Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Menggaungkan Pesan sang Penerus

10/5/2025 05:00

"SAYA ingin agar salam damai ini masuk hati Anda, menjangkau keluarga-keluarga Anda dan semua orang, di mana pun mereka berada, semua bangsa, dan seluruh bumi. Semoga damai menyertai Anda."

Demikian salam pembuka dari Robert Francis Prevost, kardinal asal Amerika Serikat, yang pada Kamis (8/5) waktu Vatikan resmi terpilih menjadi Paus ke-267 gereja Katolik. Dengan memilih nama Leo XIV, Prevost menekankan perdamaian sebagai misi utamanya menjalankan tugasnya sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik dunia.

Ya, perdamaian. Sebuah pesan universal yang tak pernah lekang dimakan zaman. Pesan damai dari Paus Leo XIV itu jelas bukan untuk umat agama tertentu saja, melainkan juga untuk seluruh manusia di muka bumi ini. Sebagai sebuah pesan universal, menciptakan dan memelihara perdamaian ialah perintah semua agama.

Pesan itu terasa sangat relevan dan kontekstual dengan situasi dunia saat ini. Di saat banyak orang masih mengedepankan kepentingan pribadi sebagai jalan melakoni kehidupan, selama itu pula keserakahan yang berujung pada pertikaian dan konflik akan terus bercokol.

Pendudukan Zionis Israel di tanah Palestina menjadi contoh gamblang bahwa perdamaian masih menemukan jalan terjal. Banyak negara yang memilih jadi penonton dari konflik yang terus terpelihara itu. Bahkan tak sedikit yang memprovokasi agar konflik tersebut tak berkesudahan.

Di sinilah peran sentral Paus dan semua tokoh agama di muka bumi. Mereka punya tugas teramat berat, membangun kesadaran manusia akan hakikat fitrah mereka.

Bukan pekerjaan gampang tentunya karena mereka harus menyuarakan itu di tengah ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan yang masih terus terjadi. Kepiawaian para pemuka agama dalam menyuarakan pesan-pesan suci itu menjadi kunci karena pesan damai harus masuk relung hati setiap orang.

Pesan damai tentu akan sulit dicerna oleh masyarakat yang masih dihantui kemiskinan karena baru saja terkena PHK, misalnya. Perdamaian juga menjadi kata yang asing bagi masyarakat yang masih mengalami penindasan seperti di Palestina. Bukan satu-dua, melainkan jutaan orang di muka bumi ini yang mengalaminya.

Laporan terbaru dari Program Pembangunan PBB (UNDP) pada 2024 menunjukkan dari 6,3 miliar penduduk di muka bumi, sebanyak 1,1 miliar orang mengalami kemiskinan multidimensi, termasuk 455 juta di antaranya yang tinggal di wilayah konflik.

Karena itu, perdamaian bukanlah hal yang mudah diwujudkan meski juga bukan hal yang mustahil. Butuh kerja keras dan upaya bersama untuk mewujudkannya.

Cukup dua perang dunia pada puluhan tahun silam menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia, bahwa kekerasan hanya menghasilkan kekerasan baru, bukan perdamaian.

Dari situ jelas, kedamaian di dunia ialah sesuatu yang teramat kompleks yang tak bisa dicapai jika hanya diupayakan oleh satu kelompok agama.

Damai di bumi ialah tugas seluruh umat manusia, apa pun agamanya. Pesan damai itu harus terus digaungkan, jangan pernah berhenti. Karena itu, kita menyambut sukacita ajakan Paus Leo XIV yang meneruskan semangat pendahulunya, mendiang Paus Fransiskus, untuk menjadikan gereja Katolik seluruh dunia sebagai jembatan membangun dialog.

Ajakan itu mesti gayung bersambut oleh lembaga keagamaan lainnya agar ajakan tersebut tak berhenti di ruang kosong. Semua sepakat, dialog harus intens dilakukan agar silaturahim terus terjaga. Dalam dialog, tak ada lagi saling intip mengukur kekuatan lawan, tapi duduk satu meja untuk membahas apa yang bisa dibangun bersama.

Semua juga sepakat, dibarengi munajat doa, perdamaian tak bisa sekonyong-konyong datang begitu saja. Perdamaian harus diupayakan mewujud karena kehidupan hari ini ialah titipan anak-cucu kita yang akan mereka tagih pertanggungjawabannya kelak.

 

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik