Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Momentum Tumbuhkan Budaya Malu

07/10/2022 05:00
Momentum Tumbuhkan Budaya Malu
(MI/Duta)

 

SABTU (1/10) lalu menjadi malam minggu kelabu bagi dunia persepakbolaan Tanah Air. Sekitar 130 nyawa melayang seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Peristiwa itu menjadi tragedi terkelam sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Bahkan, untuk ukuran dunia menjadi yang kedua tersuram setelah tragedi di Peru yang menewaskan lebih dari 300 orang, setengah abad silam.

Para suporter yang tewas di Kanjuruhan umumnya akibat sesak napas setelah terkena gas air mata dan berdesakan di pintu keluar seusai pertandingan. Kita berduka, bahkan teramat berduka, dan berbelasungkawa kepada keluarga yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Tragedi semacam itu seharusnya tak perlu terjadi seandainya pengelola pertandingan, entah itu panpel, pihak klub, aparat keamanan, maupun penyelenggara kompetisi (PT Liga Indonesia Baru/LIB) dan federasi (PSSI) sigap mengamankan jalannya pertandingan.

Apalagi, sebelumnya Polres Malang sudah meminta waktu pertandingan digeser ke sore hari, dari yang semula pukul 20.00 menjadi pukul 15.30 WIB. 

Pertimbangannya, itu laga yang rawan karena mempertemukan dua musuh bebuyutan. Betul laga itu tidak dihadiri suporter tamu. Akan tetapi, antusiasme Aremania, pendukung Arema FC, sangat tinggi untuk menyaksikan big match tersebut, termasuk kaum perempuan dan anakanak.

Pihak Arema sebetulnya sudah setuju pertandingan digeser ke sore hari. Mereka sudah mengirim surat ke PT Liga Indonesia Baru (LIB), tapi ditolak. Pertandingan pun tetap digelar malam hari. Surat balasan LIB itu ditandatangani direktur utamanya, Akhmad Hadian Lukita. Entah apa pertimbangannya. Biarlah itu nanti jadi bahan penyelidikan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah.

Satu hal yang pasti, polisi sudah mengingatkan untuk mengubah jadwal. 

Begitu pun panitia sudah mengambil langkah tepat dengan berkirim surat ke LIB. Mereka juga sudah benar tidak mengalokasikan jatah kursi untuk suporter Persebaya. Di dalam stadion sebenarnya sudah tidak ada lagi faktor penentu yang bisa memicu kerusuhan. Kalaupun kecewa kepada tim kesayangannya, mereka paling banter merusak stadion.

Namun, apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Lontaran gas air mata yang dilepaskan aparat membuat penonton panik dan berdesakan menuju pintu keluar. Dalam kondisi seperti itu banyak yang terinjak dan meninggal akibat sesak napas. Kita semua berduka dan menyesali tragedi tersebut. Sebuah petisi di change.org, yang telah ditandatangani ribuan orang, mendesak Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule untuk mengundurkan diri.

Sebelumnya, berbagai elemen masyarakat juga menyerukan hal serupa, seperti DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta Indonesia Police Watch (IPW).

‘Kami meminta ketua umum dan semua pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk mundur dari jabatannya sebagai bentuk hormat dan respek terhadap korban tragedi kerusuhan Stadion Kanjuruhan, Malang, dan untuk pembenahan sepak bola secara keseluruhan’, tulis Perhimpunan Jurnalis Rakyat (Pijar) yang menggagas petisi tersebut. Hingga Kamis (6/10) pukul 17.33 WIB, petisi itu telah ditandatangani 14.679 orang.

Desakan mundur itu merupakan hal wajar. Sebuah seruan moral sebagai bentuk tanggung jawab dan empati terhadap keluarga korban. PSSI sebagai induk organisasi tertinggi sepak bola yang mengurus pembinaan, kompetisi, termasuk pembinaan suporter, sebaiknya mendengarkan tuntutan itu. Mundur tidak selalu berarti buruk. Cara itu bahkan sering dianggap mulia dan sebagai bentuk respek serta wujud empati terhadap korban.

Di negeri ini, pihak-pihak yang dianggap gagal menjaga amanat publik justru kerap membela diri dengan bersandar pada argumen legal formal.

Dengan dalih itu, mereka ciptakan barikade untuk melindungi jabatan dan kekuasaan. Para pejabat mestinya mulai menyadari bahwa bukan hanya karena pelanggaran hukum mereka harus mundur, tetapi juga lantaran alasan etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan publik. Kegagalan menjaga kepercayaan publik tersebut tidak selalu karena kesengajaan atau ketidakmampuan, bisa juga akibat kelalaian.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik