Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
SALAH satu tugas utama partai politik ialah menyiapkan pemimpin. Langkah itu bukan saja lumrah, tapi niscaya. Apalagi dalam negara demokrasi, menimang-nimang calon pemimpin itu hukumnya wajib 'ain bagi partai politik.
Maka, saya sangat heran bila ada yang sinis dan mencibir parpol gara-gara mendeklarasikan calon pemimpin negara. Makin heran bila sinisme itu muncul dari politisi. Tambah heran kuadrat jika yang mencibir itu petinggi partai.
Ketika ada parpol mendeklarasikan calon presiden, mestinya disambut dengan antusias. Mengapa? Karena langkah itu menandakan demokrasi kita hidup. Deklarasi itu juga menunjukkan bahwa parpol kita bekerja sepanjang waktu, bukan hanya di detik-detik menjelang pemilu sebagaimana lazimnya.
Langkah itu sekaligus menjawab sinisme Thomas Jefferson yang mengatakan bahwa politisi hanya menanti pemilu ke pemilu. Deklarasi itu serupa ajakan saatnya berkompetisi, sampaikan visi, atur strategi, wujudkan kemenangan yang punya arti bagi negeri.
Langkah parpol itu berarti pula perwujudan bahwa demokrasi kita memang bisa diandalkan menjadi kanalisasi bagi publik. Kanalisasi itu berguna untuk menilai apa yang mesti diperbaiki dari negeri ini. Sebagai evaluasi agar demokrasi berjalan efektif dalam mewujudkan kesejahteraan.
Jadi, kita mestinya berterima kasih atas deklarasi itu. Bukan malah sebaliknya; mengecam, mencibir, menyerang, memampatkan jalan. Ucapan-ucapan bahwa ada partai 'antitesis' terhadap pemerintah setelah selama ini bersama-sama pemerintah, gara-gara parpol itu mendeklarasikan capres, ialah pernyataan aneh di alam demokrasi.
Sang pembuat pernyataan sepertinya belum menghayati kesejatian demokrasi. Ia paham apa itu demokrasi, tapi tidak menghayati bagaimana demokrasi itu mesti dijalankan. Ia boleh saja mengusung gebyar simbol demokrasi, tapi belum sampai pada substansi demokrasi.
Ada tiga hal pokok yang menjadi substansi demokrasi, yaitu kompetisi, partisipasi, dan kebebasan. Kompetisi dalam demokrasi berarti bersaing untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Salah satu perwujudannya, ya, menyodorkan calon pemimpin untuk dikontestasikan lewat pemilu dan pilpres.
Partisipasi artinya rakyat terlibat dalam pemerintahan dan proses politik. Dengan menyodorkan nama capres sejak dini, artinya parpol tengah membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya bagi diskursus capres beserta visi dan misinya.
Itu sekaligus perwujudan dari terus mengikhtiarkan kebebasan. Kebebasan dalam demokrasi bisa dimaknai rakyat bebas menentukan pilihan. Bagaimana rakyat bisa bebas menentukan pilihan jika parpol tidak menyediakan pilihan-pilihan?
Kalau sedari awal sudah dibatasi parpol hanya boleh mendeklarasikan capresnya sekian bulan menjelang pemilu, dari mana rakyat bisa menilai calon tersebut? Kalau memang demokrasi sekadar pajangan, ya sudah, kembali saja ke model kebulatan tekad seperti Orde Baru. Ramai-ramai orang digiring untuk memilih itu lagi, itu lagi. Kalau ada suara berbeda, rezim dan politisi ramai-ramai 'menggebuki' suara yang berbeda itu hingga remuk redam, babak belur, layu sebelum berkembang.
Pada era itu, kompetisi politik bukan berisi kompetensi, melainkan justru penuh dengan pretensi. Hasil akhir menjadi tujuan, bukan cara yang menjadi pegangan. Aturan main yang sudah dibuat sekadar jargon, tak punya kemampuan mengikat. Parpol menjadi pembebek, alih-alih mandiri.
Jelas bukan era seperti itu lagi yang kita kehendaki. Kini bukan lagi era ketika kata stabilitas jadi mantra sakti untuk membunuh partisipasi, membonsai kebebasan, mengerangkeng kemerdekaan. Maka, ketika Partai Gerindra mencapreskan lagi Prabowo Subianto dan Partai NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres, jelas bukan aib, bukan 'dosa'.
Sebaliknya, itu perwujudan paripurna bagi tegak teguhnya demokrasi. Meminjam istilah Jim Collins dalam Good to Great, deklarasi capres sejak dini itu sama seperti menyiapkan calon pemimpin Level 5.
Pemimpin Level 5, tulis Jim Collins, membuka jalan bagi penerus mereka untuk meraih kesuksesan lebih besar lagi di generasi berikutnya. Sementara itu, pemimpin egosentris Level 4 kerap membuka jalan bagi kegagalan penerus mereka.
Jika parpol yang sudah menyiapkan capresnya bisa dikategorikan setara pemimpin Level 5, lalu yang menghalang-halangi, mencibir, mengolok-olok, masuk level berapa? Atau, jangan-jangan ia belum mencapai level mana pun, alias enggak level?
Mari nikmati proses ini sembari menyeruput kopi demokrasi.
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved