Soal UU Tipikor, DPR Soroti Pasal yang Rawan Jadi Alat Kriminalisasi

Yakub Pryatama Wijayaatmaja
11/12/2024 16:25
Soal UU Tipikor, DPR Soroti Pasal yang Rawan Jadi Alat Kriminalisasi
Anggota Komisi III F-PKS DPR Nasir Djamil .(MI/Susanto)

MENKO Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan pihaknya dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana merevisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Yusril menyebut UU Tipikor perlu direvisi dan disesuaikan dengan Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention Againt Corruption (UNCAC) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Merespons itu, anggota Komisi III F-PKS Nasir Djamil menuturkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor perlu direvisi lantaran dipandang rawan jadi alat kriminalisasi.

Nasir menerangkan saat ini beberapa pihak sedang menggugat pasal mengenai korupsi terkait kerugian negara itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Diharapkan memang majelis hakim di Mahkamah Konstitusi bisa menilai apakah itu layak diterima. Kalau layak diterima lalu disidangkan, lalu dipilih keputusan," ucap Nasir, yang dikutip Rabu (11/12).

Nasir juga menegaskan bahwa Pasal 2 dan 3 Tipikor seringkali jadi jebakan bagi penyelenggara negara.

Adapun Berikut bunyi kedua pasal tersebut:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Nasir berpendapat setiap pihak harus cermat dN memastikan bahwa tidak ada celah untuk terjadinya tindak pidana korupsi.

“Kalau pun misalnya ada maka harus ada semacam bukti-bukti bahwa memang dia tidak menerima dan sebagainya," tegasnya.
"Jadi ini yang menurut saya persoalan di daerah atau di lapangan sering sekali tidak ada bukti-bukti otentik. Yang membuktikan bahwa dia tidak menerima aliran dan lain sebagainya," tandasnya. (J-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eksa
Berita Lainnya