Headline

Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum.

Noel dan Raya

23/8/2025 05:00
Noel dan Raya
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

MUNGKIN Anda menganggap saya berlebihan menyandingkan dua nama itu dalam judul: Noel dan Raya. Tidak apa-apa. Saya memang ingin menyan­dingkan keduanya dalam satu lanskap kegetiran di bulan peringatan ke­merdekaan Indonesia, bulan Agustus.

Nama pertama, Raya. Ia balita perempuan berumur 4 tahun, asal Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Raya meninggal didekap kemiskinan akut saat jutaan orang 'merayakan' ulang tahun kemerdekaan. Anak sekecil itu harus berperang melawan cacing-cacing yang menggerogoti tubuhnya.

Ia mengalami askariasis, infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, salah satu jenis cacing yang umum menyerang anak-anak. Saat ia meninggal, tenaga medis menemukan cacing gelang dengan berat 1 kilogram menumpuk di tubuhnya.

Raya sebetulnya sudah lama dalam pengawasan gizi oleh petugas desa di Kampung Padangenyang, Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Ia dikategorikan sebagai salah satu anak dengan status BGM (bawah garis merah), istilah medis untuk kondisi gizi buruk. Karena itu, Raya menjadi perhatian utama dalam pelayanan posyandu setempat.

Namun, ibunya yang menderita gangguan mental, ayahnya yang menderita TBC, dan rumahnya yang jauh dari akses fasilitas kesehatan membuatnya kalah. Tubuhnya yang ringkih, kian ringkih dari waktu ke waktu. Raya tak bisa merayakan apa pun: hari raya, hari ulang tahun, atau hari kemerdekaan.

Raya masih jauh dari kata merdeka. Tangan negara tak sepenuhnya sempat menjamahnya. Ia terlahir dari rahim keluarga yang sangat miskin. Ia tak sempat tahu bagaimana rasanya merdeka. Ia mungkin ingin berjoget menirukan mereka yang tengah 'menikmati' kemerdekaan bangsa. Namun, tubuhnya tak kuasa.

Kini Raya sudah tiada. Ia kembali ke pangkuan Yang Mahakuasa. Di surga. Tak ada lagi cacing-cacing yang menggerogotinya. Ia bisa leluasa bermain di taman surga. Kini, ia mencium wangi kasturi, bukan lagi kotoran ayam seperti hari-hari sebelumnya saat di rumahnya, di Sukabumi.

Namun, ia menjadi cermin kelalaian negara mengurus salah satu anak bangsanya. Ia jadi potret getir bahwa di usianya yang ke-80 tahun, negaranya tak sanggup melindunginya. Kematian Raya menampar kita, menampar siapa saja, khususnya para penggawa negara. Mestinya kita malu, bila memang masih menyisakan urat malu. Kasusnya mestinya jadi kaca benggala agar tak ada Raya Raya selanjutnya.

Beberapa jam setelah meninggalnya Raya, hanya beberapa puluh kilometer dari tempat ia dimakamkan, di Ibu Kota Jakarta, ada nama kedua, Immanuel Ebenezer, yang ditangkap KPK. Noel, nama panggilan sehari-hari Immanuel, ialah Wakil Menteri Tenaga Kerja. Ia ditangkap karena diduga memeras para pihak yang bermaksud mendapatkan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara wajar.

Noel seorang pejabat. Ia pasti berkecukupan. Namun, mungkin, ia merasa belum cukup. Meski sudah memiliki harta kekayaan lebih dari Rp17 miliar (setidaknya menurut laporan harta kekayaan penyelenggaran negara yang ia berikan), ia mungkin merasa masih harus memupuk materi hingga mencapai puncak. Jika puncak gunung bisa diukur, puncak keinginan materi lebih absurd. Nyaris tak terukur.

Jika apa yang disangkakan KPK terbukti, Noel jelas kalah oleh hasratnya sendiri untuk terus memupuk pundi-pundi. Ia gagal mengetahui batas. Ia larut dalam barisan para cacing yang mengisap siapa saja yang membutuhkan layanannya. Padahal, ia mestinya melayani tanpa perlu menuntut imbalan karena rakyat telah mengganjarnya dengan gaji dan beragam fasilitas lainnya melalui pajak.

Noel diberi mandat melayani, bukan memeras. Ia mestinya berkorban, bukan menuntut. Ia mungkin sudah berkali-kali merayakan kemerdekaan, ulang tahun, hingga syukuran naik jabatan. Akan tetapi, boleh jadi, ia belum bersyukur. Amat mungkin ia belum selesai dengan dirinya. Ia masih ingin lagi dan lagi, terus dan terus, hingga KPK menyetopnya.

Penangkapan Noel juga kaca benggala, bahwa 80 tahun usia kemerdekaan, masih banyak pejabat yang menukar pengabdian dengan perburuan. Mereka yang mestinya ditabalkan sebagai sang pengabdi, malah menjadi sang pencari. Mereka, para 'cacing gelang penggerogot' itu, amat jauh dari idiom leiden is lijden, memimpin adalah menderita, memimpin berarti berkorban. Sebaliknya, mereka amat dekat dengan idiom leiden is genieten, memimpin adalah menikmati.

Raya dan Noel ialah kontras yang nyata di tanah merdeka: yang satu berperang melawan cacing-cacing gelang lalu rebah dalam dekapan kemiskinan, yang satu tak tahan godaan untuk menjadi barisan 'cacing gelang' yang terus mengisap mereka yang membutuhkan demi merasakan hidup dalam kegelimangan.

Sampai kapan kita dipertontonkan kontras telanjang seperti ini dalam episode kehidupan kita? Mungkinkah hingga seabad usia Republik ini? Penggalan sajak WS Rendra yang berjudul Orang-Orang Miskin kiranya bakal menjadi pengingat kita, bahwa episode kekontrasan ini tak boleh diremehkan.

Rendra menulis:

‘Orang-orang miskin di jalan

masuk ke dalam tidur malammu.

Perempuan-perempuan bunga raya

menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan

meraba-raba kaca jendelamu.

Mereka tak bisa kamu biarkan.

 

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.

Mereka akan menjadi pertanyaan

yang mencegat ideologimu.

Gigi mereka yang kuning

akan meringis di muka agamamu.’

 



Berita Lainnya
  • Semrawut Rumah Rakyat

    22/8/2025 05:00

    SEBETULNYA, siapa sih yang lebih membu­tuhkan rumah, rakyat atau wakil rakyat di parlemen?

  • Kado Pahit Bernama Remisi

    21/8/2025 05:00

    TEMAN saya geram bukan kepalang.

  • Waspada Utang Negara

    20/8/2025 05:00

    UTANG sepertinya masih akan menjadi salah satu tulang punggung anggaran negara tahun depan. 

  • Mengakhiri Anomali

    19/8/2025 05:00

    BANGSA Indonesia baru saja merayakan 80 tahun usia kemerdekaan.

  • Topeng Arogansi Bopeng Kewarasan

    18/8/2025 05:00

    ADA persoalan serius, sangat serius, yang melilit sebagian kepala daerah. Persoalan yang dimaksud ialah topeng arogansi kekuasaan dipakai untuk menutupi buruknya akal sehat.

  • Ibadah bukan Ladang Rasuah

    16/8/2025 05:00

    LADANG ibadah malah dijadikan ladang korupsi.

  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.