Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
MELALUI Putusan No 135/PUU-XXII/2024, MK akhirnya memutuskan desain keserentakan pemilu dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah. Butuh waktu tiga kali pemilu untuk sampai pada kebijakan hukum ini. Pasca-Pemilu 2014, gagasan pemilu serentak dengan desain memisahkan pemilu nasional dan lokal ini sudah pernah disusun masyarakat sipil dan disampaikan kepada pembentuk undang-undang. Namun, saat RUU yang kemudian menjadi UU No 7/2017 disahkan, gagasan tersebut belum pernah diakomodasi.
Setelah Pemilu 2019, tepatnya pada akhir Februari 2020, MK menetapkan Putusan No 55/PUU-XVI/2019, di mana MK melakukan penafsiran konstitusi yang menghasilkan lima alternatif keserentakan pemilu. Putusan itu membawa agenda penguatan sistem presidensial melalui desain waktu penyelenggaraan pemilu, di mana keserentakan pemilu presiden dan pemilu DPR dan DPD bersifat imperatif, sedangkan keserentakan dengan pemilu anggota DPRD dan kepala daerah bersifat alternatif.
Menjelang Pemilu 2024 sama sekali tidak terjadi perubahan kebijakan hukum pemilu sehingga mekanisme keserentakannya masih sama dengan Pemilu 2019. Sebagai akibatnya, beban penyelenggaraan pun masih sama, bahkan terasa lebih berat karena pada tahun yang sama juga digelar pemilihan kepala daerah.
Banyak keluhan yang disampaikan kalangan politisi, penyelenggara pemilu, dan masyarakat terkait dengan beratnya beban keikutsertaan dalam pemilu. Bagi kalangan politisi parpol, kerja mempersiapkan kader, kebutuhan kampanye pemilu, dan kesiapan berkontestasi menjadi beban yang berat.
Bagi penyelenggara, tertumpunya penyelenggaraan pemilu dalam kurun waktu tertentu menyebabkan sebagian pekerjaan tidak dapat dikelola secara baik sehingga kualitas penyelenggaraan pun tidak sepenuhnya dapat dijaga. Muncul berbagai persoalan penyelenggaraan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik akibat tingginya beban kerja penyelenggara.
Adapun pada pemilih, dalam dua kali pemilu terakhir selalu dihadapkan dengan sulitnya menentukan pilihan secara rasional akibat sangat banyaknya pejabat yang mesti dipilih dalam waktu bersamaan.
Berbasis pengalaman tersebut, dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kontekstual, MK melalui putusan mutakhirnya menyatakan pendirian hukum baru, bahwa desain keserentakan pemilu yang konstitusional adalah serentak dengan memisahkan antaran pemilu presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD dengan pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan pilkada. Pendirian ini jauh lebih spesifik daripada keyakinan hukum MK dalam Putusan No 55/PUU-XVI/2019, yang waktu itu masih menyediakan ragam alternatif keserentakan pemilu.
KONTEKSTUALISASI KONSTITUSI
Bagi sebagian kalangan, putusan terbaru tersebut masih memunculkan sejumlah pertanyaan yang perlu penjelasan lebih jauh. Pertama, bagaimana sesungguhnya putusan ini jika dihadapkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945? Bukankah Pasal 22E ayat (2) konstitusi yang mengatur jenis pemilu dirumuskan dengan frasa ‘dan’ yang dalam ilmu perundang-undangan bermakna kumulatif? Hal mana dengan kerangka berpikir demikian, maka pemilu presiden/wakil presiden, pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD mesti dilaksanakan secara serentak? Bukankah cara penafsiran berbasis teks konstitusi itu pula yang telah digunakan selama ini dan menjadi basis argumen MK untuk memutus desain keserentakan pemilu seperti yang diterapkan dalam Pemilu 2019 dan 2024? Dalam kajian konstitusi, penafsiran atas konstitusi akan selalu berayun antara dua pendulum, yaitu mempertahankan makna teks seperti apa adanya atau memaknai norma konstitusi sesuai perubahan kebutuhan hukum yang ada.
Dalam banyak putusan terkait dengan pengujian UU Pemilu, MK pada dasarnya lebih ingin menjaga konsistensi pemaknaan teks UUD 1945, seperti putusan tentang ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden dan beberapa putusan lainnya. Hanya saja, dengan perkembangan kebutuhan hukum keserentakan pemilu, MK telah menggeser penafsirannya ke pendekatan non-orisinalis.
Pergeseran itu terjadi karena MK memandang bahwa terdapat sejumlah kemudaratan dalam metode keserentakan yang diterapkan saat ini. Pergeseran pendekatan tersebut diyakini akan dapat menjaga keseimbangan berbagai kepentingan dalam penyelenggaraan pemilu sehingga kualitas penyelenggaraannya pun bisa ditingkatkan.
Lebih jauh, sesuai mandat konstitusional yang dimilikinya, pergeseran pendekatan penafsiran yang dilakukan MK merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin suatu hasil penafsiran hendak dipertahankan bila mana sudah diketahui terdapat masalah dalam pelaksanaannya. Atas alasan konstitusi diperuntukkan bagi semua orang dan penafsirannya juga milik semua warga negara, maka rasa keadilan dan perlindungan terhadap semua kepentingan jauh lebih diutamakan dalam melakukan penafsiran konstitusi.
Dalam konteks itu, pergeseran pendekatan penafsiran konstitusi bukanlah semata soal konsistensi, melainkan ihwal bagaimana MK sebagai badan peradilan menempatkan dirinya sebagai penjaga tujuan berkonstitusi. Atas alasan demikian, pergeseran pendirian MK mengenai desain keserentakan pemilu melalui Putusan No 135/PUU-XXII/2024 merupakan sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Putusan tersebut mesti dinilai sebagai upaya MK melakukan kontekstualisasi norma konstitusi, khususnya Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Bila langkah tersebut untuk mengurangi mudarat yang ditimbulkan, baik bagi peserta, penyelenggara pemilu, maupun pemilih, maka pilihan menggeser pendekatan penafsiran adalah pilihan yang tepat.
TRANSISI PEMILU SERENTAK
Kedua, bagaimana Putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 yang juga memuat pengunduran pemilu anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah dapat dilaksanakan jika dihadapkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur asas keberkalaan pemilu setiap lima tahun sekali?
Sesuai asas pemilu berkala lima tahun sekali, maka pemilu anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah serentak harusnya dilaksanakan lagi pada tahun 2029? Hanya, MK melalui putusan tersebut mengundurnya hingga lebih kurang dua tahun setelah Pemilu 2029 yang nanti hanya untuk memilih presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD. Apakah penundaan demikian tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945?
Pertanyaan itu dapat dijawab dengan berbasis konsep masa transisi sebuah kebijakan hukum. Pada saat terjadi perubahan kebijakan hukum, dipastikan perubahan itu akan menimbulkan dampak hukum tertentu saat dilakukan transisi menuju keadaan hukum baru. Dalam konteks ini, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu norma yang terdampak dari adanya kontekstualisasi norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang dilakukan MK. Artinya, sistem keserentakan pemilu yang memisahkan pemilu nasional dan daerah dimaksud berdampak pada tidak akan dilaksanakannya asas pemilu berkala secara terbatas.
Dengan demikian, akan terjadi ketidakpastian terkait dengan pelaksanaan keberkalaan pemilu. Agar masalah ini dapat dijawab dan diselesaikan, maka kondisi tersebut harus diletakkan dalam rezim transisi hukum. Bahwa transisi tersebut hanya akan terjadi dan berlaku untuk satu kali pemilu dan setelahnya akan berlangsung secara berkala sesuai desain keserentakan pemilu yang baru. Karena itu, tidak terlaksananya asas keberkalaan secara terbatas pada tahun 2029 untuk pemilu anggota DPRD dan kepala daerah tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Ketiga, bagaimana proses transisi periodesasi masa jabatan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah jika Pemilu 2029 dilaksanakan hanya untuk memilih presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan DPD saja? Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pengaturan tentang masa transisi merupakan wewenang pembentuk undang-undang. Karena itu, hal tersebut menjadi ranah presiden dan DPR untuk mengatur lebih lanjut dalam perubahan UU Pemilu.
Terkait dengan hal itu, setidaknya terdapat beberapa alternatif desain yang dapat dipilih. Pertama, UU Pemilu secara tegas menyatakan memperpanjang masa jabatan anggota DPRD yang ada saat ini. Alternatif itu akan menjadi pilihan paling sederhana dan tidak akan menimbulkan banyak masalah dalam pelaksanaannya. Anggota DPRD hari ini merupakan anggota DPRD yang telah dipilih dan meraih suara terbanyak dalam pemilu, sehingga ketika terjadi perubahan kebijakan hukum yang berdampak pada masa periode masa jabatan, maka sudah cukup hanya dilakukan perpanjangan terhadap masa jabatan mereka.
Kedua, UU Pemilu menyerahkan kebijakan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD kepada partai politik pengusung. Dalam konteks ini, anggota DPRD eksisting bisa diperpanjang atau bisa juga diganti, sepanjang diganti dengan calon anggota DPRD yang terdapat dalam daftar calon tetap (DCT) yang masih memenuhi syarat. Akan tetapi, pilihan ini lebih berisiko menimbulkan kegaduhan politik. Oleh sebab itu, agar proses transisi keserentakan pemilu berjalan lancar, akan lebih tepat jika pembentuk undang-undang memilih untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024.
Sebagai catatan penutup, ijtihad hukum MK yang menghasilkan desain keserentakan pemilu baru harus dipandang sebagai upaya berkelanjutan dalam membenahi tata kelola pemilu. Saat ini, DPR pun sudah memulai langkah perbaikan kebijakan hukum melalui perubahan UU Pemilu.
Sehubungan dengan itu, putusan MK ini setidaknya sudah menyelesaikan salah satu persoalan pokok yang pasti akan menimbulkan perdebatan panjang di DPR. Dengan modal putusan ini, pemerintah dan DPR tinggal merumuskan detail kebijakan hukumnya ke dalam UU Pemilu baru, sehingga RUU Pemilu bisa disahkan lebih awal, jauh sebelum tahapan Pemilu 2029 dimulai.
AHY menyebut keputusan MK itu akan berdampak pada seluruh partai politik, termasuk Partai Demokrat.
Pembentuk undang-undang, terutama DPR, seyogianya banyak mendengar pandangan lembaga seperti Perludem, juga banyak belajar dari putusan-putusan MK.
Titi meminta kepada DPR untuk tidak membenturkan antara Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 dengan putusan konstitusionalitas pemilu serentak nasional dan daerah.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI akan segera memperbaharui dinamika perubahan data pemilih pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.
KPU Mochammad Afifuddin mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memisahkan pemilu tingkat nasional dan lokal mulai 2029.
Jazuli menegaskan DPR akan menindaklanjuti putusan tersebut dalam bentuk revisi terhadap Undang-Undang Pemilu dan Pilkada.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah menyalahi aturan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Komisi II DPR selalu mengevaluasi peraturan perundang-undangan terkait pemilu sebagai bagian dari penyempurnaan demokrasi nasional.
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah
Pimpinan DPR diklaim telah mengetahui nama calon bubes tersebut. Tetapi sosok itu belum bisa diungkap ke publik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved