Headline

KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.

Mengintip Cara Berpikir IGK Manila

Lukas Benevides, Peneliti Suryakanta
24/8/2025 21:53
Mengintip Cara Berpikir IGK Manila
Lukas Benevides.(DOK PRIBADI)

FRIEDRICH Nietzsche (1844-1900), filsuf berkebangsaan Jerman, sering dijuluki orang gila karena berpikir lain dari angkatan zamannya bahkan para filsuf pendahulu. Ia menyambut julukan tersebut dengan riang gembira. Ia bahkan menulis dirinya ibarat seorang gila yang membawa obor di siang bolong untuk mencari Tuhan sambil berteriak-teriak, “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” (The Gay Science, 1887).

Banyak orang tertawa melihat Nietzsche karena mengira dia gila. Padahal ia sedang mengolok mereka lantaran berikhtiar mencari Tuhan sebagai sumber nilai dan makna di dalam kehidupan masyarakat modern. Alih-alih mengira berpikir dan berada di jalan yang benar, banyak orang justru terindoktrinasi dan terpenjara di dalam ide-ide warisan masa lalu yang belum tentu benar. Atas dasar itu, Nietzsche lantas dilabel sebagai ateis.

Meskipun buah pikirnya ateistik, tidak berarti tidak ada hal menarik yang dapat dipelajari dari gagasan dan cara berpikir Nietzsche. Tulisan ini tidak berpretensi mengajak pembaca untuk menjadi ateis. Bahkan bukan gagasan Nietzsche yang ingin kita dalami, melainkan gaya berpikir Nietzsche yang anti-mainstream, genuine, dan menukik. IGK Manila persis berpikir a la Nietzschean.

Gaya Berpikir

Kekhawatiran terbesar Nietzsche adalah orang terkungkung di dalam pola pikir mayoritas dan warisan masa silam tanpa mencari tahu kekuatan rasionalitas dan kebenarannya. Disposisi semacam ini tidak hanya berada pada kalangan literasi rendah, tetapi terutama pada ilmuwan guru besar yang merasa berpuas diri dengan pencapaian akademik dan berhenti berpikir, lalu bangga tatkala dikutip orang.

Keprihatinan Nietzsche ini mungkin berlebihan karena tidak ada satupun orang yang bisa melepaskan diri dari jangkar historis (Gadamer, Truth and Method, 1960). Di dalam kosa kata Alfred North Whitehead, tidak ada hal yang baru selain catatan kaki terhadap Plato (Process and Reality, 1929). Cara hidup dan pola pikir kita kurang lebih terpengaruh trayektori yang sudah ada.

Nietzsche tentu pahami peran penting sejarah membentuk peradaban berpikir manusia. Ia justru memperkaya perbendaharaan warisan sejarah intelektual tersebut. Fokus Nietzsche bukan pada menegasikan peranan sejarah, melainkan benar tidaknya warisan sejarah. Menerima gagasan besar sejarah begitu saja justru akan membekukan teori menjadi doktrin dan ideologi. Kalangan ekstrimis dan otoriter biasanya lahir dari kelompok yang menerima dan percaya apapun begitu saja.

Lebih dalam, Nietzsche tidak pernah mengajak orang untuk mengikuti gagasannya, apalagi pribadinya. Ia menulis demikian, “Sekarang aku meminta kalian untuk meninggalkanku dan menemukan diri kalian sendiri; dan hanya ketika kalian semua telah menyangkal aku, barulah aku akan kembali kepada kalian” (Thus Spoke Zarathustra, 1892). Lagi, “Aku tidak mempunyai murid. Aku tidak ingin seorangpun mengadopsi ajaranku: cukuplah bila seseorang belajar untuk memanfaatkannya” (Ecce Homo, 1908).

Bagi Nietzsche, jika seseorang ingin mengadopsi gagasan dirinya, ia harus menolak pandangan Nietzsche. Pendek kata, menjadi seorang Nietzschean berarti melawan Nietzsche atau anti-Nietzschean. Nietzsche tidak menghendaki pandangannya dijadikan doktrin, tetapi sebagai pemantik untuk berpikir lain. Dengan kata lain, bukan pribadi atau ide Nietzsche yang diadopsi, melainkan cara berpikirnya yang mendobrak batas-batas tradisi lama.

Cara Berpikir IGK Manila

Gaya berpikir Nietzsche setali dua uang dengan cara hidup dan pikir seorang IGK Manila. Mantan Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) ini memang tidak menawarkan gagasan besar untuk membangun Indonesia sebagaimana para pemikir dan politisi sekelas Hatta dan Soekarno. Namun, ada yang patut diintip dari ‘Panglima Gajah’ ini. 

Meskipun dibentuk lama di dalam formasi militer, birokrasi, dan terjun langsung dalam dunia politik praktis, IGK Manila menolak mengikuti arus. Ia mencintai buku, suka membuat terobosan di berbagai bidang yang ia geluti, dan mendorong gagasan-gagasan baru tanpa mendikte bawahan atau membebek atasan.

IGK Manila lahir dari struktur masyarakat yang menganut strata sosial, dibesarkan dengan iman Hindu, dan dididik lama dalam militer dengan pendekatan “siap.” Namun, anak-anaknya ia beri kebebasan untuk beragama dan memilih pasangan hidup. Sebelum meninggal, ia memesan agar abu jenazahnya dilarungkan di Sungai Cikapundung Bandung, bukan di Bali. Selama menjabat Gubernur ABN, ia menjadikan stafnya teman diskusi, bukan bawahan dan bos. 

Opa Manila, panggilan akrabnya, menolak terlibat dalam politik transaksional, mendorong politik substansial, dan mengamalkan nilai kerja keras, loyalitas, dan integritas. Dalam beberapa kesempatan bincang politik santai, ia tegas mengatakan: punya banyak uang tidak menjadikan seseorang menang pemilu; Justru banyak yang rugi miliaran berkali-kali tanpa menginjakkan kaki di Senayan. Maka ia percaya, ada cara lain untuk memenangkan pertarungan politik. 

Apa strategi untuk memenangkan pertarungan politik? Ia tidak menawarkan satu pakem strategi definitif. Yang ia katakan ialah, “menurut saya, kita harus begini… begitu.” Dua hari sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, Sabtu 16 Agustus, Opa Manila masih bertanya-tanya saat makan siang bersama: “Apa sistem demokrasi yang cocok untuk Indonesia?” Pertanyaan ini sudah ia geluti lama sampai ia wafat tanpa meninggalkan seuntai jawaban. 

Apakah IGK Manila tidak tahu jawabannya? Ia tentu memiliki pendapat. Namun bukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental ini yang ingin ia tinggalkan, melainkan cara berpikir. Opa Manila tidak mewariskan gagasan dan mendorong untuk menjadikannya sebagai doktrin hidup. Ia tidak berambisi menjadi teladan bagi banyak orang. Mayor Jenderal TNI (Purn) ini hanya mendorong orang untuk berpikir, bahkan berpikir lain dari dirinya. (I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya