Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka? Jawabnya bergantung pada sudut mana Anda melihat. Namun, itulah yang diperdebatkan di media sosial hari-hari terakhir ini. Perbedaan sudut pandang memicu 'perang' narasi dan adu 'perang' grafis bergambar Donald Trump dan Presiden Prabowo. Semuanya seru.
Para pihak yang kritis terhadap tarif bea masuk 19% untuk barang Indonesia ke AS langsung 'bergairah' menyebut putusan itu 'tidak adil', 'bikin boncos Indonesia', hingga ada yang menganggap kita 'siap-siap dijajah Amerika'. Umumnya karena mereka membandingkan pengenaan tarif 19% untuk barang kita yang masuk AS dengan melenggangnya sejumlah barang AS yang masuk ke kita tanpa tarif, alias 0%.
Kritik pedas kian bertubi-tubi ketika membaca proposal Indonesia yang 'direstui' 'Paman Sam'. Proposal yang membuat tarif dipangkas dari yang tadinya 32% menjadi 19% itu ialah keharusan kita membeli 50 pesawat Boeing, mesti membeli energi dari AS senilai US$15,5 miliar, dan mengimpor bahan pangan hingga US$4,5 miliar.
Mereka juga menghantam siapa saja yang mencoba menjelaskan duduk perkara tarif Trump itu. Padahal, ada banyak hal yang mesti dijelaskan. Ada detail teknis yang masih harus dibahas hingga soal kapan kesepakatan itu benar-benar dijalankan yang masih butuh kepastian.
Kalau menjelaskan soal detail kepada mereka yang mengkritisi itu berdasarkan data dan argumentasi, pasti lebih mudah dan produktif. Namun, menjelaskan kepada mereka yang baru nimbrung di 'tikungan' (alias FOMO atau fear of missing out, takut ketinggalan), butuh energi ekstra. Kaum baru nimbrung itu bahkan mengira semua barang AS yang masuk ke Indonesia bakal bebas tarif.
Padahal, tidak semua begitu. Hanya produk unggulan AS dalam perdagangan dengan Indonesia yang bebas melenggang. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI yang diolah dari US Census Bureau Statistics, setidaknya ada 10 jenis produk unggulan AS yang bakal bebas bea masuk.
Total nilai barang-barang ekspor AS yang masuk ke Indonesia mencapai US$10,2 miliar, atau setara Rp166,09 triliun, pada 2024. Barang-barang itu meliputi bahan bakar mineral (US$1,63 miliar); biji dan buah mengandung minyak (US$1,26 miliar); mesin dan peralatan mekanis (US$1,21 miliar); dan bahan kimia organik (US$0,91 miliar).
Selain itu, ada barang residu dan sisa dari industri makanan (US$0,62 miliar); kendaraan udara/pesawat (US$0,52 miliar); mesin dan perlengkapan elektrik (US$0,44 miliar); pulp dari kayu, kertas (US$0,40 miliar); instrumen dan aparatus optik (US$0,27 miliar); serta produk susu, telur unggas, dan madu senilai US$0,21 miliar.
Jadi, apakah itu bisa disebut sebagai keberhasilan? Tunggu dulu. Saya lebih suka berada di tengah-tengah untuk menilai hasil pemangkasan tarif timbal balik Trump itu. Dari sisi negosiasi, tentu capaian itu positif. Itu keberhasilan Presiden Prabowo 'melunakkan' hati Donald Trump. Apa yang dicapai Prabowo bahkan lebih baik daripada Vietnam (negeri ini masih kena tarif 20% dari yang tadinya 46%).
Tarif yang didapat Indonesia bisa dikatakan paling rendah jika dibandingkan dengan tarif yang didapat negara-negara mitra dagang AS yang membuat 'Negeri Paman Sam' itu defisit. Tiongkok kena 20%, Filipina dan Vietnam 20%, Malaysia 25%, Uni Eropa 30%, Meksiko 30%, Thailand dan Kamboja 36%, juga Myanmar dan Laos 40%, bahkan Brasil 50%.
Lalu, apa yang membuat sebagian orang masih khawatir dan kurang 'ikhlas' menyebut capaian Indonesia itu sebagai keberhasilan? Di sini para 'kaum tengah' berargumentasi. Mereka, termasuk saya, menyisakan kekhawatiran mengingat ketergantungan kita kepada AS untuk barang dan komoditas yang bebas melenggang itu sangat tinggi.
Data menunjukkan kita masih bergantung kedelai kepada AS dengan tingkat ketergantungan 89,1%. Butana cair tergantung 54,1%, propana cair 53,2%, ampas hasil penyulingan atau fermentasi 92,5%. Kita juga masih bergantung pada minyak bumi mentah AS 4,7%, batu bara bituminus 15,9%, etilena tak jenuh 24,9%, pesawat terbang (berat > 15 ribu kg) 76,7%. Kita juga bergantung pada AS untuk tepung, bubur, dan pelet 58,3%. Selain itu, bubur kayu kimia (soda/sulfat) bergantung pada AS hingga 36,3%.
Meskipun konsumen akan menikmati harga yang lebih murah akibat tarif 0% atas barang-barang itu, banjir produk impor tetap bisa mengancam produsen lokal, terutama bila di dalam negeri bisa diproduksi meskipun terbatas. Sektor pertanian dan peternakan akan terkena imbas.
Produk susu dan olahan susu dari dalam negeri berpotensi kehilangan pasar karena kalah bersaing dengan produk dari AS. Hal serupa bisa terjadi pada jagung dan kedelai lokal, yang sudah sangat bergantung pada impor. Konsumen memang senang, tapi petani jagung dan kedelai akan menjerit dengan tarif 0% dari barang Amerika Serikat itu.
Apalagi, sebelum ada kesepakatan itu pun Indonesia sudah menjadi negara tujuan ekspor nomor tujuh untuk produk dairy AS. Kini, dengan tarif 0%, tekanan terhadap produsen lokal akan semakin berat. Artinya, selama tidak ada upaya kreatif mengurangi ketergantungan, menekan biaya ekonomi di dalam negeri, dan mengadopsi lalu memassalkan teknologi, pengenaan tarif 0% itu bisa menjadi petaka.
Saya yakin, pemerintah sudah paham itu semua. Mereka pasti mafhum bahwa ketergantungan menciptakan ketidakmandirian, bahkan kehancuran, di masa depan. Tinggal mau atau tidak menghilangkan ekonomi biaya tinggi. Bisa atau tidak mengalihkan tujuan pasar dari AS ke Uni Eropa yang bea masuknya 0%. Tahu itu memang berbeda dengan mau. Mampu, juga belum tentu mau. Semoga tahu, mampu, dan mau.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved