Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Jaga Indonesia

01/9/2025 05:00

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia. Luka teramat dalam yang tertoreh 27 tahun lalu itu sampai kini bahkan masih meninggalkan bekas.

Sebagai bangsa yang bermartabat, kita tentu tidak boleh melupakan tragedi kelam 1998 tersebut. Merawat ingatan adalah bagian dari cara kita menghormati sejarah. Pengingkaran terhadap sejarah justru membuat luka akan terus menganga dan membikin Republik ini sulit beranjak dari jeratan masa lalu.

Akan tetapi, pada saat yang sama, seluruh anak bangsa juga memiliki tanggung jawab besar menjaga negeri yang kita cintai ini agar terhindar dari pengalaman pahit yang sama. Apa pun alasannya, Indonesia tidak boleh dibiarkan tercabik oleh persoalan serupa yang sangat mungkin akan kembali menorehkan luka yang sama.

Hari-hari ini, kita dihadapkan dengan fakta kelabu bahwa segala kemungkinan terburuk itu bisa saja terjadi apabila tidak ada perubahan sikap yang segera dari semua pihak menghadapi situasi terakhir. Situasi ketika kemarahan rakyat yang dipicu oleh ucapan, tindakan, serta kebijakan elite sudah sedemikian terakumulasi dan akhirnya meledak.

Ledakan demi ledakan yang diekspresikan melalui aksi demonstrasi, baik oleh mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online (ojol), maupun elemen masyarakat lainnya, sesungguhnya amatlah wajar. Itu menjadi bagian dari ruang koreksi masyarakat terhadap pemerintah dan negara. Itu juga harus dihormati sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi yang menjadi ciri penting sebuah negara demokrasi.

Namun, ketika ledakan-ledakan kekecewaan rakyat itu malah dijawab dengan narasi-narasi nirempati dari para pejabat publik termasuk wakil rakyat di parlemen, dilawan dengan tindakan represif aparat, ditambah provokasi dari pihak-pihak yang memang menginginkan kekacauan, maka yang muncul kemudian ialah kemarahan yang kian menggumpal.

Ada dinding tipis antara aksi demonstrasi yang konstitusional dan aksi anarkistis yang akhirnya jebol oleh menumpuknya kemarahan itu. Ada sekat yang sejatinya memisahkan aksi unjuk rasa yang autentik dengan aksi kekerasan yang sangat mungkin disokong oleh kepentingan jahat, tapi itu pun ambruk karena ketidakmampuan elite merespons dengan baik keresahan dan kegundahan masyarakat.

Kiranya belum terlambat bagi kita untuk membuat situasi kembali normal. Namun, ini membutuhkan prasyarat, yaitu seluruh pihak mau menahan diri, melakukan evaluasi, sekaligus memperbaiki diri. Masyarakat kita ajak untuk jangan mudah terhasut dan terprovokasi, tetapi di saat sama pemerintah dan parlemen juga harus betul-betul mendengarkan suara rakyat.

Jangan pura-pura buta dan pura-pura tuli karena hal itu hanya akan membuat rakyat kian merasa tidak terwakili. Pekalah dengan kesulitan yang dihadapi rakyat, buatlah kebijakan yang berpihak kepada mereka, bukan malah asyik memikirkan kepentingan diri dan sejawat.

Setelah itu, kita baru bisa beranjak untuk menenun kembali serat-serat kebangsaan yang mungkin sempat tercerabut dari tenunan, merajut kembali kepercayaan di antara sesama anak bangsa yang nyaris jatuh ke titik nadir.

Agustus kelabu telah berlalu. Kini kita sambut fajar baru. Jangan lagi ada amarah yang membara. Biarlah luka menjadi doa. Kita percaya suara rakyat tak pernah sia-sia. Kita percaya perjuangan keadilan pasti menemukan jalannya. Mari kita jaga Indonesia.

 



Berita Lainnya