Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
SALAH satu tugas utama partai politik ialah menyiapkan pemimpin. Langkah itu bukan saja lumrah, tapi niscaya. Apalagi dalam negara demokrasi, menimang-nimang calon pemimpin itu hukumnya wajib 'ain bagi partai politik.
Maka, saya sangat heran bila ada yang sinis dan mencibir parpol gara-gara mendeklarasikan calon pemimpin negara. Makin heran bila sinisme itu muncul dari politisi. Tambah heran kuadrat jika yang mencibir itu petinggi partai.
Ketika ada parpol mendeklarasikan calon presiden, mestinya disambut dengan antusias. Mengapa? Karena langkah itu menandakan demokrasi kita hidup. Deklarasi itu juga menunjukkan bahwa parpol kita bekerja sepanjang waktu, bukan hanya di detik-detik menjelang pemilu sebagaimana lazimnya.
Langkah itu sekaligus menjawab sinisme Thomas Jefferson yang mengatakan bahwa politisi hanya menanti pemilu ke pemilu. Deklarasi itu serupa ajakan saatnya berkompetisi, sampaikan visi, atur strategi, wujudkan kemenangan yang punya arti bagi negeri.
Langkah parpol itu berarti pula perwujudan bahwa demokrasi kita memang bisa diandalkan menjadi kanalisasi bagi publik. Kanalisasi itu berguna untuk menilai apa yang mesti diperbaiki dari negeri ini. Sebagai evaluasi agar demokrasi berjalan efektif dalam mewujudkan kesejahteraan.
Jadi, kita mestinya berterima kasih atas deklarasi itu. Bukan malah sebaliknya; mengecam, mencibir, menyerang, memampatkan jalan. Ucapan-ucapan bahwa ada partai 'antitesis' terhadap pemerintah setelah selama ini bersama-sama pemerintah, gara-gara parpol itu mendeklarasikan capres, ialah pernyataan aneh di alam demokrasi.
Sang pembuat pernyataan sepertinya belum menghayati kesejatian demokrasi. Ia paham apa itu demokrasi, tapi tidak menghayati bagaimana demokrasi itu mesti dijalankan. Ia boleh saja mengusung gebyar simbol demokrasi, tapi belum sampai pada substansi demokrasi.
Ada tiga hal pokok yang menjadi substansi demokrasi, yaitu kompetisi, partisipasi, dan kebebasan. Kompetisi dalam demokrasi berarti bersaing untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Salah satu perwujudannya, ya, menyodorkan calon pemimpin untuk dikontestasikan lewat pemilu dan pilpres.
Partisipasi artinya rakyat terlibat dalam pemerintahan dan proses politik. Dengan menyodorkan nama capres sejak dini, artinya parpol tengah membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya bagi diskursus capres beserta visi dan misinya.
Itu sekaligus perwujudan dari terus mengikhtiarkan kebebasan. Kebebasan dalam demokrasi bisa dimaknai rakyat bebas menentukan pilihan. Bagaimana rakyat bisa bebas menentukan pilihan jika parpol tidak menyediakan pilihan-pilihan?
Kalau sedari awal sudah dibatasi parpol hanya boleh mendeklarasikan capresnya sekian bulan menjelang pemilu, dari mana rakyat bisa menilai calon tersebut? Kalau memang demokrasi sekadar pajangan, ya sudah, kembali saja ke model kebulatan tekad seperti Orde Baru. Ramai-ramai orang digiring untuk memilih itu lagi, itu lagi. Kalau ada suara berbeda, rezim dan politisi ramai-ramai 'menggebuki' suara yang berbeda itu hingga remuk redam, babak belur, layu sebelum berkembang.
Pada era itu, kompetisi politik bukan berisi kompetensi, melainkan justru penuh dengan pretensi. Hasil akhir menjadi tujuan, bukan cara yang menjadi pegangan. Aturan main yang sudah dibuat sekadar jargon, tak punya kemampuan mengikat. Parpol menjadi pembebek, alih-alih mandiri.
Jelas bukan era seperti itu lagi yang kita kehendaki. Kini bukan lagi era ketika kata stabilitas jadi mantra sakti untuk membunuh partisipasi, membonsai kebebasan, mengerangkeng kemerdekaan. Maka, ketika Partai Gerindra mencapreskan lagi Prabowo Subianto dan Partai NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres, jelas bukan aib, bukan 'dosa'.
Sebaliknya, itu perwujudan paripurna bagi tegak teguhnya demokrasi. Meminjam istilah Jim Collins dalam Good to Great, deklarasi capres sejak dini itu sama seperti menyiapkan calon pemimpin Level 5.
Pemimpin Level 5, tulis Jim Collins, membuka jalan bagi penerus mereka untuk meraih kesuksesan lebih besar lagi di generasi berikutnya. Sementara itu, pemimpin egosentris Level 4 kerap membuka jalan bagi kegagalan penerus mereka.
Jika parpol yang sudah menyiapkan capresnya bisa dikategorikan setara pemimpin Level 5, lalu yang menghalang-halangi, mencibir, mengolok-olok, masuk level berapa? Atau, jangan-jangan ia belum mencapai level mana pun, alias enggak level?
Mari nikmati proses ini sembari menyeruput kopi demokrasi.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved