Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
DEMOKRASI di Republik ini betul-betul sedang dalam situasi gawat. Demokrasi di ujung petaka karena dari waktu ke waktu salah satu variabel utamanya, yakni pemilihan umum (pemilu), hampir selalu bermasalah dalam hal kredibilitas dan legitimasi. Pemilu adalah penyangga demokrasi. Kalau legitimasi salah satu penyangganya terus terkikis, demokrasi itu lambat laun pasti akan roboh.
Sungguh disayangkan, pengalaman kita enam bulan lalu ketika Pemilu 2024, terutama Pilpres 2024, dilangsungkan dengan legitimasi yang lemah dan terus dipertanyakan lantaran masifnya pelanggaran dan kecurangan yang terjadi, kiranya tidak menjadi pelajaran untuk penyelenggaraan Pilkada 2024.
Alih-alih menutup potensi celah kecurangan pada Pemilu 2024 yang mungkin bakal direpetisi atau dimodifikasi saat pilkada, penyelenggara pemilu malah seolah membiarkannya tetap menganga. Kompetisi pemilihan pemimpin daerah yang seharusnya dapat dilangsungkan dengan lebih baik, lebih kredibel, lebih berintegritas, nyatanya justru diwarnai juga dengan dugaan maraknya kelancungan-kelancungan.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Bahkan, kalau kita lihat dari kasus terbaru yang bakal amat mencoreng penyelenggaran pilkada, keculasan justru dilakukan oleh calon independen (perseorangan). Padahal, sejujurnya, mereka, para calon perseorangan itu diharapkan bisa menjadi antitesis atau setidaknya menjadi penyeimbang dari dominasi pilkada yang dikonsolidasikan menjadi monolit, tanpa alternatif.
Dugaan kecurangan itu teramat benderang dan nyata-nyata dilakukan oleh bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur perseorangan pada Pilkada Jakarta, yaitu Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Sungguh keterlaluan, demi mengamankan syarat dukungan masyarakat, mereka mencatut tanpa izin penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) warga DKI Jakarta.
Memang, bagi calon perseorangan, untuk memenuhi persyaratan pencalonan sangat berat, rumit, juga kompleks. Tak dimungkiri, banyak bakal calon perseorangan yang gagal sebelum bertanding karena tak sanggup memenuhi syarat dukungan yang berat itu. Akan tetapi, bukan berarti hal itu boleh dijadikan alibi untuk mencari jalan pintas, dengan seenaknya menggunakan data pribadi warga untuk memanipulasi dukungan kepada mereka.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Jelas, tindakan itu bukan sekadar pelanggaran administratif atau prosedural. Melihat banyaknya laporan pencatutan identitas itu, gamblang untuk dinyatakan ada dugaan unsur kejahatan dalam tindakan yang dilakukan pasangan Dharma-Kun tersebut. Pertama, dalam konteks pilkada, pemalsuan daftar dukungan calon perseorangan itu melanggar Pasal 185A ayat (1) Undang-Undang Pilkada. Ancaman hukumannya paling singkat pidana 36 bulan dan paling lama 72 bulan.
Penyalahgunaan data pribadi juga masuk ranah pidana yang lain. Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, ada ancaman pidana 10 tahun bagi mereka yang menyalahgunakan data pribadi. Banyak lagi ancaman hukuman yang bisa disangkakan kepada pasangan itu jika kita buka UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Yang jelas, tindakan itu juga melanggar undang-undang dan ketentuan syarat perseorangan dalam kontestasi pilkada. Artinya, hal itu merupakan kejahatan yang bukan main-main. Di sisi lain, tindakan tersebut juga semakin mengonfirmasi bahwa persoalan serius dalam mekanisme pengawasan dan verifikasi pemilu yang terus menggerogoti penyelenggara pemilu rupanya masih bersemayam. Kasus pencatutan data warga di Pilkada Jakarta ini menjadi contoh akibat yang amat nyata ketika niat jahat (mens rea) berpadu dengan lemahnya pengawasan dan verifikasi yang terkesan serampangan.
Karena itu, sembari menanti proses hukum pidana kasus pencatutan data warga tersebut, KPU dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) DKI semestinya tidak ragu membatalkan pencalonan pasangan Dharma-Kun demi menjaga integritas proses pilkada sekaligus mengembalikan kepercayaan publik yang terus terkoyak. Sekali kelancungan itu dibiarkan, lagi-lagi, yang akan dipertaruhkan ialah masa depan hukum dan demokrasi di negeri ini.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved