Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Maksud Baik untuk Siapa?

13/8/2025 05:00
Maksud Baik untuk Siapa?
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik. Sayangnya, di negeri ini, tidak semua orang percaya pada apa yang disampaikan para pejabat sebagai 'niat baik' itu.

Persis seperti potongan puisi WS Rendra berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa. Kata Rendra, 'Kita bertanya:

kenapa maksud baik tidak selalu berguna

Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga

Orang berkata : “Kami ada maksud baik”

dan kita bertanya : “Maksud baik untuk siapa?”

 

Ya!

Ada yang jaya, ada yang terhina

Ada yang bersenjata, ada yang terluka

Ada yang duduk, ada yang diduduki

Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Dan, kita di sini bertanya:

“Maksud baik Saudara untuk siapa?

Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Sebuah pertanyaan retoris terhadap birokrat yang, pada masa lampau, di era Orde Baru, kerap menyebut tindakan menggusur sebagai 'maksud baik demi pembangunan'. Mantra 'demi pembangunan' itulah yang dalam praktiknya berbentuk penggusuran, penyingkiran, pembungkaman.

Kini, penyakit 'meremehkan' komunikasi itu kiranya mulai tampak lagi. Ada seorang bupati yang dengan enteng mengatakan, "Silakan 5.000 orang berdemonstrasi, kalau perlu 50 ribu orang, saya tidak gentar dan tidak akan mengubah kebijakan yang demi kebaikan bersama ini." Kata 'maksud baik' pun menyelubungi maksud-maksud lain yang celakanya lebih dipercaya ketimbang komunikasi menantang yang diucapkan dengan lantang.

Bahasa menantang itu pun dijawab dengan penggalangan donasi dan ikhtiar untuk benar-benar membuktikan bakal ada 50 ribu orang datang dalam demonstrasi. Karena itu, yang terjadi kemudian muncul 'kesadaran' (atau ketakutan?) bahwa ada yang disalahpahami (atau memang salah?) publik dengan apa yang keluar dari kalimat-kalimat menantang pejabat itu.

Sang bupati pun meminta maaf. Ia juga mencabut ucapan yang bernada menantang itu. Namun, sebagian publik menilai permintaan maaf itu tidak sepenuhnya tulus. Tandanya, sang bupati masih perlu menjelaskan maksud ucapan yang sudah terang benderang itu. Karena itulah, bara masih saja menyala. Api akibat kegagalan dalam berkomunikasi tak juga mati.

Di tengah gejolak di daerah belum selesai, muncul lagi model berkomunikasi yang sembarangan. Kali ini datang dari seorang menteri. Perkaranya soal rencana negara menyita tanah berstatus hak guna usaha yang menganggur (ditelantarkan pemegang HGU) selama dua tahun. Namun, cara mengomunikasikannya tak beres.

Sang menteri berucap bahwa semua tanah itu milik negara. Kata dia, "Tapi perlu diketahui ya, tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara. Orang itu hanya menguasai, negara kemudian memberikan hak kepemilikan tertentu."

Tidak berhenti di situ, sang menteri pun tergoda untuk menandaskan maksudnya dengan mengatakan, "Jadi, tidak ada istilah tanah kalau belum ada SHM (sertifikat hak milik)-nya itu dia memiliki. Tidak ada, 'ini tanahnya mbah-mbah saya, leluhur saya'. Saya mau tanya, memang mbahmu, leluhurmu, dulu bisa membuat tanah? Tidak bisa membuat tanah."

Ia pun dicibir, dikritik, dianggap kemlinthi atau pongah alias sombong. Kalimat 'tanahnya mbahmu' dan 'semua tanah milik negara' pun akhirnya lebih terkenal ketimbang maksud untuk menjelaskan. Lalu, karena 'menyadari' pernyataannya membuat gaduh, ia meminta maaf. Ia mengaku keliru. Namun, luka masih terasa. Netizen yang budiman menganggap permintaan maaf dan pengakuan keliru itu tidak tulus.

Tandanya, lagi-lagi penjelasan seusai permintaan maaf. Ia mengaku salah telah mengeluarkan kata-kata kemlinthi itu, tapi itu semua 'dimaksudkan untuk bercanda'. Wajar bila ada yang bertanya, "Lo, itu penjelasan apa candaan? Itu mau mendudukkan persoalan atau 'menduduki persoalan'?" Atau, meminjam pertanyaan Rendra, "Maksud baik Saudara untuk siapa?"

Saya lalu teringat dengan teori komunikasi Juergen Habermas, yang dikenal sebagai teori tindakan komunikatif. Habermas menekankan pentingnya komunikasi dalam membangun pemahaman bersama dan mencapai konsensus. Teori itu membedakan antara tindakan instrumental (yang bertujuan mencapai hasil tertentu) dan tindakan komunikatif (yang bertujuan mencapai pemahaman). Habermas percaya bahwa komunikasi yang rasional dan bebas dari paksaan ialah kunci untuk membentuk masyarakat yang adil dan demokratis.

Jadi, jangan meremehkan komunikasi. Dengan komunikasi rasional yang tercipta lewat strategi yang benar, akan tercapai pemahaman bersama melalui argumentasi yang valid dan konsensus. Jangan ada klaim kebenaran, klaim ketepatan (kesesuaian dengan norma sosial), dan klaim kejujuran (ketulusan komunikator) bahwa apa yang disampaikan itu semuanya 'demi kebaikan dan bermaksud baik'.

Berikan ruang publik yang bebas dan terbuka, tempat warga negara dapat berpartisipasi dalam diskusi dan debat publik untuk membentuk opini dan keputusan bersama. Kiranya, tantangan bagi siapa pun untuk 'menggelar aksi bahkan 50 ribu orang pun tak akan membuat gentar' atau 'semua tanah milik negara, bukan dari mbahmu' mencerminkan komunikasi yang tidak rasional, jauh dari ruang publik yang bebas dan terbuka, dekat dengan klaim kebenaran, klaim ketepatan, juga klaim 'maksud baik'.



Berita Lainnya
  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.