Headline
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
MENTANG-MENTANG kecil minta dimaklumi. Karena ada pemakluman, yang kecil-kecil terus dilakukan, lama-lama menjadi kebiasaan. Akhirnya, yang awalnya kecil berkembang menjadi besar, semakin besar. Si pemberi maklum pun belakangan menyesal kenapa dulu menganggap sepele perkara yang kecil-kecil itu. Namun, ya, namanya juga penyesalan, selalu datang terlambat. Si kecil kadung membesar, tak bisa lagi dibendung.
Kira-kira mungkin seperti itu bakal alur cerita tentang bahayanya menyepelekan korupsi kecil. Cerita itu terinspirasi dari pernyataan anggota DPR Fraksi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng saat rapat kerja dengan Kementerian Keuangan, awal pekan ini. "Kebanyakan makan uang haram itu. Kalau makan uang haram kecil-kecil tidak apalah. Ini makan uang haram sampai begitu berlebih maka Tuhan marah," kata Mekeng.
Ia mengeluarkan pernyataan tersebut saat membahas gaya hidup mewah pejabat di lingkungan Kemenkeu. Menurut Mekeng, terkuaknya gaya hidup mewah pejabat-pejabat itu merupakan imbas dari perilaku memakan duit haram yang terlalu banyak. Sampai di situ sebetulnya sudah bagus, tapi sayang, ada embel-embel di belakangnya soal pemakluman dia terhadap perilaku yang sama, tapi dengan jumlah kecil.
Sekitar dua bulan lalu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin juga pernah melontarkan wacana yang sebangun dengan itu. Dalam rapat bersama Komisi III DPR, Januari lalu, ia menyampaikan pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta cukup diselesaikan dengan pengembalian kerugian negara. Menurutnya, penyelesaian kasus dengan mekanisme itu akan lebih cepat dan murah.
Meskipun spirit dan tujuannya agak berbeda, pernyataan Jaksa Agung itu juga mengandung makna pemakluman. Memang tak sefrontal Mekeng, tapi sebetulnya sama saja. Sama-sama bernuansa menganggap enteng korupsi dalam skala kecil. Seolah-olah, di mata Tuhan, korupsi kecil-kecilan tak menimbulkan dosa, atau kalaupun dosa, kadarnya tak sebesar korupsi yang jumbo. Di mata hukum, seakan-akan rasuah kelas receh layak diberikan impunitas atau perlakuan khusus.
Padahal, besar ataupun kecil, korupsi tetaplah korupsi. Sama saja dengan maling, mau cuma mencuri seekor ayam atau mencuri sekilo emas batangan, tetap saja maling. Nyatanya, banyak maling ayam diproses hukum, kok. Lha, kenapa kini justru maling uang negara yang nilainya pasti lebih besar dari seekor ayam malah dianggap 'tak apalah', bahkan mau diampuni asal kembalikan kerugian negara yang ia tilap.
Tidak semudah itu, Bro. KPK pun pernah bilang, korupsi kecil atau petty corruption tidak bisa dianggap sepele karena dapat membentuk kebiasaan buruk dalam birokrasi sekaligus merenggut hak rakyat. Jika negara permisif, para pelakunya justru dapat berbuat lebih jauh dengan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.
Mungkin lama-lama nanti akan muncul jargon seperti ini. "Berlatihlah menjadi koruptor kakap dengan melakukan korupsi kecil-kecilan. Dijamin tidak akan diproses hukum. Apes-apesnya kalau ketahuan paling hanya diharuskan bayar uang pengganti kerugian. Jadi, jangan kendur. Teruslah berlatih demi korupsi yang lebih besar."
Maaf kalau imajinasi saya terlalu liar. Namun, bukankah itu mungkin saja terjadi kalau kita terus-terusan menganggap remeh dan terlalu gampang memberi pemakluman terhadap praktik kejahatan kecil? Apalagi, kejahatan yang dimaksud ialah tindak pidana korupsi alias pencurian uang negara yang punya dampak merugikan masyarakat secara langsung. Salah-salah, nanti, masyarakat akan menganggap itu lumrah dan biasa.
Lagi pula korupsi kecil hampir selalu menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat, rasuah skala kecil yang biasanya dilakukan pejabat publik dalam interaksinya dengan masyarakat. Karena itu, ketika dibiarkan terus-menerus, yang bakal muncul ialah masyarakat yang permisif, toleran, bahkan merasa nyaman dengan perilaku koruptif. Dengan masyarakat seperti itu, bisakah kita berharap mereka memberikan kontribusi dalam pemberantasan korupsi? Rasanya, tidak.
Namun, kalau boleh saya berprasangka baik, para pemberi maklum itu sebenarnya bukan sedang menganggap enteng korupsi kecil-kecilan. Mereka juga bukan tidak tahu bahayanya korupsi kecil. Saat ini mungkin mereka lagi betul-betul fokus membantu KPK dan kejaksaan mengejar korupsi kelas kakap. Karena itu, korupsi kecil terpaksa ditaruh di prioritas belakang dulu.
"Korupsi kecil-kecilan? Ah, sudahlah. Jangan repotin kami dengan perkara-perkara kecil seperti itu. Kami sedang sibuk dengan korupsi yang besar," begitu kata mereka dalam bayangan prasangka baik saya.
Namun, di ujung cerita, mereka akhirnya menyesal melihat situasi negara yang tak mampu lagi terlepas dari cekikan korupsi gara-gara keteledoran mereka mengabaikan korupsi kecil.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved