Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
SETIAP kali menggelar musyawarah atau konferensi besar, Nahdlatul Ulama (NU) selalu menghasilkan kesepakatan yang menyejukkan. Tak cuma bagi para pengikutnya, kesepakatan itu juga membuat seluruh anak bangsa yang mencintai negeri ini merasa tenteram dan damai.
Pun demikian dengan Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang dihelat di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, mulai 27 Februari hingga kemarin. Ada banyak kesepakatan, tak sedikit rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan para ulama itu. Seperti yang sudah-sudah pula, kesepakatan terarah pada terwujudnya model beragama yang rahmat dan peneguhan terhadap semangat kebangsaan.
Namun, yang paling menjadi sorotan kali ini ialah kesepakatan bahwa warga negara nonmuslim di Indonesia tidak boleh disebut kafir. Kesepakatan ini diambil dalam forum Bathsul Masail (Diskusi Keagamaan) Komisi Maudluiyah. NU berprinsip, meski berbeda agama dan keyakinan, warga nonmuslim ialah saudara sebangsa sehingga tidak semestinya disebut dengan sebutan yang menyakitkan.
Kesepakatan untuk tidak menyebut warga nonmuslim sebagai kafir sekaligus menjadi peneguhan kesetaraan warga negara dalam pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal Jama'ah yang diusung NU. Dalam konsep negara bangsa, status mereka sama dengan umat muslim dengan hak dan kewajiban setara tanpa ada perbedaan kasta.
Kesepakatan untuk tidak menyebut warga nonmuslim sebagai kafir juga punya pijakan teologis yang kuat. Menurut para alim ulama NU, mereka tidak termasuk dalam kategori-kategori kafir dalam fikih, seperti muahad, dzimmi, dan harbi. Mereka tak layak dimusuhi karena bukan tergolong pihak yang mengganggu, mengancam, atau memusuhi umat muslim di Indonesia.
Menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, tiada alasan untuk menyebut warga beda iman sebagai kafir. Terlebih, kata dia, sebutan kafir dipakai Nabi Muhammad ketika berada di Mekah untuk para paganis alias penyembah berhala. Ketika hijrah ke Madinah, Nabi pun tak lagi menyebut umat agama lain sebagai kafir, tetapi nonmuslim.
Harus kita katakan, di kalangan umat Islam di Indonesia, masih ada yang gemar menggunakan kata kafir untuk menyebut umat lain. Kata kafir, bahkan sering kali dilabelkan kepada kelompok atau individu yang berseberangan dengan ajaran yang mereka yakini. Tak peduli meski individu atau kelompok itu satu akidah, satu iman, sama-sama Islam.
Kita sepakat, amat sepakat, dengan kesepakatan yang disepakati NU untuk tidak menyebut saudara-saudara kita nonmuslim dengan sebutan kafir. Bagaimanapun, bagi sebagian atau bahkan seluruh warga nonmuslim, sebutan itu terasa menyakitkan.
Dalam kehidupan berbangsa, kata kafir punya konotasi buruk. Ia hanya mempertebal sekat pemisah antarsesama anak bangsa karena agamanya berbeda. Kata kafir juga mengandung unsur kekerasan teologis. Atribusi kafir pun terkesan diskriminatif, padahal seluruh warga negara sama kedudukannya kendati berbeda agama.
Istilah kafir memang ada dalam ajaran Islam dan tak boleh dihilangkan. Ia merujuk pada orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Namun, akan lebih bijak jika sebutan itu tak serta-merta diucapkan untuk menyebut saudara-saudara kita yang beda iman. Terlebih jika istilah itu dikapitalisasi demi kepentingan politik seperti yang belakangan mengemuka di negara kita.
Dengan tidak menyebut warga nonmuslim sebagai kafir, NU telah memberikan contoh bagaimana seharusnya kita menjaga bangsa ini. Demikian pula dengan organisasi Islam terbesar lainnya, Muhammadiyah, yang sebelumnya berkomitmen untuk mengedepankan semangat beragama yang mencerahkan, cinta damai, cinta toleransi, dan cinta persaudaraan.
Dalam kehidupan berbangsa dengan beragam agama dan keyakinan, sudah semestinya setiap umat mengedepankan kesejukan serta menanggalkan sikap, ucapan, dan tindakan yang menyakiti umat lain.
Penyebutan kafir itu mengandung kekerasan teologis yang mesti diakhiri. Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara ialah setara, yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnik, bahkan agama.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
JATUHNYA korban jiwa akibat longsor tambang galian C Gunung Kuda di Cirebon, Jawa Barat, menjadi bukti nyata masih amburadulnya tata kelola tambang di negeri ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved