Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
SEMBILAN hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) lagi-lagi membuat geger. Kali ini, mereka menyasar sistem pendidikan yang berlangsung selama ini di Tanah Air. Lembaga yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat itu kembali mengoreksi peraturan perundangan. Tujuan utamanya demi kemaslahatan dan penegakan konstitusi, tetapi masih ada keanehan di sana-sini.
MK mengoreksi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Mahkamah kembali menegaskan bahwa negara harus hadir di dalam sistem pendidikan tanpa diskriminasi. Namun, hawa diskriminasi tidak sepenuhnya hilang. Masih ada pengecualian untuk sekolah swasta tertentu.
Mahkamah memang berprinsip bahwa keadilan pendidikan mesti ditegakkan. Mahkamah juga berprinsip bahwa pemerintah tidak boleh hanya hadir di sekolah negeri dan seakan mengabaikan sekolah swasta.
Apalagi, konstitusi telah mengamanatkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya. Maka, sudah semestinya pemerintah membiayai sekolah negeri dan swasta tanpa kecuali demi pemenuhan kewajiban warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar.
Putusan itu bisa berdampak ke mana-mana. Terkhusus, pada persoalan anggaran negara dan daerah yang terbatas. MK juga menyadari hal itu. Para hakim konstitusi tentu sudah mempertimbangkan kondisi keterbatasan anggaran sebelum mengambil keputusan.
Bahkan mungkin, mereka juga sempat berada di persimpangan dilema antara menjaga kondisi anggaran negara dan membiarkan pelanggaran konstitusi.
Dan, MK akhirnya memilih untuk menjaga konstitusi dan kepentingan publik. Apalagi karena memang selama ini terjadi fakta yang tidak berkesesuaian dengan perintah UUD 1945.
Dengan demikian, MK meminta negara dapat memastikan anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan secara efektif dan adil, termasuk bagi kelompok masyarakat yang menghadapi keterbatasan akses terhadap sekolah negeri. Negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang hanya memiliki pilihan untuk bersekolah di sekolah atau madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
Namun, MK masih memberi ruang bagi sekolah maupun madrasah berbayar, atau yang mengandalkan pemasukan dari para anak didik mereka. Inilah keanehan putusan itu. Frasa tersebut mengandung pengecualian dan bisa dimaknai diskriminatif.
Bagian itulah yang berpeluang menjadi pasal karet atau menjadi kesempatan bagi sekolah dan madrasah swasta untuk tetap mengutip bayaran. Bisa jadi, sekolah swasta akan berbondong-bondong bersalin rupa menjadi sekolah khusus, dengan kurikulum khusus, agar bisa masuk kategori pendidikan yang dikecualikan dari aturan penggratisan tersebut.
Kompleksitas dampak putusan MK itu bisa dalam bentuk praktik menyimpang atau disimpangkan oleh pihak-pihak tertentu, yang memang masih berkeinginan mencari celah untuk meraih keuntungan di dunia pendidikan dasar. Kita khawatir, putusan antidiskriminasi tapi bersifat diskriminatif di ranah pendidikan dasar itu tidak akan berdampak signifikan bagi perubahan pendidikan dan literasi di Tanah Air.
Bila awalnya publik menyambut riuh putusan MK itu sebagai tonggak sejarah, boleh jadi tak banyak yang bisa diharapkan saat putusan yang berbau keanehan tersebut kelak dipraktikkan. Jangan-jangan, putusan MK itu sekadar indah di judul, tetapi bopeng-bopeng di isi.
Padahal, bila hendak menjadikan Indonesia Emas 2045, tolok ukur utama ialah tingkat pendidikan dasar dan wajib belajar mesti tuntas. Tanpa itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia terus melandai saja. Apalagi, bila mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang masih menunjukkan rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia pada 2024 masih berada di angka 8,85 tahun. Itu artinya, pendidikan dasar yang ditandai wajib belajar 9 tahun belum tergapai.
Kalau mereka tidak mampu menempuh pendidikan dasar secara optimal akibat aturan yang diskriminatif, susah membayangkan bagaimana bangsa ini menggapai keemasan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
BERAGAM cara dapat dipakai rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan, mulai dari sekadar keluh kesah, pengaduan, hingga kritik sosial kepada penguasa.
MANTAN Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan mantan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto telah resmi bebas dari tahanan.
Kebijakan itu berpotensi menciptakan preseden dalam pemberantasan korupsi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved