Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Pakar Hukum: Putusan MK yang Pisahkan Pemilu Pusat dan Daerah Tidak Bertentangan dengan UUD 45

Devi Harahap
29/6/2025 18:24
Pakar Hukum: Putusan MK yang Pisahkan Pemilu Pusat dan Daerah Tidak Bertentangan dengan UUD 45
Titi Anggraini(MI/Rommy Pujianto)

PAKAR hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI) dan pemilu lokal (Gubernur/Bupati/Wali Kota serta DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota), tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. 

“Ketentuan regularitas pemilu setiap lima tahun sekali itu, hanya untuk desain pemilu yang sudah berjalan dengan model keserentakan yang konstitusional sesuai putusan MK, yaitu serentak nasional dan serentak daerah,” kata Titi kepada Media Indonesia pada Minggu (29/6). 

Sebagaimana diketahui, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Titi meminta kepada DPR untuk tidak membenturkan antara Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 dengan putusan konstitusionalitas pemilu serentak nasional dan daerah. Menurutnya, wajar apabila ketidak keserentakan pemilu belum berjalan sesuai desain keserentakan yang konstitusional sebab saat ini masih dalam masa transisi. 

“Kita sedang berada pada masa transisi yang harus dilakukan penataan dan penyesuaian agar jadwal pemilu setiap lima tahun sekali tersebut kompatibel dengan konstitusionalitas model keserentakan pemilu,” imbuhnya. 

Lebih lanjut, Titi mencontohkan pola masa transisi seperti ini pernah terjadi pada Pemilu 1977 yang diselenggarakan 6 tahun setelah pemilu 1971, meskipun jadwal pemilu secara konstitusi harus dilaksanakan lima tahun sekali. 

“Kemudian di tahun 1999, kita mempercepat pemilu yang seharusnya siklus lima tahunannya baru berlangsung pada 2002, namun dipercepat menjadi tahun pemilu 1999 sebagai bentuk konsensus  keluar dari transisi demokrasi,” jelasnya. 

Atas dasar itu, Titi mengajak DPR RI untuk tidak membenturkan putusan MK dengan UUD dan segera melakukan pertemuan dengan berbagai pihak khususnya penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). 

“Jadi terlalu berlebih mengatakan Putusan MK ini inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945,” imbuhnya.

Sebelumnya, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah, menyalahi aturan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Putusan MK itu salah. Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 secara tekstual dan eksplisit menentukan pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan salah satunya adalah untuk memilih anggota DPRD,” kata Irawan dalam keterangannya pada Minggu (29/6).

Menurut Irawan, putusan MK yang dianggap salah memang seharusnya dikritik meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, kritik terhadap putusan yang dianggap keliru merupakan bagian dalam sistem hukum. 

“Kita tidak bisa lagi basa-basi bahwa putusan MK final dan binding yang harus kita hormati dan laksanakan,” ucapnya.

Selain itu, Irawan menyebut revisi Undang-Undang Pemilu tidak lagi memadai untuk menata sistem kepemiluan. Menurutnya, legislator harus melakukan koreksi dan penataan secara komprehensif dan konstitusional dengan melakukan amandemen UUD 1945 sebab MK dinilai sudah terlalu jauh memasuki urusan legislatif. 

“MK juga sudah jauh masuk memasuki ranah legislatif dan teknis implementasi,” ujarnya.(H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya