Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
SEORANG kawan membagi tulisannya tentang betapa mahaluas dan multikulturalnya Indonesia. Hebatnya, segala keluasan dan kemultikulturalan itu bisa 'diselesaikan' dengan satu hal: bahasa Indonesia. Itulah warisan paling penting dari Sumpah Pemuda.
Awalnya, sang teman memaparkan betapa besarnya negeri kita dari segi jarak. Ia pun menulis, jarak dari Sabang ke Merauke 8.514 kilometer. Ia pun membandingkan itu dengan membentangkan fakta jarak London ke Ankara, Turki, yang cuma 3.485 km. Lalu, jarak London-Mekah 6.201 km, London-Moskow 2.876 km, dan Madrid-Moskow 3.444 km.
Satu-satunya yang mendekati ialah jarak dari Kairo, Mesir, di Afrika Utara, ke Johannesburg, Afrika Selatan, 8.350 km. Jadi, bentangan jarak ujung Indonesia barat ke Indonesia timur, hampir sama dengan bentangan satu benua Afrika dari ujung utara ke ujung selatan, sedangkan ukuran Eropa, dari ujung ke ujung, masih lebih pendek jika dibandingkan dengan Indonesia barat ke ujung timur.
Seorang turis asing yang memulai perjalanan dari Sabang ke arah ujung timur Merauke, jika ia bertemu dengan ribuan orang, puluhan suku yang berbeda dari puluhan pulau di perjalanan, turis itu hanya butuh menguasai satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Itulah dahsyatnya bahasa kita, mampu mempersatukan segala keragaman. Merekatkan perbedaan, menjadi tenun kebangsaan.
Namun, di mulut dan tangan sebagian orang, bahasa justru menjadi alat pemecah belah. Ia dijadikan alat pemisah, garis demarkasi antara 'kami' dan 'mereka'. Bahasa menjadi sarana labelling, menabalkan cap buruk alias stigmatisasi untuk menyudutkan orang lain dan kelompok lain.
Penggunaan bahasa sebagai pelabelan itu terus direproduksi menjelang kontestasi politik, baik pilkada, pemilu, lebih-lebih lagi pilpres. Sudah lebih dari sewindu, penggunaan kata 'kampret', 'cebong', dan 'kadrun' (metamorfosis dari cap 'kampret') terus-menerus didengungkan. Padahal, sang pendengung kerap mengeklaim diri sebagai penolak pelabelan dan politik identitas.
Kasus paling gres terjadi pascadeklarasi capres Anies Baswedan oleh Partai NasDem. Mereka yang kesal, panik, dan bingung atas deklarasi itu langsung mereproduksi label baru. Mereka memberi label 'nasdrun' (maksudnya 'NasDem gurun'). Gabungan antara NasDem dan kadrun.
Awalnya, cap yang ditabalkan bukan 'nasdrun', melainkan 'nasrun'. Pegiat media sosial Hariqo Wibawa menyebutkan bahwa pertama kali mereka menuliskan kata 'nasrun' (bukan nasdrun). Sang penulis 'nasrun' di medsos ialah akun Twitter Kurawa, pada 3 Oktober 2022.
Ia menuliskan, 'Selamat!! Tepat jam 11.00 hari ini resmi telah bergabung sebuah komunitas politik baru bernama: NASRUN: nasdem gurun'. Postingan itu ia tambahkan dengan dua emoji tertawa ngakak.
Lalu, sebuah akun mengomentari dengan menuliskan, ‘Dalam bahasa Arab, Nasrun artinya kemenangan..., atau pertolongan dari Tuhan..’
Netizen lain menimpali, ‘Bakal diubah lagi tuh kalo denger begitu’. Kemudian, dua akun lain mencicitkan, ‘Nasrun tetangga saya dulu’ dan ‘Nasrun Masikun’.
Benar prediksi netizen di atas. Setelah tahu bahwa 'nasrun' berarti kemenangan atau pertolongan Tuhan, cap itu direvisi menjadi 'nasdrun'. Apa pun sebutannya, pelabelan dalam politik kita beberapa tahun terakhir ialah upaya menyudutkan pihak lain yang berbeda pilihan politik. Para pembuat cap itu meletakkan orang lain sebagai 'promotor politik identitas', sambil memproduksi identitas lain.
Hal seperti itu mirip dengan politik label era Orde Baru. Rezim Orde Baru kerap membuat label 'ekstrem kiri', 'ekstrem kanan', 'organisasi tanpa bentuk atau OTB' yang semuanya diletakkan pada posisi 'melawan Pancasila'. Padahal, sebagian besar dari mereka ialah orang-orang yang sedang menjalankan Pancasila dengan cara mengkritisi parktik-praktik menyimpang yang dilakukan rezim despotik saat itu.
Kini, pelabelan politik itu diulang kembali untuk mendulang suara pemilih. Tepat belaka kata ahli ilmu sosial Edwin M Lemert. Dalam konteks sosial, kata dia, labeling dikaitkan dengan pemberian label atau cap kepada orang lain. Sering kali pemberian label itu berkonotasi negatif dengan memberi predikat buruk kepada orang lain. Akibatnya orang atau institusi yang dilabeli predikat itu mempunyai citra buruk di hadapan publik.
Itu artinya, pelabelan punya daya rusak yang dalam dan berdurasi panjang. Padahal, tekad para pemuda saat memekikkan Sumpah Pemuda 94 tahun lalu, ialah menyatukan yang terpisah membulatkan yang masih lonjong. Kini, sebagian orang mulai resah dengan pergaulan kebangsaan yang melanggengkan 'kami' dan 'mereka'. Iklim politik 'berkompetisi dalam harmoni' terus dirusak sang produsen label politik.
Mereka yang resah itu hendak membawa seluruh pihak untuk menjadi Indonesia seutuhnya. Langkah pertama, menghapus segala pelabelan dari kamus politik kita. Berbeda itu keniscayaan, bukan hanya karena jalan demokrasi, melainkan memang begitulah fitrah manusia.
Indonesia kita teramat mahal untuk meninggalkan dan menanggalkan tekad persatuan hanya demi meraih kekuasaan lewat pelabelan.
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved