Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu. Salah satu 'cabang' dari sisi manusia itu ialah memaafkan, mengoreksi yang salah, memberikan ampunan kepada rakyatnya yang memang layak diampuni.
Dengan demikian, pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto bisa dimaknai sebagai perwujudan 'sisi manusia' dari kekuasaan itu. Langkah Presiden Prabowo Subianto yang disetujui DPR itu tidak sekadar penting, tapi juga mencerminkan sikap 'kemanusiaan yang adil dan beradab'.
Langkah itu semacam 'pengakuan' jujur bahwa hukum pernah berjalan di rel yang salah. Pemberian abolisi dan amnesti itu kiranya cermin bahwa politik dan kekuasaan sempat meninggalkan jejak tebalnya di ranah hukum yang mestinya steril dari campur tangan keduanya. Ketika Tom Lembong divonis dengan alasan lebih mengedepankan 'kapitalisme' ketimbang 'ekonomi Pancasila', akal sehat publik pun terusik.
Karena itu, Presiden Prabowo 'mengoreksinya' dengan meneruskan tradisi pemberian amnesti (pengampunan) dan abolisi (penghapusan seluruh proses peradilan) yang sudah dirintis para kepala negara sebelumnya. Bila kita lintasi sejarah negeri ini, semua presiden (kecuali Megawati Soekarnoputri) pernah mengeluarkan amnesti dan abolisi.
Presiden Sukarno memberikan amnesti umum kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan DII/TII Kahar Muzakar (pada 1959); memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan Daud Beureueh di Aceh, pemberontakan PRRI dan Permesta di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Sumsel, Jambi, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan, juga pemberontakan Kartosuwirjo di Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta pemberontakan Republik Maluku Selatan di Maluku (semuanya diberikan pada 1961).
Presiden Soeharto juga memberikan amnesti dan abolisi. Dua hak prerogatif itu diberikan kepada para pengikut gerakan Fretilin di Timor Timur. Amnesti dan abolisi itu dikeluarkan pada 1977.
Amnesti juga diberikan Presiden BJ Habibie kepada 18 tahanan politik kasus demo Timor Timur. Selain itu, hak tersebut diberikan kepada dua aktivis prodemokrasi, yaitu Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Presiden Abdurrahman Wahid juga memberikan amnesti, yakni kepada mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik Budiman Sudjatmiko, serta amnesti untuk sejumlah anggota GAM, yakni Amir Syam, Ridwan Ibbas, Abdullah Husen, dan M Thaher Daud.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, amnesti diberikan kepada seluruh aktivis GAM dan seluruh tahanan politik dan narapidana politik. Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada terpidana pelanggaran UU ITE Baiq Nuril Maknun.
Semua langkah itu merupakan bagian penting menuju rekonsiliasi nasional. Ia merupakan laku hidup dari forgiven but not forgotten. Memaafkan, tapi tidak melupakan. Tidak melupakan bahwa hukum pernah diintervensi politik dan kekuasaan. Tidak melupakan bahwa watak kekuasaan yang cenderung korup pernah terjadi dan karena itu, mesti terus-menerus diawasi, diimbangi, dikritisi. Tujuannya praktik seperti itu tidak terjadi lagi.
Keputusan untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto itu membuat saya menengok tulisan Yudi Latif di akun media sosialnya, beberapa jam lalu. Isinya, ajakan untuk membuat perjanjian dengan elite. Spiritnya, tentang rekonsiliasi antara rakyat dan para elite mereka.
Biar pesan dalam tulisan itu tersampaikan secara utuh, saya ingin kutip secara lengkap tulisan prosa yang diberi judul Perjanjian dengan Elite itu. Berikut narasi lengkapnya.
'Saudaraku, tuan dan puan yang duduk di kursi tinggi, kami tak meminta langit, tak pula berharap pada cahaya mukjizat dari singgasana kekuasaan.
Kami tahu negeri ini ruwet. Kami tahu membangun bangsa adalah kerja berliku yang tak mudah. Kami maklum, bahwa menyusun keadilan dan kemakmuran bukan perkara simsalabim dalam satu masa jabatan.
Maka, izinkan kami ajukan tawaran yang tidak muluk-muluk: Bisakah tuan dan puan, setidaknya tidak ikut merusak?
Jika tak sanggup memperbaiki, janganlah menambah retak. Jika tak mampu merawat, jangan mempercepat pembusukan. Jika tak hendak membantu, tolong jangan mengganggu. Jika tak ingin memuliakan rakyat, jangan pula mempermainkan nasibnya. Jika tak bisa membangunkan harapan, setidaknya jangan mematikan yang masih menyala.
Kami tak menuntut keajaiban dari elite, hanya sedikit kemurahan hati untuk tidak menjadi bagian dari bencana.
Bila elite berhenti menggali lubang, rakyat akan mulai membangun jembatan. Bila elite berhenti mencipta gaduh, rakyat akan menemukan harmoni. Bila elite berhenti memeras dan mengiris, rakyat akan menambal dan mengikat kembali serpihan-serpihan bangsa.
Negeri ini bukan lemah daya. Ia hanya kekurangan ruang untuk bernapas. Terlalu sering, kehidupan dari bawah yang hendak tumbuh justru diinjak dan direnggut dari atas. Padahal, tanpa gangguan dari elite yang culas, rakyat punya cukup akal, cukup tenaga, cukup cinta untuk menghidupi harapan. Mereka akan bergerak, sebagaimana air selalu mencari celah: mengalir, menyuburkan, menyatukan.
Tuan dan puan, mari buat perjanjian kecil, perjanjian paling sederhana dalam sejarah republik ini. Janji untuk tidak ikut menyumbang kehancuran.
Itu saja.
Sisanya, biarlah rakyat yang menyulam harapan, menyusun reruntuhan menjadi ruang hidup yang layak, tempat semua anak bangsa merasa tenteram dan bermartabat. Bukan karena pertolongan dari atas, melainkan karena mereka akhirnya punya tanah untuk berpijak, langit untuk menatap, dan alasan untuk meraih impian'.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved