Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Ketimpangan Literasi

Anggi Afriansyah Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN
01/9/2025 05:05
Ketimpangan Literasi
(MI/Duta)

KETIKA sedang melakukan riset lapangan saya selalu coba singgah ke toko buku. Entah toko buku lokal atau toko buku besar yang biasa dijumpai di mana-mana. Satu hal yang sering mengusik ialah pertama, harga buku yang dijual di toko-toko buku tersebut lebih mahal, terutama untuk wilayah luar Pulau Jawa. Kedua, sangat jarang bahkan tidak ada koleksi referensi lokal yang membahas tentang kebudayaan, sosial, atau sejarah daerah.
 

 

HARGA BUKU YANG MAHAL

Untuk perkara pertama, biaya distribusi buku-buku tentu membengkak ketika harus berpindah dari Pulau Jawa ke wilayah-wilayah di Indonesia, terutama ke daerah Indonesia bagian timur. Mahalnya harga buku tentu akan memengaruhi daya beli penduduk terhadap buku-buku tersebut. Pun jika mau membeli buku secara daring, harga ongkos kirimnya bisa lebih mahal daripada harga bukunya. Mumet memang ketika menghadapi realitas seperti ini.

Hal yang kemudian juga memprihatikan adalah perpustakaan- perpustakaan yang tersedia di daerah tidak semuanya memiliki referensi yang memadai terkait dengan buku-buku terbaru. Ketika mendatangi perpustakaan daerah ada kecenderungan sepi pengunjung, koleksi buku sudah lama, bahkan referensi koleks perpustakaan jarang dijamah publik. Mungkin tidak dapat digeneralisasi, tapi setidaknya ini pengalaman personal saya ketika mengunjungi perpustakaan daerah. Karena itu, dalam momen-momen tersebut, ketika saya dan kawan-kawan mendatangi perpustakaan, para pustakawan sangat antusias menyambut kedatangan kami.

Tentang harga buku yang mahal bukan cerita baru di Indonesia. Harga buku-buku semakin mahal, sementara daya beli masyarakat di berbagai bidang semakin menurun. Sementara itu, tradisi membaca buku belum terinternalisasi secara menyeluruh dan perpindahan budaya membaca di layar digital juga belum kokoh. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian bersama, terutama bagi pemerintah yang memiliki kapital dan jangkauan kebijakan yang lebih luas.
 

 

REFERENSI LOKAL YANG TERBATAS

Untuk perkara kedua, terkait dengan koleksi referensi lokal yang membahas tentang kebudayaan, sosial, atau sejarah daerah, juga patut menjadi perhatian. Di beberapa perpustakaan daerah saya mendapatkan ragam koleksi yang membahas berbagai hal yang terkait dengan pengetahuan lokal. Namun, ketika mengunjungi toko buku, buku-buku baik yang merupakan buku referensi atau buku cerita lokal cenderung sulit didapatkan.

Di toko buku lebih mudah mendapatkan buku-buku filsafat, pengembangan karakter, novel, dan komik terjemahan atau karya para penulis Indonesia. Hal ini tentu baik untuk memperluas khasanah pengetahuan masyarakat sehingga mereka terkoneksi dengan isu nasional dan global. Namun, akan sangat kurang memadai untuk mempelajari konteks sejarah, sosial, dan kultural milik kampung halamannya sendiri.

Tentu masyarakat mempelajari budaya tidak hanya melalui tertulis di teks, tetapi juga melalui pengalaman keseharian. Untuk mempertahankan budaya, masyarakat biasanya mempertahankan bahasa lokal dalam aktivitas keseharian juga ritual-ritual budaya yang sudah dilakukan secara turun temurun. Namun, untuk menjaga ingatan jangka panjang sehingga pengetahuan dan pengalaman tersebut dapat diwariskan dari generasi ke generasi dibutuhkan pustaka penunjang dalam bentuk buku. Juga bisa dalam bentuk media audio visual yang lebih bisa disampaikan secara mudah.

Perpustakaan dan toko buku menjadi medium penting untuk menjadi penguat pengetahuan anak-anak muda terkait dengan kekayaan sejarah sosial budaya masyarakatnya sendiri. Pustaka menjadi kekuatan dalam menyebarkan ide-ide, paradigma, warisan sejarah, dan berbagai khazanah kekayaan negeri ini. Rekaman tersebut dalam berbagai pustaka menjadi kekayaan yang sangat penting untuk disebarkan dan diinternalisasikan kepada anak-anak muda.

Dalam perjalanan negeri ini ada ragam konflik sosial yang terjadi baik karena persoalan agama, suku, dan konteks lainnya. Rekaman tersebut sudah banyak dipublikasikan dalam bentuk buku, artikel, video, dan lainnya. Dokumentasi tersebut dapat menjadi referensi penting yang perlu diketahui oleh anakanak bangsa agar mereka tak mengulangi berbagai peristiwa kelam yang terjadi di masa lalu atau agar mereka tak perlu mengulang konflik masa lampau dan mengedepankan rekonsiliasi untuk perdamaian.

Ingatan manusia sering sangat pendek. Dokumentasi-dokumentasi terkait dengan peristiwa sejarah menjadi sangat penting untuk mengetahui peluh dan air mata yang sudah dilalui bangsa ini. Pengetahuan yang memadai juga menjadi tonggak penting agar anak-anak bangsa mengetahu kondisi pergulatan bangsa ini. Kepekaan anak-anak bangsa terkait hal tersebut akan sangat berpengaruh pada bagaimana mana mereka menentukan kehidupan kebangsaan bangsa ini di masa depan. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi salah satu bagian untuk mengokoh kan diskursus yang terjadi di masa lampau, bukan untuk mengorek luka, melainkan untuk mengokohkan diri bahwa tidak perlu lagi bangsa ini melalui konflik yang tak perlu, baik atas nama agama, sosial kultural, maupun ekonomi.
 

 

DUKUNGAN STRUKTURAL

Sisi yang lebih jauh, memperhatikan kondisi yang mana ragam referensi yang terbatas juga menunjukkan pentingnya daya dukung struktural dari pemerintah untuk menyediakan keadilan dalam distribusi buku dan ragam referensi di seluruh pelosok negeri. Jika membaca dari pendekatan struktural, kondisi buku yang mahal juga minimnya referensi lokal yang dapat diakses, menandakan ada ketidakadilan akses bagi masyarakat Indonesia.

Jika berdiskusi dengan aktivis literasi atau lingkungan, misalnya, mereka sering bercerita betapa anak-anak di wilayah pelosok tak memiliki kesempatan memadai untuk mendapatkan pendidikan, termasuk buku-buku yang sesuai dengan usia anak-anak. Minim listrik, layanan pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai, juga transportasi yang buruk adalah cerita-cerita yang sering dipaparkan oleh para informan baik di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, atau wilayah Sulawesi.

Untuk mendapatkan keadilan pendidikan, mereka perlu bergerak maju dan berusaha. Kadang uluran tangan dari organisasi nonpemerintah atau lembaga-lembaga filantropi menjadi obat penyembuh luka temporer. Padahal yang dibutuhkan adalah obat luka secara permanen yang berasal dari dukungan struktural pemerintah.

Ketimpangan literasi dalam bentuk mahalnya harga buku juga minimnya literasi menjadi penanda betapa keberpihakan penguatan pencerdasan bagi anak bangsa masih dilakukan secara terpilah, belum untuk seluruh bangsa Indonesia. Padahal buku-buku yang melimpah adalah jembatan pertama bagi anak-anak untuk mengenal dirinya, wilayahnya, bangsanya, juga dunia. Sesuatu yang tentu sangat penting jika ingin membentuk generasi cendekia yang akan memberikan kontribusi terbaiknya untuk Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya