Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'. Saat masih menjabat Presiden RI, ia pernah membeberkan lima agenda besar nasional untuk mewujudkan cita-cita Indonesia maju. Hal itu disampaikan Jokowi pada Sidang Tahunan MPR dalam rangka HUT ke-77 proklamasi kemerdekaan RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Selasa (16/8/2022) silam.
Jika mengutip dari laman Setkab.go.id, lima agenda besar tersebut ialah hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam; optimalisasi sumber energi bersih dan peningkatan ekonomi hijau; penguatan perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat; digitalisasi ekonomi agar UMKM naik kelas; dan keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kita tahu, sampai akhir jabatan Presiden Jokowi, bahkan sampai hari ini, sebagian besar dari lima agenda itu masih belum tereksekusi dengan baik. Beberapa jalan di tempat. Agenda penguatan perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat, misalnya, bahkan harus diakui berjalan mundur.
Namun, saya tidak akan terlalu mengupas hal itu karena sekarang ada agenda besar lain di luar yang lima poin tadi, yang sepertinya sedang mengganggu pikiran Jokowi. Kalau dulu ia sebagai presiden menyodorkan agenda besar pembangunan, kini sebagai mantan presiden ia mengaku sedang 'diserang' agenda besar politik.
Konon, ada agenda besar yang sedang 'dimainkan', entah oleh siapa, untuk menurunkan reputasi politik Jokowi melalui dua persoalan yang melibatkan dirinya dan keluarganya, yaitu soal kasus ijazah palsu dan isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Mas Wapres Gibran ialah putra sulung Jokowi.
"Ini perasaan politik saya mengatakan ada agenda besar politik untuk menurunkan reputasi politik, untuk men-downgrade. Jadi, (soal) ijazah palsu, pemakzulan Mas Wapres, saya kira ada agenda besar politik," kata Jokowi kepada wartawan di kediaman pribadinya di Surakarta, Jawa Tengah, awal pekan ini.
Namun, meski merasa sedang dirubung agenda besar politik, ia mengaku meresponsnya dengan biasa-biasa saja. Lo, kok aneh. Kalau memang biasa-biasa saja, kenapa mesti menyampaikan keresahan itu ke wartawan, Pak?
Jangan-jangan narasi soal agenda besar untuk menyudutkan dia itu dilempar ke publik karena Jokowi baper, ia sedang galau dengan fakta politik hari ini yang tak lagi selalu berpihak padanya. Jangan-jangan sebetulnya ia tengah risau karena merasa mulai ditinggalkan kolega, pendukung, dan kawan-kawan politiknya dulu.
Masih banyak lagi dugaan yang muncul seusai Jokowi mengungkap soal agenda besar tersebut. Bahkan ada yang menduga ia sengaja mengapungkan isu tersebut ke publik sebagai kamuflase dari rencana dia menyiapkan agenda politiknya sendiri. Tujuannya tentu untuk menaikkan reputasi dan posisi politiknya yang mulai meredup.
Bermacam dugaan publik itu tentu sah-sah saja, termasuk dugaan yang terakhir tadi. Bukankah penyiapan agenda tertentu memang lazim dilakukan di dunia politik? Jokowi sebagai politikus ulung yang mampu memenangi dua kali pemilihan presiden (pilpres) pasti paham betul soal itu.
Lagi pula kecurigaan Jokowi perihal adanya agenda besar itu juga boleh dibilang masih sebatas dugaan. Buktinya, Jokowi tak menyebut siapa sosok, tokoh, atau kelompok yang menjadi mastermind di balik agenda besar untuk meruntuhkan reputasinya itu. Jadi, wajar kalau publik punya banyak dugaan terhadap pernyataan yang sesungguhnya juga berbasis pada dugaan.
Kalau bicara soal reputasi, boleh jadi Jokowi salah alamat kalau menyalahkan 'si agenda besar' sebagai faktor yang akan menurunkan reputasi politiknya. Reputasi dia, baik sebagai politikus maupun pemimpin bangsa, sejatinya sudah anjlok sejak ambisi politiknya mengalahkan kelegawaan dia untuk melepas kekuasaan.
Reputasi Jokowi sudah luruh saat hasrat meneruskan kekuasaan kepada orang dekatnya terlihat menggebu. Kesahajaan dan keautentikan yang menjadi citra baiknya ketika mulai terjun di dunia politik nasional, nyatanya tidak mampu ia pertahankan hingga akhir jabatan sebagai presiden.
Di akhir-akhir kekuasaannya, jiwa dan hati Jokowi sudah terbagi dua, antara melayani rakyat dan memenuhi obsesi pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Pun setelah ia purnatugas sebagai presiden, syahwat untuk cawe-cawe dalam urusan kekuasaan masih amat kental, termasuk dalam hal dukung-mendukung calon kepala daerah pada perhelatan pilkada serentak 2024.
Artinya, sesungguhnya keruntuhan reputasi politik Jokowi ialah akibat tindakannya sendiri. Bukan gara-gara agenda besar orang lain atau kelompok lain. Bukan pula karena mencuatnya kasus ijazah palsu dan keinginan sejumlah purnawirawan TNI untuk memakzulkan anaknya dari kursi wapres. Jauh sebelum itu, reputasi baik yang dibangun Jokowi sejak menjadi Wali Kota Surakarta sudah ia rusak sendiri.
Karena itu, kembali ke pertanyaan awal, motivasi apa sebetulnya yang membuat Jokowi tiba-tiba melempar narasi soal agenda besar untuk menyerang dirinya? Apakah itu sekadar salah satu siasatnya untuk kembali ke panggung politik formal atau memang Jokowi tengah merasa dalam tekanan hebat setelah sebagian kawan politiknya mulai meninggalkan dirinya? Ya ndak tahu, kok tanya saya?
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved