukan.
Pemerintah memang sudah seharusnya mengajak dan mendorong masyarakat untuk hidup sehat. Akan tetapi, pemerintah juga tidak boleh membiarkan hidup masyarakat semakin sulit akibat kebijakan yang diterbitkan. Jangan sampai ajakan untuk sehat itu justru membuat yang kecil sakit, lalu mati.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved