Headline

Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.

Memperkuat Kedaulatan Pangan Perikanan

Dani Setiawan Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Sekretaris Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis PP Muhammadiyah
06/8/2025 05:00

MENYONGSONG satu abad kemerdekaan Indonesia, kedaulatan pangan menjadi agenda prioritas yang wajib dimenangkan. Kedaulatan pangan dimaknai sebagai hak masyarakat untuk mendapatkan pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya yang diproduksi dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri (La Via Campesia, 2007).

Dalam konteks pangan perikanan, kedaulatan pangan menekankan pada kontrol lokal atas sumber daya perikanan dan hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri daripada bergantung pada kekuatan eksternal atau pasar global.

Mengapa agenda ini sangat penting? Sekurang-kurangnya ini bisa dijelaskan dalam tiga hal. Pertama, di tengah proyeksi pertumbuhan penduduk global yang akan mencapai 9,7 miliar jiwa pada 2050, dunia menghadapi ancaman kekurangan pangan dan gizi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bersama World Economic Forum (WEF) menegaskan bahwa sistem pangan berbasis darat tidak akan cukup menopang kebutuhan manusia ke depan. Dalam konteks ini, pangan laut akan memainkan peran vital sebagai sumber protein masa depan. Diperkirakan 70% kebutuhan protein tambahan global akan berasal dari laut (WEF, 2023).

Indonesia sendiri memiliki posisi strategis sebagai negara maritim dengan potensi perikanan tangkap lestari sebesar 12,01 juta ton per tahun dan potensi budi daya laut yang bahkan melebihi 50 juta ton (KKP, 2023). Kekayaan laut Indonesia juga amat besar, ditunjukkan dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi dengan lebih dari 8.500 spesies biota laut serta posisinya sebagai jalur utama 45% lalu lintas laut global. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan stok ikan laut akibat penangkapan berlebih, strategi pemenuhan kebutuhan pangan perikanan mulai memberikan perhatian lebih pada perikanan budi daya (baik di darat maupun laut).

Peralihan dari model produksi yang bertumpu pada perikanan tangkap ke budi daya juga banyak dilakukan oleh berbagai negara. Tiongkok, misalnya, selama masa reformasi dan keterbukaan, produksi makanan laut meningkat secara signifikan, sebagian besar ditopang oleh ekspansi akuakultur (budi daya ikan) yang dimulai pada pertengahan 1980-an.

Pada 1978, hasil tangkapan laut mewakili lebih dari 67% dari total produksi perikanan Tiongkok, sementara akuakultur hanya menyumbang 26%. Namun, pada 2016 tren ini benar-benar berbalik, akuakultur menyumbang lebih dari 74% dari total produksi perikanan negara tersebut.

Di balik ekspansi fenomenal dari keseluruhan produksi industri perikanan Tiongkok, terdapat dua perubahan struktural utama dari kebijakan pengelolaan perikanan, yaitu: ekspansi akuakultur yang cepat dan perluasan sektor perikanan laut ke perairan lepas pantai dan perairan jauh (offshore and distant waters).

Kedua, target-target pembangunan yang dicanangkan pemerintah untuk menurunkan kemiskinan, prevalensi stunting, dan peningkatan kualitas sumber daya insani sulit dicapai tanpa membereskan persoalan pangan. Dengan kata lain, peningkatan asupan gizi masyarakat, terutama dari sumber pangan laut dan perikanan, merupakan isu transformasi sosial yang amat strategis. Dokumen teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 secara spesifik memberi penekanan atas hal ini. Menempatkan pangan akuatik (blue food) sebagai elemen intervensi utama untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Ikan, sebagai salah satu jenis pangan akuatik yang paling popular, sangatlah kaya akan kandungan nutrisi penting seperti protein berkualitas tinggi, asam lemak omega 3, serta berbagai vitamin dan mineral yang penting bagi pertumbuhan dan kesehatan. Lebih dari 2.500 spesies atau kelompok spesies pangan perairan ditangkap atau dibudidayakan. Tujuh kategori teratas makanan sumber hewani kaya nutrisi kesemuanya ialah pangan perairan, melebihi sumber protein darat yang paling kaya nutrisi, yaitu daging sapi.

Ketiga, pangan akuatik mencakup segala jenis tumbuhan dan hewan yang berasal dari perairan yang layak dikonsumsi manusia. Perannya dalam penyediaan pangan di Indonesia sangat besar, mencukupi lebih dari setengah kebutuhan protein hewani nasional. Pangan perikanan Indonesia, baik tangkap maupun budi daya, merupakan pemain utama dalam keseluruhan produksi di tingkat global. Posisi ini menempatkan Indonesia sangat strategis sebagai penghasil pangan akuatik global yang besar meskipun bukan yang utama.

Produk perikanan Indonesia masih kalah bersaing di pasar global dengan negara-negara yang lebih kecil dan garis pantainya yang lebih pendek, seperti Vietnam, Thailand, atau Cile yang melampaui Indonesia dalam perdagangan produk perikanan di dunia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat angka konsumsi ikan nasional pada 2024 mencapai 17,65 juta ton atau rata-rata sebanyak 62,5 kg ikan yang dikonsumsi setiap individu per tahun, naik dari tahun sebelumnya, yaitu 58,48 kg.

 

PERAN PERIKANAN KECIL

Perikanan skala kecil memainkan peran penting, tapi sering diabaikan dalam produksi pangan, membantu memerangi kelaparan, malnutrisi, dan kemiskinan di Indonesia bahkan seluruh dunia. Perikanan skala kecil, yang biasanya ditemukan di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah, mengandalkan metode penangkapan berteknologi rendah dan padat karya untuk menghasilkan makanan dan pendapatan yang membedakannya dari operasi perikanan skala besar atau industri.

Meskipun penting, perikanan skala kecil sering diabaikan dalam pengelolaan sumber daya, riset-riset mengenai sistem pangan, dan pengembangan kebijakan. Peminggiran ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk terbatasnya data dan kecenderungan untuk mengelompokkan nelayan skala kecil dengan pekerja pertanian dalam data sensus.

Secara global, hasil tangkapan perikanan kecil diperkirakan sebesar 36,9 juta ton per tahun. Jumlah ini setara dengan sekitar 40% dari total produksi perikanan tangkap global. Di Indonesia, produksi perikanan tangkap yang dihasilkan perikanan kecil sesungguhnya sangat besar.

Merujuk pada data produksi perikanan tangkap yang dipublikasi KKP pada 2023, tercatat sebanyak 5.7 juta ton produksi perikanan tangkap (74,54%) didaratkan di luar pelabuhan perikanan. Hanya sekitar 1.9 juta ton (25,46%) hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan perikanan. Kapal-kapal perikanan skala kecil dengan ukuran di bawah 5 GT (gros ton) umumnya mendaratkan ikan di luar pelabuhan meskipun ada juga yang mendaratkan ikan di dalam pelabuhan.

Kondisi ini disebabkan masih terbataskan ketersediaan infrastruktur pelabuhan, terutama di wilayah terpencil atau proses penjualan ikan dari nelayan langsung kepada pengepul ikan di lokasi sandar kapal di perkampungan nelayan atau dermaga-dermaga kecil. Karenanya, tidak terlalu keliru jika kita mengatakan bahwa sekitar 75%-80% produksi perikanan tangkap Indonesia dihasilkan dari nelayan skala kecil.

Oleh sebab itu, perhatian lebih besar kepada perikanan skala kecil menjadi conditio sine qua non dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Hal ini diperkuat dengan studi FAO (2023) yang menyebutkan bahwa kedekatan dengan lokasi perikanan skala kecil akan meningkatkan akses masyarakat terhadap ikan segar hingga 13 kali lipat dan meningkatkan keragaman makanan pada anak-anak.

Selain itu, perikanan skala kecil merupakan sumber pangan kaya nutrisi yang penting bagi anak-anak perdesaan dari usia enam hingga 24 bulan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Selain perikanan tangkap, asupan pangan perikanan juga dipasok dari perikanan budi daya.

 

AGENDA AKSI

Uraian di atas membutuhkan suatu landas pijak yang kuat agar agenda besar untuk menegakkan kedaulatan pangan perikanan dieksekusi di lapangan. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan didorong untuk memenuhi tingkat produktivitas yang diharapkan guna menjaga ketahanan pangan nasional dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlanjutan dari ekosistem.

Manajemen pengelolaan perikanan seperti kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT), misalnya, pelaksanaannya harus didesain sedemikian rupa agar dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan Indonesia bukan justru oleh investor asing. Hal ini membutuhkan keseriusan, baik pemerintah maupun sektor swasta, untuk meningkatkan kapasitas armada perikanan nasional agar lebih optimal memanfaatkan sumber daya perikanan di zona ekonomi ekslusif dan perairan yang jauh.

Ke dalam, pemerintah mengatur agar nelayan kecil dan tradisional mendapatkan perlindungan dan kontrol atas wilayah tangkapnya sehingga manfaat terbesar dari sumber daya ikan tidak jatuh hanya ke tangan pelaku usaha besar atau industri perikanan.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus terbuka untuk mengevaluasi dan meninjau ulang semua kebijakan yang bertolak belakang dengan agenda kemandirian dan kedaulatan pangan perikanan. Di antaranya kebijakan melegalisasi ekspor benih lobster ke luar negeri yang justru akan menguntungkan negara lain (baca: Vietnam) sebagai pemain ekspor lobster di dunia.

Langkah-langkah percepatan untuk merangkul pengetahuan, teknologi serta pembiayaan mesti segera dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat budi daya lobster. Koreksi juga perlu dilakukan untuk membatalkan peraturan yang memberi peluang bagi ekspor hasil sedimentasi berupa pasir laut. Pada praktiknya justru memberikan tekanan bagi keberlanjutan ekosistem dan sumber daya ikan di wilayah laut yang menjadi lokasi pengerukan pasir.

Kedua, mengeksekusi dengan cepat pembenahan ekosistem usaha perikanan dari hulu sampai hilir. Masalah-masalah klasik seperti akses dan ketersediaan bahan bakar, permodalan, rantai dingin, pelabuhan, tempat pelelangan ikan, hingga terbatasnya akses pemasaran membutuhkan penyelesaian yang lebih kongkrit.

Konsep, diskusi, dan perencanaannya sudah banyak dilakukan. Yang kurang ialah kepemimpinan untuk mengeksekusinya. Tidak semua beban ini dipanggul oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada level pemerintah pusat saja, setidaknya ada 13 kementerian/lembaga yang bertanggung jawab pada keseluruhan urusan ini.

Namun, tidak semua sumber daya dimobilisasi untuk membangun fisik, lalu abai membangun manusianya. Aspek pembangunan sumber daya insani, seperti peningkatan kapasitas, skill, inovasi, dan spiritualitas pelaku utama sektor perikanan harus menjadi bagian integral dari pembangunan. Membangun jiwa dan raga, material dan spiritual, lahir, dan batin.

Ketiga, mengintegrasikan agenda-agenda pembangunan nasional dalam kesatuan pikiran dan gerakan yang utuh. Setidaknya pemerintah pusat saat ini memiliki tiga program unggulan yang sedang dieksekusi: makan bergizi gratis (MBG), Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP), dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Jika dirangkai menjadi satu agenda yang saling terhubung dan sinergis, ketiganya berpotensi menjadi modal besar untuk mendongkrak percepatan kemajuan sektor perikanan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.

Desain MBG yang juga dimaksudkan untuk mendorong perekonomian rakyat, dalam sektor perikanan harus dimaknai sebagai cara untuk memecahkan dua persoalan, yaitu menciptakan permintaan atas hasil produksi perikanan rakyat dalam skala yang masif pada setiap daerah dan menjaga stabilitas harga ikan.

Demikian halnya dengan KNMP, secara konseptual merupakan suatu pendekatan untuk membangun kawasan pesisir dengan model pemberdayaan sosial dan ekonomi yang lebih komprehensif. Membangun tangga yang kuat agar kampung nelayan tidak hanya mengalami kemajuan secara ekonomi, tapi juga tempat yang nyaman dan aman untuk ditinggali.

Terakhir ialah KDMP yang seharusnya menjadi triger untuk melakukan konsolidasi ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir melalui pembentukan institusi ekonomi kolektif sebagai penopang gerakan kemandirian ekonomi di tingkat lokal.

Akhirnya, peran penting perikanan skala kecil yang menjadi kunci utama agenda kedaulatan pangan sama sekali tidak bisa diabaikan. Oleh sebab itu, pengetahuan, budaya, tradisi, dan praktik-praktik masyarakat nelayan skala kecil jelas penting dan harus diakui dan didukung dengan memungkinkan mereka berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan terkait mata pencaharian mereka. Hal ini membutuhkan partisipasi yang lebih bermakna dan lebih adil dalam semua aspek pengelolaan dari mereka yang terlibat dalam rantai nilai perikanan.

Kekuasaan dan otoritas pengambilan keputusan di semua tingkatan pemerintahan dituntut lebih responsif dan lebih terbuka bagi pelibatan publik yang lebih luas dalam menyelesaikan persoalan yang telah mengakar lama. Nelayan dan pekerja perikanan skala kecil, baik laki-laki maupun perempuan, dan organisasi nelayan harus diberdayakan dan diberi ruang untuk memimpin bersama dalam tata kelola perikanan di tingkat lokal dan nasional.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya