APAKAH ketika ada pegawai atau pejabat pemerintahan yang mengurusi soal pajak, bermasalah, masyarakat lantas boleh memboikot tidak membayar pajak? Pertanyaan itu mengemuka hari-hari ini pascapengungkapan kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo, anak pejabat pajak, terhadap seorang remaja bernama Cristalino David Ozora.
Kini, kasus penganiayaan secara biadab yang dilakukan di Pesanggarahan, Jakarta Selatan, pada Senin (20/2) itu pun sudah ditangani polisi. Mario juga telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka. Namun, buntut dari kasus itu rupanya panjang, seperti membuka tabir tak elok tentang harta dan kekayaan ayah si tersangka, pejabat di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, yang dalam laporannya mencapai Rp56 miliar.
Tidak cuma itu, setelah kasusnya viral, gaya hidup mewah Mario juga menjadi perhatian publik. Dia acap mempertontonkan gaya hidup mewah melalui media sosial. Menunggangi Harley Davidson, memamerkan Jeep Rubicon, yang belakangan diketahui dua tunggangan mahal itu menggunakan nomor polisi palsu dan tidak membayar pajak kendaraan.
Maka, tak henti-hentilah publik mengutuk, mengecam, mencerca laku jahat dan laku pamer anak pejabat itu, bahkan sampai pada satu titik kemarahan yang berpotensi meruntuhkan kepercayaan mereka terhadap sistem perpajakan di negeri ini. Muncul sinisme, apa pentingnya masyarakat taat membayar pajak kalau uang pajak itu justru dipakai untuk melanggengkan hedonisme pejabat dan keluarganya?
Dengan sedemikian besar magnitude dan kemungkinan ekses yang bakal muncul dari persoalan itu, amat wajar dan pantas bila Menteri Keuangan Sri Mulyani pun geram. Ia tentu cemas kelakuan satu anak buahnya akan membuyarkan semua capaian kinerja gemilang pendapatan pajak yang tahun lalu melampaui target. Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.
Sebagai responsnya, kemarin, ia menggelar konferensi pers untuk menjelaskan sikap tegas institusinya sekaligus mencopot Rafael dari jabatannya. Ia juga memerintahkan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan memeriksa harta Rafael. Kabar teranyar, Rafael mengundurkan diri sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Keputusan cepat dan tegas Menkeu tentu perlu diberi apresiasi. Namun, jelas, persoalan tak berhenti di situ. Rafael sangat mungkin bukan satu-satunya pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan yang punya kekayaan melimpah nan mencurigakan. Akan tetapi, untuk satu kasus saja kecolongan, bagaimana mau mengawasi banyak orang?
Kinerja pengawasan internal patut dipertanyakan. Bagaimana sesungguhnya evaluasi berkala dari inspektorat jenderal, bukankah ada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang bisa dipelototi setiap waktu untuk melihat adakah ketidakwajaran antara pendapatan serta profil pegawai dan kekayaan yang dilaporkan?
Publik juga mempertanyakan mengapa setelah kasus mencuat, Komisi Pemberantasan Korupsi baru menyatakan bakal memeriksa harta kekayaan Rafael. Padahal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengirimkan laporan harta kekayaan Rafael ke KPK sejak 2021 lalu setelah menemukan transaksi keuangan yang mencurigakan dalam jumlah besar.
Forum ini ingin mengingatkan bahwa kasus ini jelas tidak sepele karena sudah pasti akan berimbas pada kepercayaan publik. Lokalisasi masalah mesti segera dilakukan agar tak melebar dan membuat jatuh kredibilitas institusi Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak.
Bagaimanapun pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara. Ia patut dijaga agar tak terjerembap. Salah satunya dengan merawat kepercayaan masyarakat agar tetap mau dan taat membayar pajak. Ini pekerjaan rumah yang tidak ringan buat pemerintah dan Kementerian Keuangan pada khususnya.