Asa Ganja untuk Medis

22/7/2022 05:00
Asa Ganja untuk Medis
(MI/Duta)

 

HARAPAN pasien ataupun keluarga penderita lumpuh otak untuk segera mendapatkan legalisasi minyak ganja sebagai bahan terapi pengobatan pupus. Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak uji materi ketentuan larangan penggunaan narkotika golongan 1, termasuk ganja, yang termuat dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Melalui keputusan MK, penggunaan ganja ataupun minyak ganja yang merupakan produk turunannya tetap ilegal. Putusan itu bukan karena pertimbangan legalisasi ganja bertentangan dengan konstitusi. MK memutuskan menolak karena substansi yang dimohonkan merupakan ranah pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

Ini artinya, legalisasi penggunaan ganja untuk medis masih sangat terbuka. MK bahkan mengamanatkan agar pemerintah secepatnya menggelar penelitian yang nantinya dipakai sebagai dasar mencabut atau mempertahankan kebijakan pelarangan ganja, khususnya untuk kebutuhan medis.

Gaung bersambut. Pemerintah komit segera menindaklanjuti dengan penelitian yang tentunya melibatkan pasien lumpuh otak. Izin penggunaan ganja bakal dikeluarkan terbatas untuk penelitian yang dikomandoi Kementerian Kesehatan.

Legalisasi ganja untuk kebutuhan terapi pengobatan di dunia saat ini bukan hal yang langka. Tidak kurang dari 30 negara sudah memberlakukannya.

Di sisi lain, di tingkat global, riset tentang efektivitas ganja untuk terapi pengobatan bisa dibilang masih sangat minim menunjukkan hasil positif. Hal yang bisa dipastikan, ganja mengandung dua komponen utama, yakni cannabidiol (cbd) dan tetrahydrocannabinol (thc). Thc merupakan unsur yang membuat mabuk.

Komponen cbd yang kerap dipakai dalam bentuk minyak diyakini sebagai yang memiliki efek mengobati tanpa membuat mabuk yang kemudian memicu kecanduan. Akan tetapi, hasil riset belum ada yang betul-betul konkret membuktikan hal itu.

Pun hasil yang terbatas itu sudah cukup memberikan secercah harapan bagi pasien penyakit-penyakit kronis tertentu sehingga sejumlah negara memutuskan untuk memberi lampu hijau.

Sebagian besar negara yang melegalkan penggunaan ganja menerapkan pembatasan-pembatasan yang sangat ketat. Mulai budi daya, komposisi produksi, penjualan, hingga pemberian kepada pasien yang harus dengan resep dokter.

Selain meneliti efektivitas ganja untuk pengobatan, kita dapat mempelajari pola pengaturan penggunaan di negara-negara lain yang telah melegalisasi ganja. Manfaatkan kecanggihan teknologi informasi yang memungkinkan pejabat pemerintah dan legislator memetik pelajaran tanpa harus menyambangi negara yang bersangkutan.

Momentum pengkajian penggunaan ganja untuk terapi pengobatan kebetulan bertepatan dengan pembahasan revisi Undang-Undang tentang Narkotika yang sedang berlangsung di DPR. Meski begitu, kajian tidak boleh dilakukan tergesa-gesa.

Pemerintah dan DPR tetap harus berhati-hati untuk sampai pada keputusan melegalkan penggunaan ganja untuk medis. Jika pada akhirnya lampu hijau dinyalakan, pemerintah harus memperkuat pengawasan pemakaian.

Kita tahu pengawasan peredaran obat-obatan di negeri ini begitu lemah. Terbukti, obat-obat yang semestinya hanya bisa didapatkan dengan resep dokter, bisa dengan mudah dibeli dengan bebas di apotek dan toko obat.

Kita tidak ingin kebijakan yang semestinya memberikan solusi pengobatan bagi pasien-pasien tertentu berbalik menjadi malapetaka bagi masyarakat.



Berita Lainnya