Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?

Iqbal Mochtar Ketua Klaster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Pengurus PB IDI dan PP IAKMI
02/12/2024 05:00
Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?
(MI/Seno)

MENTERI Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sangat gandrung menarasikan bahwa negeri ini kekurangan dokter. Bahkan, ia sempat menyebut bahwa Indonesia berada dalam status 'darurat dokter'. Indonesia, katanya, butuh tambahan sebanyak 160-170 ribu dokter. Jumlah itu sangat besar. Akibat pandangan tersebut, Kementerian Kesehatan pun sibuk menggagas program yang ujung-ujungnya ingin menggenjot jumlah dokter dan dokter spesialis.

Pendirian dan penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran diperbanyak. Saat ini telah terdapat 130 fakultas kedokteran. Muncul pula konsep hospital base residency. Artinya, rumah sakit dapat mendidik dan memproduksi dokter spesialis. Padahal, sebelumnya, hanya universitas yang dapat mendidik dokter spesialis. Muncul pula gagasan mendatangkan dokter asing, termasuk gagasan naturalisasi dokter asing.

Menkes menggunakan tiga alasan ketika mengatakan Indonesia kekurangan dokter. Pertama, menurutnya, WHO menetapkan standar bahwa setiap negara mesti memiliki minimal 1 dokter untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1000). Saat ini, jumlah penduduk Indonesia ialah 280 juta. Dengan rasio itu, mestinya terdapat 280 ribu dokter. Namun, saat ini hanya ada 140 ribu dokter. Artinya, negeri ini kekurangan 140 ribu dokter.

Kedua, di tingkat ASEAN, rasio dokter di Indonesia termasuk terendah. Beberapa bulan lalu, mantan Presiden Jokowi menyebutkan bahwa rasio dokter ialah 0,4 per 1.000 penduduk. Padahal, di Malaysia, Brunei, dan Singapura, rasionya sudah di atas 1 per 1.000 penduduk. Ketiga, banyak pasien yang harus menunggu lama untuk mendapat penanganan penyakit mereka. Akhirnya, banyak di antara mereka yang meninggal saat menunggu tindakan. Menurut Menkes, waktu tunggu panjang itu terjadi akibat jumlah dokter yang kurang.

 

Rasio 1:1.000 dan data tidak adekuat

Menkes selalu bernarasi bahwa WHO menetapkan standar bahwa satu dokter harus tersedia untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1.000) dan 0,28 dokter spesialis tersedia per 1.000 penduduk. Padahal, sejatinya WHO sama sekali tidak pernah mengeluarkan standar demikian. Rasio-rasio itu memang sering disebut pada sejumlah referensi, tetapi fungsinya hanya sebagai metrik perbandingan, bukan standar. WHO paham bahwa setiap negara punya kondisi dan keterbatasan berbeda. Karenanya, tidak elok menggunakan prinsip ‘one size fits all’.

Selain itu, penggunaan rasio dokter juga bukan metrik tepat untuk perencanaan tenaga kesehatan. Rasio dibangun berdasarkan asumsi bahwa semua penduduk memiliki kebutuhan kesehatan yang sama. Padahal, kebutuhan kesehatan setiap penduduk berbeda. Sebagian mungkin membutuhkan dokter umum, sebagian lagi membutuhkan dokter spesialis tertentu. Tak bisa dipukul rata. Karenanya, penggunaan parameter rasio tersebut berpotensi menimbulkan bias dan kesalahan estimasi.

Parameter alternatif yang lebih akurat ialah beban kerja dokter (doctor's workload). Parameter itu mempertimbangkan beban kerja riil dokter. Misalnya, berapa jumlah pasien yang ditangani setiap hari, rata-rata waktu layanan per pasien, jumlah panggilan darurat yang diterima dan durasi tindakan medis seperti operasi atau rehabilitasi. Entah mengapa parameter beban kerja dokter itu tidak dipakai di Indonesia dan justru Menkes menggunakan paramater rasio terhadap jumlah penduduk.

Kalaupun Menkes ngotot ingin menggunakan rasio, narasi kekurangan 160-170 ribu dokter sangat berlebihan. Data Konsil Kedokteran Indonesia menyebutkan bahwa jumlah dokter Indonesia lebih dari 221 ribu. Artinya, bila ingin menggunakan rasio 1:1.000, Indonesia sebenarnya hanya kekurangan 60 ribu dokter. Jumlah dokter yang diproduksi oleh fakultas kedokteran berkisar 11-13 ribu per tahun. Artinya, dalam 4-5 tahun, kebutuhan itu dapat terpenuhi walau tanpa program percepatan penambahan dokter.

 

Rasio rendah ASEAN

Mantan Presiden Jokowi pada Mei 2024 menyebutkan bahwa rasio dokter terhadap populasi Indonesia ialah 0,47 per 1.000 penduduk. Data itu diperoleh dari Kementerian Kesehatan. Perhitungan tersebut didasarkan pada data bahwa dengan penduduk 280 juta, Indonesia hanya memiliki 150 ribu dokter. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 147 dunia dan peringkat 9 pada tingkat ASEAN.

Rasio yang disebutkan mantan Presiden Jokowi sebenarnya tidak tepat. Dengan jumlah dokter 221 ribu sebagaimana data Konsil Kedokteran Indonesia, rasionya ialah 0,79 per 1.000 penduduk. Nilai itu hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan rasio yang disebutkan Jokowi. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 6 di ASEAN dan bukan peringkat 9. Dengan rasio 0,79 per 1.000 penduduk itu, untuk mencapai rasio 1:1.000, hanya diperlukan tambahan 58.800 dokter dan bukan 160 ribu.

Pada level ASEAN, hanya ada tiga negara yang memiliki rasio dokter di atas 1 per 1.000 penduduk, yaitu Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Membandingkan rasio dokter Indonesia dengan rasio pada ketiga negara tersebut tentu tidak relevan. Alasannya, Indonesia ialah negara dengan populasi besar, sementara Singapura hanya memiliki populasi 5,9 juta, Malaysia 33 juta, dan Brunei 0,4 juta.

Dengan populasi besar, isu ketersediaan dokter menjadi lebih kompleks. Indonesia juga ialah negara kepulauan dengan lebih 17 ribu pulau; tentu beda dengan Singapura, Malaysia, dan Brunei yang negaranya berbentuk daratan dengan wilayah geografis relatif kecil. Negara-negara tersebut juga tergolong negara menengah dan maju serta mengalokasikan anggaran besar untuk sektor kesehatan. Dengan segala iklim kondusif tersebut, wajar rasio dokternya bagus. Kurang relevan jika menjadikan rasio negara-negara tersebut sebagai acuan.

 

Alasan tidak tepat

Menkes mengatakan waktu tunggu panjang timbul akibat kekurangan dokter. Hal itu tidak sepenuhnya tepat. Waktu tunggu panjang disebabkan oleh beragam faktor. Dokter yang kurang memang merupakan salah satu penyebab. Namun, banyak penyebab lain mendasarinya, di antaranya ialah keterbatasan-keterbatasan ruang operasi, alat medis, dan kapasitas rumah sakit.

Operasi jantung, misalnya, umumnya dilakukan di rumah sakit tersier yang memiliki fasilitas lengkap. Jika rumah sakit yang tersedia sudah penuh, pasien harus menunggu, terlepas dari jumlah dokter yang tersedia. Waktu tunggu panjang juga dipengaruhi alokasi anggaran kesehatan. Jika pendanaan terbatas, rumah sakit tidak bisa meningkatkan kapasitas mereka meski jumlah dokter memadai.

Pada beberapa spesialis tertentu, seperti spesialis bedah jantung, bedah saraf, dan bedah anak, negeri ini memang mengalami kekurangan absolut. Sementara itu, sejumlah spesialis lain, yang terjadi ialah kekurangan relatif. Artinya, pada level nasional jumlah dokter spesialisnya mencukupi, tetapi dokter ini tidak tersebar merata.

Pada Provinsi Jakarta, Yogyakarta, Bali dan Gorontalo, beberapa jenis spesialis telah melewati target rasio dokter spesialis. Sementara itu, di Papua, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat, dokter spesialis tersebut sangat kurang.

 

Efek jangka panjang

Hampir semua negara mengalami kekurangan dokter. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Namun, magnitudo kekurangan di negeri ini terlalu dilebih-lebihkan. Padahal tidak dilandasi oleh dasar ilmiah. Tidak ada darurat dokter di Indonesia.

Pemerintah perlu bijak memikirkan isu penambahan dokter. Efek sampingnya akan sangat serius bagi profesi dokter dan masyarakat. Bila jumlah dokter Indonesia membeludak, apakah pemerintah siap menyerap mereka? Saat ini jumlah dokter sebanyak 221 ribu. Fakultas kedokteran di Indonesia setiap tahun memproduksi tambahan 10-14 ribu dokter.

Bila pemerintah ingin menambah lagi 160 ribu dokter, bagaimana penyerapan tenaga dokter ini? Tanpa penyerapan adekuat, akan timbul fenomena oversupply yang ujung-ujungnya berimbas negatif pada kualitas layanan, dan kesejahteraan dokter. Dokter dapat menjadi pengangguran intelektual.

Penambahan jumlah dokter secara masif tanpa perencanaan matang berisiko menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Alih-alih memperbaiki layanan kesehatan, langkah itu justru dapat memicu stagnasi atau bahkan penurunan kualitas pelayanan medis. Jangan sampai niat meningkatkan jumlah dokter justru berujung pada bumerang sosial dan ekonomi yang merugikan seluruh pihak.

Pemerintah perlu fokus pada upaya distribusi tenaga medis yang lebih merata. Di antaranya dengan memberikan insentif yang memadai bagi dokter yang bersedia bertugas di daerah terpencil, meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah, serta memberi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi mereka. Dengan demikian, masalah akses dan kualitas layanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa harus menambah jumlah dokter secara signifikan.

Isu kekurangan dokter di Indonesia memang kompleks dan memerlukan pendekatan komprehensif. Sebelum mengambil keputusan kontroversial, seperti menambah jumlah dokter secara masif atau mengubah sistem pendidikan spesialis, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam berbasis data dan fakta. Kebijakan yang tergesa-gesa dan tanpa dasar adekuat justru menimbulkan masalah baru pada kemudian hari.

MENTERI Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sangat gandrung menarasikan bahwa negeri ini kekurangan dokter. Bahkan, ia sempat menyebut bahwa Indonesia berada dalam status 'darurat dokter'. Indonesia, katanya, butuh tambahan sebanyak 160-170 ribu dokter. Jumlah itu sangat besar. Akibat pandangan tersebut, Kementerian Kesehatan pun sibuk menggagas program yang ujung-ujungnya ingin menggenjot jumlah dokter dan dokter spesialis.

Pendirian dan penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran diperbanyak. Saat ini telah terdapat 130 fakultas kedokteran. Muncul pula konsep hospital base residency. Artinya, rumah sakit dapat mendidik dan memproduksi dokter spesialis. Padahal, sebelumnya, hanya universitas yang dapat mendidik dokter spesialis. Muncul pula gagasan mendatangkan dokter asing, termasuk gagasan naturalisasi dokter asing.

Menkes menggunakan tiga alasan ketika mengatakan Indonesia kekurangan dokter. Pertama, menurutnya, WHO menetapkan standar bahwa setiap negara mesti memiliki minimal 1 dokter untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1000). Saat ini, jumlah penduduk Indonesia ialah 280 juta. Dengan rasio itu, mestinya terdapat 280 ribu dokter. Namun, saat ini hanya ada 140 ribu dokter. Artinya, negeri ini kekurangan 140 ribu dokter.

Kedua, di tingkat ASEAN, rasio dokter di Indonesia termasuk terendah. Beberapa bulan lalu, mantan Presiden Jokowi menyebutkan bahwa rasio dokter ialah 0,4 per 1.000 penduduk. Padahal, di Malaysia, Brunei, dan Singapura, rasionya sudah di atas 1 per 1.000 penduduk. Ketiga, banyak pasien yang harus menunggu lama untuk mendapat penanganan penyakit mereka. Akhirnya, banyak di antara mereka yang meninggal saat menunggu tindakan. Menurut Menkes, waktu tunggu panjang itu terjadi akibat jumlah dokter yang kurang.

 

Rasio 1:1.000 dan data tidak adekuat

Menkes selalu bernarasi bahwa WHO menetapkan standar bahwa satu dokter harus tersedia untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1.000) dan 0,28 dokter spesialis tersedia per 1.000 penduduk. Padahal, sejatinya WHO sama sekali tidak pernah mengeluarkan standar demikian. Rasio-rasio itu memang sering disebut pada sejumlah referensi, tetapi fungsinya hanya sebagai metrik perbandingan, bukan standar. WHO paham bahwa setiap negara punya kondisi dan keterbatasan berbeda. Karenanya, tidak elok menggunakan prinsip ‘one size fits all’.

Selain itu, penggunaan rasio dokter juga bukan metrik tepat untuk perencanaan tenaga kesehatan. Rasio dibangun berdasarkan asumsi bahwa semua penduduk memiliki kebutuhan kesehatan yang sama. Padahal, kebutuhan kesehatan setiap penduduk berbeda. Sebagian mungkin membutuhkan dokter umum, sebagian lagi membutuhkan dokter spesialis tertentu. Tak bisa dipukul rata. Karenanya, penggunaan parameter rasio tersebut berpotensi menimbulkan bias dan kesalahan estimasi.

Parameter alternatif yang lebih akurat ialah beban kerja dokter (doctor's workload). Parameter itu mempertimbangkan beban kerja riil dokter. Misalnya, berapa jumlah pasien yang ditangani setiap hari, rata-rata waktu layanan per pasien, jumlah panggilan darurat yang diterima dan durasi tindakan medis seperti operasi atau rehabilitasi. Entah mengapa parameter beban kerja dokter itu tidak dipakai di Indonesia dan justru Menkes menggunakan paramater rasio terhadap jumlah penduduk.

Kalaupun Menkes ngotot ingin menggunakan rasio, narasi kekurangan 160-170 ribu dokter sangat berlebihan. Data Konsil Kedokteran Indonesia menyebutkan bahwa jumlah dokter Indonesia lebih dari 221 ribu. Artinya, bila ingin menggunakan rasio 1:1.000, Indonesia sebenarnya hanya kekurangan 60 ribu dokter. Jumlah dokter yang diproduksi oleh fakultas kedokteran berkisar 11-13 ribu per tahun. Artinya, dalam 4-5 tahun, kebutuhan itu dapat terpenuhi walau tanpa program percepatan penambahan dokter.

 

Rasio rendah ASEAN

Mantan Presiden Jokowi pada Mei 2024 menyebutkan bahwa rasio dokter terhadap populasi Indonesia ialah 0,47 per 1.000 penduduk. Data itu diperoleh dari Kementerian Kesehatan. Perhitungan tersebut didasarkan pada data bahwa dengan penduduk 280 juta, Indonesia hanya memiliki 150 ribu dokter. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 147 dunia dan peringkat 9 pada tingkat ASEAN.

Rasio yang disebutkan mantan Presiden Jokowi sebenarnya tidak tepat. Dengan jumlah dokter 221 ribu sebagaimana data Konsil Kedokteran Indonesia, rasionya ialah 0,79 per 1.000 penduduk. Nilai itu hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan rasio yang disebutkan Jokowi. Dengan rasio itu, Indonesia berada pada peringkat 6 di ASEAN dan bukan peringkat 9. Dengan rasio 0,79 per 1.000 penduduk itu, untuk mencapai rasio 1:1.000, hanya diperlukan tambahan 58.800 dokter dan bukan 160 ribu.

Pada level ASEAN, hanya ada tiga negara yang memiliki rasio dokter di atas 1 per 1.000 penduduk, yaitu Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Membandingkan rasio dokter Indonesia dengan rasio pada ketiga negara tersebut tentu tidak relevan. Alasannya, Indonesia ialah negara dengan populasi besar, sementara Singapura hanya memiliki populasi 5,9 juta, Malaysia 33 juta, dan Brunei 0,4 juta.

Dengan populasi besar, isu ketersediaan dokter menjadi lebih kompleks. Indonesia juga ialah negara kepulauan dengan lebih 17 ribu pulau; tentu beda dengan Singapura, Malaysia, dan Brunei yang negaranya berbentuk daratan dengan wilayah geografis relatif kecil. Negara-negara tersebut juga tergolong negara menengah dan maju serta mengalokasikan anggaran besar untuk sektor kesehatan. Dengan segala iklim kondusif tersebut, wajar rasio dokternya bagus. Kurang relevan jika menjadikan rasio negara-negara tersebut sebagai acuan.

 

Alasan tidak tepat

Menkes mengatakan waktu tunggu panjang timbul akibat kekurangan dokter. Hal itu tidak sepenuhnya tepat. Waktu tunggu panjang disebabkan oleh beragam faktor. Dokter yang kurang memang merupakan salah satu penyebab. Namun, banyak penyebab lain mendasarinya, di antaranya ialah keterbatasan-keterbatasan ruang operasi, alat medis, dan kapasitas rumah sakit.

Operasi jantung, misalnya, umumnya dilakukan di rumah sakit tersier yang memiliki fasilitas lengkap. Jika rumah sakit yang tersedia sudah penuh, pasien harus menunggu, terlepas dari jumlah dokter yang tersedia. Waktu tunggu panjang juga dipengaruhi alokasi anggaran kesehatan. Jika pendanaan terbatas, rumah sakit tidak bisa meningkatkan kapasitas mereka meski jumlah dokter memadai.

Pada beberapa spesialis tertentu, seperti spesialis bedah jantung, bedah saraf, dan bedah anak, negeri ini memang mengalami kekurangan absolut. Sementara itu, sejumlah spesialis lain, yang terjadi ialah kekurangan relatif. Artinya, pada level nasional jumlah dokter spesialisnya mencukupi, tetapi dokter ini tidak tersebar merata.

Pada Provinsi Jakarta, Yogyakarta, Bali dan Gorontalo, beberapa jenis spesialis telah melewati target rasio dokter spesialis. Sementara itu, di Papua, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat, dokter spesialis tersebut sangat kurang.

 

Efek jangka panjang

Hampir semua negara mengalami kekurangan dokter. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Namun, magnitudo kekurangan di negeri ini terlalu dilebih-lebihkan. Padahal tidak dilandasi oleh dasar ilmiah. Tidak ada darurat dokter di Indonesia.

Pemerintah perlu bijak memikirkan isu penambahan dokter. Efek sampingnya akan sangat serius bagi profesi dokter dan masyarakat. Bila jumlah dokter Indonesia membeludak, apakah pemerintah siap menyerap mereka? Saat ini jumlah dokter sebanyak 221 ribu. Fakultas kedokteran di Indonesia setiap tahun memproduksi tambahan 10-14 ribu dokter.

Bila pemerintah ingin menambah lagi 160 ribu dokter, bagaimana penyerapan tenaga dokter ini? Tanpa penyerapan adekuat, akan timbul fenomena oversupply yang ujung-ujungnya berimbas negatif pada kualitas layanan, dan kesejahteraan dokter. Dokter dapat menjadi pengangguran intelektual.

Penambahan jumlah dokter secara masif tanpa perencanaan matang berisiko menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Alih-alih memperbaiki layanan kesehatan, langkah itu justru dapat memicu stagnasi atau bahkan penurunan kualitas pelayanan medis. Jangan sampai niat meningkatkan jumlah dokter justru berujung pada bumerang sosial dan ekonomi yang merugikan seluruh pihak.

Pemerintah perlu fokus pada upaya distribusi tenaga medis yang lebih merata. Di antaranya dengan memberikan insentif yang memadai bagi dokter yang bersedia bertugas di daerah terpencil, meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah, serta memberi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi mereka. Dengan demikian, masalah akses dan kualitas layanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa harus menambah jumlah dokter secara signifikan.

Isu kekurangan dokter di Indonesia memang kompleks dan memerlukan pendekatan komprehensif. Sebelum mengambil keputusan kontroversial, seperti menambah jumlah dokter secara masif atau mengubah sistem pendidikan spesialis, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam berbasis data dan fakta. Kebijakan yang tergesa-gesa dan tanpa dasar adekuat justru menimbulkan masalah baru pada kemudian hari.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya