Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
POLEMIK baru, tapi lama muncul lagi pascaanggota DPR periode 2019-2024 pensiun pada 1 Oktober lalu. Polemik itu terkait dengan soal perlu atau tidaknya wakil rakyat mendapatkan hak uang pensiun.
Semua itu tak lepas dari keberadaan produk usang yang masih dipertahankan hingga saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 12/1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara. UU yang lahir pada era Orde Baru tersebut menyamakan kedudukan anggota DPR dengan aparatur sipil negara (ASN) yang berhak atas uang pensiun.
Saat UU tersebut disahkan DPR, mudah ditebak, rakyat tak berani menggugat karena takut kena gebuk rezim yang berkuasa. Maklum saja, masa itu ialah masa monolitik, saat kekuasaan menentukan segala-galanya. Kekuasaan hanya ada dalam genggaman elitenya elite.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Namun, kini, meski rezim Orde Baru sudah runtuh, UU peninggalan masa lampau itu masih saja diberlakukan. UU yang sudah lapuk itu tetap dipertahankan meski era reformasi sudah berjalan 26 tahun.
Anggota DPR yang hanya bekerja selama lima tahun disamakan hak pensiun mereka dengan ASN yang puluhan tahun bekerja. Maka itu, hal tersebut memantik gugatan karena dirasakan tidak adil.
Apalagi UU itu benar-benar menganakemaskan pensiunan DPR. Para wakil rakyat yang pensiun berhak atas uang pensiun seumur hidup. Jika meninggal, uang pensiun itu dialihkan kepada suami/istri mereka. Tak berhenti di situ, jika suami/istri mereka meninggal, uang pensiun itu bisa diwariskan kepada anak mereka jika belum berusia 25 tahun.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Para anggota DPR pada masa itu tak cuma memikirkan kemewahan pada hari ini. Mereka juga memikirkan cara agar semua kemewahan itu tetap terus berlanjut, bahkan meski mereka sudah menghadap Ilahi.
Tentu dengan mudah juga terjawab mengapa anggota DPR pascareformasi tak mau merevisi UU tersebut.
Itu disebabkan UU tersebut akan menjamin masa depan mereka saat pensiun nanti. Mereka tak mau kehilangan semua kemewahan yang pernah didapat para pendahulu mereka. Maka itu, protes pun terus bergema.
Baca juga : Paket Insentif Pengganti Mudik
Garansi uang pensiun seumur hidup meski hanya bekerja lima tahun dirasakan sangat berlebihan. Apalagi kinerja DPR dari setiap periode kerap tak memuaskan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Jika dari segi kualitas sulit diukur disebabkan bersifat relatif, kita ambil saja dari segi kuantitas untuk menakar kinerja DPR. Dari 263 RUU yang ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR 2019-2024, hanya 27 RUU prioritas atau 10,26%-nya yang diselesaikan.
Kinerja itu diperparah oleh tumpulnya fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan. Dalam lima tahun perjalanan pemerintahan saat ini, masyarakat nyaris tak pernah mendengar adanya suara kritis DPR.
Baca juga : Kolaborasi Atasi Dampak Ekonomi
Jika melihat kinerja yang memble itu, apa pantas para mantan wakil rakyat terhormat itu dapat uang pensiun seumur hidup?
Untuk menjaga kehormatan mereka dan tak dicibir rakyat, negara tentunya mesti mencari skema lain dalam memberi apresiasi saat mereka pensiun. Meski kinerja mereka pas-pasan sampai akhir masa jabatan, kehormatan yang bisanya cuma segitu saja jangan sampai diturunkan hanya karena uang pensiun seumur hidup.
Anggota DPR 2024-2029 yang baru dua minggu menjabat tentu harus memikirkan itu sejak sekarang. Selain memperbaiki kinerja agar tak sama dengan pendahulu mereka, para wakil rakyat yang baru itu juga jangan mau diwarisi produk pendahulu mereka, yakni UU No 12/1980.
Apalagi keuangan negara saat ini sedang kedodoran. Selain itu, pensiunan anggota DPR yang mesti dibiayai APBN bukan hanya anggota periode terakhir, melainkan juga dua atau tiga, bahkan empat periode lalu. Masih ada mantan wakil rakyat atau keluarga mereka yang masih hidup dan mendapat limpahan pensiunan dari anggaran negara.
Karena itu, sudahi cara berpikir wakil rakyat memikirkan diri sendiri. Kini saatnya mereka benar-benar memikirkan rakyat yang mereka wakili. Jangan mau terus berkubang menjadi barisan para medioker. Saatnya anggota DPR naik kelas.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved