Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DEMOKRASI di Republik ini betul-betul sedang dalam situasi gawat. Demokrasi di ujung petaka karena dari waktu ke waktu salah satu variabel utamanya, yakni pemilihan umum (pemilu), hampir selalu bermasalah dalam hal kredibilitas dan legitimasi. Pemilu adalah penyangga demokrasi. Kalau legitimasi salah satu penyangganya terus terkikis, demokrasi itu lambat laun pasti akan roboh.
Sungguh disayangkan, pengalaman kita enam bulan lalu ketika Pemilu 2024, terutama Pilpres 2024, dilangsungkan dengan legitimasi yang lemah dan terus dipertanyakan lantaran masifnya pelanggaran dan kecurangan yang terjadi, kiranya tidak menjadi pelajaran untuk penyelenggaraan Pilkada 2024.
Alih-alih menutup potensi celah kecurangan pada Pemilu 2024 yang mungkin bakal direpetisi atau dimodifikasi saat pilkada, penyelenggara pemilu malah seolah membiarkannya tetap menganga. Kompetisi pemilihan pemimpin daerah yang seharusnya dapat dilangsungkan dengan lebih baik, lebih kredibel, lebih berintegritas, nyatanya justru diwarnai juga dengan dugaan maraknya kelancungan-kelancungan.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Bahkan, kalau kita lihat dari kasus terbaru yang bakal amat mencoreng penyelenggaran pilkada, keculasan justru dilakukan oleh calon independen (perseorangan). Padahal, sejujurnya, mereka, para calon perseorangan itu diharapkan bisa menjadi antitesis atau setidaknya menjadi penyeimbang dari dominasi pilkada yang dikonsolidasikan menjadi monolit, tanpa alternatif.
Dugaan kecurangan itu teramat benderang dan nyata-nyata dilakukan oleh bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur perseorangan pada Pilkada Jakarta, yaitu Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Sungguh keterlaluan, demi mengamankan syarat dukungan masyarakat, mereka mencatut tanpa izin penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) warga DKI Jakarta.
Memang, bagi calon perseorangan, untuk memenuhi persyaratan pencalonan sangat berat, rumit, juga kompleks. Tak dimungkiri, banyak bakal calon perseorangan yang gagal sebelum bertanding karena tak sanggup memenuhi syarat dukungan yang berat itu. Akan tetapi, bukan berarti hal itu boleh dijadikan alibi untuk mencari jalan pintas, dengan seenaknya menggunakan data pribadi warga untuk memanipulasi dukungan kepada mereka.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Jelas, tindakan itu bukan sekadar pelanggaran administratif atau prosedural. Melihat banyaknya laporan pencatutan identitas itu, gamblang untuk dinyatakan ada dugaan unsur kejahatan dalam tindakan yang dilakukan pasangan Dharma-Kun tersebut. Pertama, dalam konteks pilkada, pemalsuan daftar dukungan calon perseorangan itu melanggar Pasal 185A ayat (1) Undang-Undang Pilkada. Ancaman hukumannya paling singkat pidana 36 bulan dan paling lama 72 bulan.
Penyalahgunaan data pribadi juga masuk ranah pidana yang lain. Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, ada ancaman pidana 10 tahun bagi mereka yang menyalahgunakan data pribadi. Banyak lagi ancaman hukuman yang bisa disangkakan kepada pasangan itu jika kita buka UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Yang jelas, tindakan itu juga melanggar undang-undang dan ketentuan syarat perseorangan dalam kontestasi pilkada. Artinya, hal itu merupakan kejahatan yang bukan main-main. Di sisi lain, tindakan tersebut juga semakin mengonfirmasi bahwa persoalan serius dalam mekanisme pengawasan dan verifikasi pemilu yang terus menggerogoti penyelenggara pemilu rupanya masih bersemayam. Kasus pencatutan data warga di Pilkada Jakarta ini menjadi contoh akibat yang amat nyata ketika niat jahat (mens rea) berpadu dengan lemahnya pengawasan dan verifikasi yang terkesan serampangan.
Karena itu, sembari menanti proses hukum pidana kasus pencatutan data warga tersebut, KPU dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) DKI semestinya tidak ragu membatalkan pencalonan pasangan Dharma-Kun demi menjaga integritas proses pilkada sekaligus mengembalikan kepercayaan publik yang terus terkoyak. Sekali kelancungan itu dibiarkan, lagi-lagi, yang akan dipertaruhkan ialah masa depan hukum dan demokrasi di negeri ini.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
JATUHNYA korban jiwa akibat longsor tambang galian C Gunung Kuda di Cirebon, Jawa Barat, menjadi bukti nyata masih amburadulnya tata kelola tambang di negeri ini.
PANCASILA lahir mendahului proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuannya untuk memberi landasan langkah bangsa dari mulai hari pertama merdeka.
CITRA lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini masih belum beranjak dari kategori biasa-biasa saja.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto soal kemungkinan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika negara itu mengakui negara Palestina merdeka sangat menarik.
SEMBILAN hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) lagi-lagi membuat geger. Kali ini, mereka menyasar sistem pendidikan yang berlangsung selama ini di Tanah Air.
Para guru besar fakultas kedokteran juga menganggap PPDS university-based tidak diperlukan mengingat saat ini pendidikan spesialis telah berbasis rumah sakit.
BAHASAN tentang perlunya Indonesia punya aturan untuk mendapatkan kembali kekayaan negara yang diambil para koruptor kembali mengemuka.
Sesungguhnya, problem di sektor pajak masih berkutat pada persoalan-persoalan lama.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved